Kewenangan plus yang dimiliki
Baitul Mal Aceh (BMA) dibandingkan BAZNAS (di luar Aceh) adalah menjadi wali
anak yatim/yatim piatu dan wali pengawas terhadap wali. Kewengan lainnnya
adalah mengelola waqaf dan harta tanpa ahli waris atau tak diketahui keberadaan
pemiliknya. Sementara BAZNAS hanya
berwenang mengelola zakat, infak dan sedekah.
Regulasi yang mengatur perwalian
ini pertama kali muncul pasca tsunami Aceh tahun 2004, karena munculnya
berbagai masalah hukum yang harus secepatnya diselesaikan. Karena itu
dikeluarkanlah Perpu Nomor 2 tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam Rangka Pelaksanan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Sumatra Utara, sebagaimana telah
disahkan menjadi UU Nomor 48 tahun 2007.
Dalam UU 48/2007 Pasal 1 huruf 5
wali didefinisikan dengan: “Wali adalah orang atau badan yang menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.” Jadi sebagai badan publik,
Baitul Mal dapat menjadi wali. Hanya saja dalam definisi ini, tak dilengkapi
dengan pengertian “wali pengawas” namum kemudian diatur dalam batang tubuh UU
tersebut.
Tentang fungsi yang dapat diperankan oleh Baitul Mal
sebagai wali pengawas diatur dalam pasal 32 ayat (1): ”Dalam hal pihak keluarga
tidak mengajukan permohonan penetapan
wali, maka Baitul Mal atau Badan Harta Peninggalan sebagai wali pengawas
mengajukan permohonan penetapan wali kepada Pengadilan.” Badan Harta
Peninggalan itu berlaku untuk yang bukan muslim.
Sementara ayat berikutnya, ayat (2), memberi ruang
Baitul Mal dapat proaktif mengajukan penggatian wali yang menyimpang atau tak
mampu melaksanakan kewajibannya: “Permohonan penggantian wali dapat diajukan
oleh Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan kepada Pengadilan.”
Struktur
Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007
tentang Baitul Mal Pasal 1 huruf 25 memberi pengertian yang lebih lengkap
tentang perwalian: “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang
atau badan sebagai wakil dari anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk melakukan
sesuatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau orang yang
tidak mempunyai orang tua dan orang tuannya tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.”
Demikian juga pada angka 26 qanun
tersebut memberi batasan wali yang lebih jelas: “Wali adalah orang atau badan
yang menjalankan kekuasaannya terhadap anak atau orang yang tidak mempunyai
orang tuannya lagi atau orang tua dan ianya tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, baik untuk kepentingan pribadi
maupun harta kekayaanya.”
Untuk menjalankan kewenangan dan
fungsi perwalian ini, Baitul Mal Aceh dilengkapi dengan struktur organisasi
yang mendukung, dengan menambah bidang yang mengurus perwalian. Hal ini dapat
dilihat pada Qanun 10/2007 Pasal 4 ayat (1): Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh
terdiri atas Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang Pengawasan, Bidang
Pengumpulan, Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan, Bidang Sosialisasi dan
Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub Bagian.
Bahkan, qanun mempertegas kewenangan
dan fungsi pada pasal 8 ayat (1) huruf d: “Menjadi wali terhadap anak yang tidak
mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nasab, dan wali pengampu
terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”
Qanun 10/2007 secara khusus satu
bab mengatur masalah perwalian, yaitu BAB VIII tentang Perwalian pasal 39
hingga 42. Dari sini dapat dipahami bahwa:
Baitul Mal dapat
ditunjuk sebagai wali;
Wali ditetapkan oleh
Mahkamah Syar’iyah;
Orang yang tidak cakap
dihadapan hukum, maka yang bersangkutan dan hartanya dapat diurus oleh Baitul
Mal sebagai wali pengampu;
Baitul Mal sebagai wali
pengawas dapat mengajukan permohonan
penetapan sebagai wali kepada Mahkamah Syar’iyah;
Baitul Mal berfungsi sebagai
wali pengawas;
Baitul Mal dapat
mengajukan permohonan sebagai wali pengganti;
Kewajiban Baitul Mal
sebagai wali adalah mengurus anak atau orang yang dibawah
pengasuhan/pengampuannya dan harta bendanya dengan sebaik-baiknya;Baitul Mal membuat
daftar harta kekayaan anak atau orang dibawah pengampuannya serta semua
perubahan terhadap harta dibawah kekuasaanya; bertanggungjawab terhadap
kerugian yang terjadi akibat kelalaiannya;
Dalam pengelolaan harta
kekayaan dan pengasuhan anak atau orang tidak cakap, Baitul Mal dapat
menghambil biaya dari hasil harta tersebut secara wajar.
Kewenangan BMG
Sebagai turunan dari Qanun 10/2007
Pemerintah Aceh mengeluarkan Pergub Aceh Nomor 11 tahun 2010 tentang Pengelolaan
Harta Agama yang Tidak Diketahui Pemilik dan Ahli Warisnya Serta Perwalian.
Dengan Pergub ini, kewenangan perwalian diserahkan kepada Baitul Mal Gampong
(BMG), sementara Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota hanya menjankan fungsi
pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan perwalian.
Pengaturan lebih lanjut dapat
dilihat Pergub 11/2010 Pasal 13 ayat (2): “Dalam hal orang tua si anak yang
beragama Islam telah meninggal dunia atau tidak cakap bertindak menurut hukum,
dimana pihak keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali, Baitul Mal
Gampong sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada
Mahkamah Syar’iyah.” Pasal ini memang merupakan penegasan ulang substansi
qanun.
Untuk lebih jelas kewenangan BMG
dalam perwalian dapat dilihat pada Pergub 11/2010 Pasal 13 ayat (3): “Apabila
penetapan wali belum dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah, maka Baitul Mal Gampong
menjadi wali sementara anak.” Pasal ini sebenarnya untuk mengantisipasi
kekosongan wali, apabila terjadi masalah hukum pada anak yatim/yatim piatu atau
orang dewasa yang tak cakap dihadapan hukum.
Bahkan pada ayat berikutnya, ayat
(4), telah diantisipasi bila pada gampong tertentu belum dibentuk BMG secara
formal, maka Baitul Mal Kab/Kota yang bertanggungjawab sebagai wali. “Apabila
di gampong yang bersangkutan belum dibentuk Baitul Mal sebagaimana diatur dalam
Qanun Nomor 10 tahun 2007, maka kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (3)
menjadi kewenangan Baitul Mal Kabupaten/Kota dimana gampong tersebut berada.”
Hal menarik dari regulasi perwalian
ini, Baitul Mal berwenang menjadi wali pengawas, yang diatur juga dalam Pergub
11/2010 Pasal 14: “Dalam hal wali yang ditunjuk Mahkmah Syar’iyah, ternyata dikemudian
hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai
wali, maka Baitul Mal Gampong dapat mengajukan permohonan penetapan pergantian
wali kepada Mahkamah Syar’ah.”
Ini adalah hal baru dalam regulasi
perlindungan anak di Indonesia, sebab tak ada lembaga/badan lain yang diberi
kewenangan sebagai wali pengawas yang dapat mengajukan pergantian wali. Sayangnya,
kewenangan ini belum tersosialisasi dengan baik dan Baitul Mal pun belum
menjalankan fungsi perwalian secara optimal.
Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh dan
Baitul Mal Kab/Kota seluruh Aceh saharusnya memprioritaskan juga pelaksanaan amanah
yang dipundakkan Pergub 11/2010 Pasal 15 ayat (2): “Baitul Mal Aceh melakukan
pembinaan dan pengawasan melalui Baitul Mal Kabupaten/Kota terhadap masalah
perwalian yang dilakukan oleh Baitul Mal Gampong.” Tak logis rasanya BMG diberi
beban yang berat dan dibiarkan berjalan sendiri dalam melaksakan fungsi
perwalian.
Beberap hal dapat dilakukan Baitul
Mal Aceh misalnya, melakukan sosialisasi internal dan eksternal tentang
perwalian, membuat panduan pelaksanaan perwalian, pendataan dan pengawasan wali
yang telah ditetapkan Mahkamah Syar’iyah, pelatihan perwalian BMG, monitoring dan pengawasan perwalian. Hal yang mudah dilakukan adalah mengefektifkan
koordinasi bidang perwalian dari tingkat provinsi hingga tingkat gampong.
Sudah saatnya Baitul Mal Aceh
melakukan evaluasi terhadap kewenangan sebagai wali dan wali pengawas, sehingga
masalah-masalah perwalian dalam masyarakat Aceh dapat diselesaikan dengan baik.
Kita ingin anak yatim/yatim piatu di Aceh dapat terpenuhi hak-haknya dan
hartanya terlindungi dengan baik. Hasil evalusi ini juga bermanfaat bagi
pengesahan qanun baru Baitul Mal yang telah menjadi perioritas Prolega 2015.
Apabila kita masih sepakat kewenangan
dan fungsi perwalian dipundakkan kepada BMG, maka dalam qanun baru, struktur
organisasi Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kab/Kota dapat lebih disempurnakan
dengan mengganti Bidang Perwalian menjadi Bidang Wakaf, yang justru pekerjaannya
lebih besar. Sementara Perwalian cukup menjadi Subbidang saja. Kiban?
Penulis, Staf Subbag Persidangan dan Risalah Sekretariat Baitul Mal Aceh