Kamis, 08 Februari 2018

Abu, Pribadi yang Berpikir Positif


Oleh Hayatullah Pasee

Bicaranya teratur dan bersahaja. Pesannya penuh motivasi. Murah senyum dan gemar bersedekah. Ia suka bergaul dengan siapa saja, termasuk anak muda. Saya memanggilnya Abu.

Adalah Sayed Muhammad Husen. Laki-laki kelahiran Trieng Gadeng 04 September 1965 ini sudah saya anggap seperti orang tua sendiri. Banyak mendapat nasihat darinya, bahkan saya sering meminta pendapat ketika hendak memutuskan sesuatu. Abu selalu memberi saran yang terbaik.

Saya belum begitu lama mengenalinya. Kami bertemu sekitar tahun 2013. Waktu itu, kami sama-sama dalam tim penerbitan Majalah Suara Darussalam milik Baitul Mal Aceh, sedangkan Abu sudah lama bekerja di lembaga tersebut.

Awalnya, hubungan kami biasa-biasa saja. Akibat keseringan silaturrahmi, baik di warung kopi ataupun di kantornya, hubungan emosional kami semakin dekat. Saya sering berkunjung ke kediamannya di Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Kadang kami sering masak daging bebek di sana.

Selain di Baitul Mal Aceh, dari dulu Abu sudah aktif menulis. Ia pernah menjadi jurnalis di beberapa media, salah satunya media Mingguan Atjeh Post tahun 2000, yang saat itu dipimpin Ghazi Husein Yusuf.

Kemudian dari tahun 1999 hingga 2007, Abu juga pernah jadi wartawan Majalah Suara Hidayatullah, Redaktur Tabbloid Suara Aceh, Pemimpin Redaksi Majalah Baitul Mal, dan sekarang menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Jumatan Gema Baiturrahman.

Abu juga aktif di bidang penyiaran. Ia sudah berkarir di bidang radio sejak tahun 2011 pada Radio Prima FM. Di Radio Baiturrahman pernah menjadi penyiar tetap dan terakhir hingga Desember 2017 sebagai host program “Perbincangan Sabtu Pagi”.

Satu hal yang membuat saya kagum dari Abu. Cara melihat suatu masalah selalu menggunakan sudut pandang positif. Bahkan saya pernah sekali membincangkan hal-hal negatif, namun Abu tetap mengiring saya untuk tetap berbaik sangka. Abu tak menghiraukan orang lain yang berpikiran negatif terhadapnya, ia tetap positif thinking.

Ketika kami sama-sama mengelola majalah Suara Darussalam, secara tidak langsung, Abu pelan-pelan mengenalkan saya dengan lembaga amil zakat Baitul Mal Aceh. Hingga akhirnya saya direkom menjadi salah seorang amil di sana.

Awalnya sempat saya tolak. Saya belum terbiasa dengan pekerjaan kantoran, karena masih asik dengan profesi jurnalis, biarpun saat itu saya sudah bekerja di Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh sebagai koresponden.

Ketika Kepala Baitul Mal Aceh (saat itu dipimpin Dr Armiadi Musa) meminta saya yang kedua kalinya untuk bergabung, Abu membujuk saya untuk menerima tawaran tersebut. Tawaran tidak akan datang yang ketiga kalinya. Setelah saya beristikharah, saya menerima tawaran tersebut.

Kebetulan waktu itu Kasubbid Sosialisasi pada Badan Pelaksana BMA, Riza Rahmi lulus S2 ke Australia, maka saya diminta menggantikan posisinya. Sedangkan bidang yang ditinggali Riza sesuai dengan latar belakang profesi saya sebagai jurnalis dan praktisi humas.

Mulai saat itu saya dengan Abu sudah sering bertemu. Saya juga diajak untuk membantu menjadi salah seorang redaktur di tabloid yang ia pimpin. Kami menulis tema-tema islami dan mengedit berita-berita positif.

Bagi saya, tak ada rezeki yang paling berharga selain dikaruniai teman-teman yang baik serta lingkungan yang islami, yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Itulah yang saya inginkan agar saya tetap di jalan yang benar.

Dalam setiap doa, selalu saya memohon agar dikaruniai anak-anak yang salih-salihah, istri yang salihah, teman-teman yang baik serta pergaulan-pergaulan yang baik pula. Saya yakin Abu adalah jawaban doa saya.

Yang membuat saya terharu lagi, Abu juga yang mendampingi saya dari Banda Aceh ketika berangkat ke Pidie Jaya untuk melaksanakan pernikahan. Kami dari Banda Aceh datang berempat, yaitu; saya, Abu, Haekal Afifa, dan istrinya Haekal, Tiza.

Prosesi pernikahan dilaksanakan pagi, sekitar pukul 10.00 Wib. Abu menyarankan untuk datang sehari sebelum acara, agar saat tiba di sana saya lebih segar dan tidak kelelahan. Maka, malam itu kami menginap di rumah orang tua Abu di Trieng Gadeng.

Di mata saya, Abu adalah sosok yang tangguh. Walaupun usianya tak lagi muda, namun jiwa dan cara pikirnya yang moderat, membuat Abu tampak selalu energik. Tak mudah menyerah, dan selalu bersemangat.

Kekokohan kepribadiannya terbukti ketika musibah melanda bumi Serambi Mekkah pada tahun 2004 silam. Abu kehilangan kedua anaknya, Nada Nursaid dan Rif'ah Nursaid serta istrinya, Nour Izmi Nurdin yang begitu ia cintai. Saya tak bisa membayangkan jika itu terjadi sama saya, mungkin saya sudah gila. Tapi tidak dengan Abu. Ia mampu bangkit. Ia masih memiliki iman yang kuat, bahwa setiap musibah itu memiliki hikmah yang tak dapat kita duga.

Saya belajar banyak dari keteguhan Abu. Ia mampu keluar dari keterpurukan. Abu tak mau berlama-lama dalam kesedihan. Abu tahu apa yang harus ia lakukan untuk dirinya dan masa depannya. Abu memiliki jiwa visoner.

Sebagai kenangan, Abu megabadikan kisah syahid keluarganya dalam sebuah buku kecil berjumlah 59 halaman. Buku berjudul “Sayed Muhammad Husen Bangkit Setelah Tsunami” dijadikan sebagai pengganti nisan. Ketika ia rindu akan almarhum keluarganya, ia dapat melihat buku tersebut sebagai bentuk ziarah.

Kini Abu sudah memiliki cahaya baru dalam hidupnya bersama Dra Bunaizah Sulaiman di Gampong Lampanah, Indrapuri, Aceh Besar. Dari pernikahannya, dikaruniai seorang putri yang diberi nama Rafidah Assa’adah  sudah berusia 16 tahun (2023). Karena tinggal di Lampanah, Abu suka dipanggil Abu Lampanah.[] Sumber: Steemit


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...