Jumat, 30 Januari 2015

Syariahkan Bank Aceh

Oleh:  Sayed Muhammad Husen  

Bukan satu dua kali saya menulis tentang bank syariah, tapi sudah berkali-kali. Tulisan itu menunjukkan komitmen dan keberpihakan kita terhadap pengembangan bank syariah di Aceh. Bank tanpa riba ini, diyakini sebagai bagian dari implementasi syariat Islam di bidang ekonomi. Dengan berkembangnya bank syariah, muslimin Aceh dapat mendayagunakan potensi ekonomi yang ada. Lagi pula berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Masyarakat Aceh mengharapkan islamisasi bank Aceh dapat segera ditindak-lanjuti dengan kebijakan Pemerintah Aceh. Harapan itu tercermin dari opini publik. Dalam hal ini kita mendapat informasi, Qanun Pembentukan Bank Aceh Syariah telah disahkan, tinggal lagi dilanjutkan dengan memenuhi sejumlah persyaratan pendirian bank, termasuk penyediaan modal yang cukup, sehinga bank ini dapat segera beroperasi.

Kita tidak meragukan komitmen Pemerintah Aceh mendirikan Bank Aceh Syariah, namun kita belum mendapatkan informasi tentang skenario pembentukan, jadwal waktu dan penyediaan modal. Termasuk klarifikasi terhadap nada miring, bahwa banyak kepentingan mempengaruhi pusat kekuasaan politik supaya Bank Aceh Syariah tidak menjadi prioritas penyediaan anggaran.

Dari pengalaman operasional Unit Syariat Bank Aceh selama ini menjadi indikasi bahwa praktek perbankan syariah dapat diterima masyaraat Aceh. Secara bisnis pun cukup menguntungkan. Untuk itu, pengalaman bisnis ini, ketersediaan rugulasi dan sumber daya manusia dapat digunakan untuk mempercepat lahirnya Bank Aceh Syariah yang terpisah dari induknya, Bank Aceh konvensional (baca: ribawi).

Jadi tugas berat berikutnya --seperti harapan dan opini muslimin Aceh-- adalah mengubah Bank Aceh menjadi Bank Syariah. Ini tentu pekerjaan berat, namun sangat mungkin dilakukan perubahan. Hijrah dari praktek riba ke syariah. Dan, masih ada satu lagi bank konvensional milik Pemerintah Aceh: BPR Mustaqim. Ini pun dalam pandangan kita perlu segera disyariahkan.  
                                                                                                                                    
Kita yakin, Pemerintah Aceh bisa menjadi teladan dalam islamisasi perbankan, sehingga dapat diikuti oleh perbankan lainnya di Aceh. Dalam memberi warna terhadap implementasi ekonomi syariah, tentu tidak cukup sepuluh bank syariah yang saat ini beroperasi di Banda Aceh. Kita masih memerlukan hadirnya bank syariah lainnya. Jika perlu seluruhnya kita syariahkan. 

Sumber: Gema Baiturrahman 

Sabtu, 24 Januari 2015

Inovasi Maulid Rasulullah

Oleh: Sayed Muhammad Husen


Spirit utama memperingati maulid Rasulullah Muhammad SAW adalah mendongkrak semangat muslimin untuk membela kepentingan Islam. Seyogyanya ummat Islam hari ini terus menggali kembali ajaran Rasullah Muhammad SAW yang orisonil. Keterpurukan, kekalahan dan ketertinggalan Islam dan ummat Islam dapat ditebus secepatnya dengan mencintai Rasulullah. Mencintai Rasul dengan cara mempelajari ajaran, shirah, dan mensyiarkannnya.

Peringatan maulid Rasul menjadi tradisi dan syiar yang diperingati setiap tahun di banyak negara Islam. Di Indonesia dan Aceh khususnya peringatan maulid Rasul disyiarkan dengan berbagai cara; pembacaan shalawat, kenduri (sedekah konsumsi) hingga berbagai bentuk perlombaan keislaman. Bahkan peringatannnya telah menjadi agenda resmi negara organisasi sipil Islam.

Dalam masyarakat Aceh, peringatan maulid Rasul, telah menjadi tradisi tahunan yang melekat  dengan karakteristik keislaman orang Aceh. Tidak kurang tiga bulan dalam setahun orang Aceh memperingati maulid Rasul. Peringatan itu diselenggarakan dalam bentuk dakwah Islamiah, kenduri kuah beulangong, membaca kitab barzanji, bahkan belakangan berkembang dalam bentuk yang lebih modern dengan mengundang relasi ke rumah menikmati hidangan yang disediakan secara khusus. Bahkan ada peringatan maulid di Aceh Besar syiarnya hampir seperti acara walimahan (perta pernikahan).

Dalam hal ini, kita hanya mengingatkan agar peringatan maulid Rasul tak kehilangan substansi dari spirit awal, melupakan substansi dan mengutamannya syriarnya. Justru yang harus dilakukan; peringatan maulid tetap diselenggarakan dalam kerangka menggali ajaran Rasulullah SAW dalam semua sisi kehidupan.  Dengan maulid, kita dapat mendalami kembali ajaran Rasul yang selama ini belum kita ketahui atau belum kita amalkan.

Peringatan maulid Rasul juga dapat kita jadikan momentum refleksi terhadap sikap, prilaku dan  akhlak kita dalam meneladani Rasullah SAW. Untuk itu, pada setiap peringatan maulid Rasul, dapat saja diberikan penghargaan kepada pribadi dan komunitas yang telah menunjukkan komitmen dan keteladanan dalam mengamalkan ajaran Rasulullah SAW. Indikator keteladanan itu dapat saja kita rumuskan.

Dalam konteks ini, kita merekomendasikan perlu inovasi peringatan maulid Rasul, dengan menemukan metoda baru, tentu tanpa meninggalkan tradisi yang ada. Misalnya, peringatan maulid diselenggarakan dalam bentuk tadarus syair dan puisi tentang kehidupan Rasullah SAW atau bentuk lainnya yang bisa kita diskusikan.*    

   
 

Jaringan Masjid, Bersatulah!

Oleh: Sayed Muhammad Husen 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) yang juga Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, melantik Pimpinan  Wilayah DMI Aceh di Anjong Mon Mata, Jumat 29/12 tahun lalu. Pelantikan dilakukan berbarengan dengan peringatan sepuluh tahun tsunami dan peluncuran buku JK tentang tsunami. Pelantikan itu sedikitnya menyentak aktivis masjid di Aceh. Mereka bertanya, ada apa lagi dengan DMI? Bagaimana dengan DKMA yang sejarahnya juga berawal dari DMI?

“Bangkit” kembali DMI tak terlepas dari perdamaian Aceh yang telah melahirkan kesadaran keindonesian dikalangan aktivis masjid. Jaringan nasional masjid perlu “disambung” kembali, setelah terputus akibat konflik. Patut dicatat, perubahan nama DMI menjadi DKMA erat kaitannya dengan spririt nasionalisme Aceh pada masa konflik, walaupun itu bukan alasan tunggal.

Sikap positif kita dalam merespon pelantikan pengurus DMI dengan memposisikan jaringan masjid ini sebagai mitra baru bagi DKMA, BKRMI, JPRMI dan HIMNAS (Himpunan Imam Masjid dan Meunasah) yang diketui Prof Zainal Abidin Alawy. Bukan melihat DMI sebagai pesaing bagi jaringan masjid lainnya, atau bahkan ancaman bagi eksistensi DKMA. Sebab, bagaimanapun jaringan masjid, masjid dan aktivisnya merupakan pemersatu ummat dan teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, perlu secepatnya jaringan masjid (DMI, DKMA, BKPRMI, JPRMI dan HIMNAS) melakukan silaturrahim dan membuka forum bersama, sehingga dapat merumuskan langkah-langkah antisipatif dan prospektif. Langkah antisipatif untuk menghindari dampak negatif banyaknya jaringan masjid, sementara langkah prospektif guna merumuskan pembagian peran dalam memperkuat manajemen masjid di seluruh Aceh.

Elite pengurus jaringan masjid dapat menjadikan Masjid Raya Masjid Baiturrahman sebagai pusat komunikasi dan gerakan. Misalnya, setiap Jumat mereka bertemu di Baiturrahman untuk membicarakan hal-hal yang perlu segera direspon, melakukan pemecahan masalah, analisis berita mingguan, bahkan dapat merancang program aksi bersama. Lebih jauh forum jaringan itu dapat melaksanakan advokasi terhadap hal-hal yang merugikan Islam dan  ummat Islam.  

Dalam konteks inilah, kita berharap, kehadiran semua jaringan masjid mendapat apresiasi dan menjadi harapan ummat. Jaringan ini dapat bersatu dengan cara-cara yang disepakati bersama, sekaligus jaringan ini menjadi pemersatu muslimin Aceh. 

Sumber: Gema Baiturrahman
          

      

   








Pentingnya Pendidikan Aqidah

Oleh: Sayed Muhammad Husen 

Pendidikan aqidah pada pendidikan formal dan informal menjadi solusi terhadap pemikiran dan pendapat “sesat” dalam masyarakat. Pemikiran dan pendapat sesat adalah pemahaman Islam yang tak sesuai dengan dinul Islam. Melanggar Al-Quran dan Hadits. Pemahaman itu terus berkembang dalam masyarakat, seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia. Perkembangan terbaru dalam bentuk  kuliah gender di gereja dan Gafatar.

Kuliah gender di gereja sebenarnya berkaitan dengan aspek muamalah (sosial kemasyarakatan), namun dilihat dari perspektif aqidah hal ini tak lazim dilakukan di Aceh. Narasumber gender dari gereja akan lebih tepat diundang ke kampus atau tempat pertemuan lainnya. Tanpa harus menghadirkan mahasiswa ke gereja. Syukurlah masalah tersebut cepat diselesaikan oleh pimpinam Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry. 

Sementara kasus Gafatar yang diyakini sebagai organisasi baru pengikut Millata Abraham, dalam pandangan aqidah, kelompok ini memang sesat, sebab mereka membangun “agama baru” dengan menggabungkan Millah Ibrahim AS, Nasrani dan Islam. Mereka berupaya mendapatkan “millah” yang dapat menyatukan agama-agama samawi. Katanya, hal itu lebih sesuai dengan sejarah agama-agama. Tentu masih ada beberapa aliran sesat lainnya, misalnya kelompok yang menafikan kedudukan hadits Rasulullah dan shalat lima waktu.

Karena itu, kita memandang perlu benteng keimanan yang kuat seorang muslim, terutama kaum muda, supaya mereka mampu memahami dan meyakini Islam secara sempurna. Tak mudah terpengaruh aliran sesat dan liberalisme tanpa tauhid. Kita harus berupaya sunggung-sungguh membina komitmen dan loyalitas seorang muslim terhadap Islam, supaya mereka mampu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan dalam bernegara. Dengan aqidah yang kuat pula mereka dapat melakukan deteksi dini terhadap penyimpangan Islam.    

Dalam konteks ini, kita memandang perlu dirumuskan kembali langkah-langkah konkret antisipasi terhadap berbagai fenomena pelemahan terhadap dinul Islam itu. Satu agenda dapat dilakukan dengan memperkuat pendidikan aqidah pada pendidikan formal dan pendidikan informal di dalam masyarakat. Selama ini, kita menemukan pembelajaran aqidah yang lebih baik di madrasah, namun kita tak menemukanya pada pendidikan formal (umum) dan pada pengajian-pengajian dalam masyarakat.  Untuk itu, sepatutnya kita beri muatan materi aqidah yang cukup dalam kedua pendidikan itu. Tak cukup hanya mengandalkan materi fikih ibadah saja.     

Sumber: Gema Baiturrahman 
  
  

      




Belajar di Luar Negeri

Oleh: Sayed Muhammad Husen 


Islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap pembelajar. Orang Islam yang belajar berbagai ilmu pengetahuan, ilmu fardhu ‘ain atau ilmu fardhu kifayah mendapat derajat yang tinggi dan imbalan pahala yang besar. Islam tak mempersoalkan seorang muslim belajar ilmu umum atau ilmu Islam, yang penting dipelajari dalam bingkai tauhid. Ilmu yang dipelajari diharapkan dapat meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan kualitas seorang muslim. Bukan melahirkan manusia syirik atau kufur.

Islam juga tak mempersoalkan di wilayah mana atau belahan negeri mana seorang muslim belajar. Tak menjadi soal belajar di dalam atau di luar negeri, yang penting ilmu dapat diperoleh setinggi-tingginya. Hal itu telah ditunjukkan oleh ulama terdahulu yang menjadi musafir bertahun-tahun untuk mendapatkan ilmu yang memadai. Banyak di antara mereka menuntut ilmu di luar wilayah tempat tinggal masing-masing.

Dalam konteks ini, kita melihat tak cukup beralasan mengkhawatirkan anak-anak Aceh yang memilih kuliah atau mendapat sponsor belajar di luar negeri pada berbagai jenjang studi. Opini  yang terbentuk seakan kuliah di negara-negara Barat akan menjadi liberal, belajar di Turki akan sekuler, di Iran jadi Syiah, di Madinah jadi Salafi, atau bahkan belajar di negara tertentu akan jadi teroris. Sungguh ini opini yang dibuat-buat atau dikarang-karang saja.

Kita justru memberikan dukungan dan doa terhadap putra-putri Aceh yang menuntut ilmu pengetahuan di berbagai belahan dunia, di Barat maupun di Timur, di dunia Islam atau bukan. Sebab dengan ketinggian ilmu yang mereka peroleh akan mempercepat perubahan, jika suatu ketika nanti mereka kembali dan berperan dalam masyarakat Aceh. Sebagai contoh dapat kita saksikan  peran itu telah ditunjukkan oleh alumni luar negeri yang tersebar di berbagai sektor kehidupan di Aceh.

Hanya satu hal kita ingatkan,  hendaknya sebelum membuat keputusan untuk belajar atau kuliah di luar negeri untuk mempersiapkan diri secara matang, supaya tak terjadi keterkejutan budaya ketika belajar di negeri orang dan nantinya mampu mempertahankan identitas keacehan. Jika memang harus belajar di negeri kafir, maka akan dapat mempertahankan aqidah dan identitas keislaman.*    




Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...