Senin, 27 April 2015

Ekonomi Syariah Bagian Agenda Syariat Islam

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Seorang analis dari Australia mengatakan, pesatnya pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia menunjukkan negeri ini berpotensi menjadi negara Islam, sebab tahapan berikutnya dari tuntutan impelementasi ekonomi syariah adalah tuntutan tegaknya daulah Islamiah atau negara Islam. Ini artinya, pemberlakuan ekonomi syariah memberi kontribusi atau prakondisi tegaknya syariat Islam kaffah atau tegaknya negara Islam.

 Justru sebaliknya di Aceh, pertumbuhan ekonomi syariah di Aceh lebih karena dorongan dari pelaksanaan syariat Islam sejak 2002. Hal ini dengan terang dapat dilihat dari maraknya pertumbuhan perbankan dan asuransi syariah di Aceh justru baru terjadi pasca  deklarasi syariat Islam. Perusahaan asuransi misalnya,  awalnya hanya ada satu asuransi syariah, Takaful. Namun sekarang hadir juga Parolamas Syariah, MAA, Prudential Syariah, dan Barokah.

Kita belum merasa gembira atas kebangkitan ekonomi syariah di Aceh, karena belum mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat nanggroe ini. Misalnya, ummat Islam Aceh masih terbiasa berinteraksi dengan bank dan asuransi konvensional yang berselemak riba. Padahal, Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.   

Lemahnya dukungan masyarakat, mungkin akibat terbatasnya sosialisasi dan bacaan tentang ekonomi syariah dan muamalah Islam. Dalam masyarakat lapisan bawah yang direpresentasikan oleh dayah,  kajian yang sering ditemukan hanya tentang thaharah (bersuci), shalat dan puasa. Kita belum terbiasa mengkaji kitab fikih secara lengkap.

Untuk itu, saatnya Aceh merencanakan pendidikan ekonomi syariah secara terpadu. Lembaga pemerintah dan non pemerintah dapat berperan dalam melakukan sosialisasi sekaligus menjadi konsumen usaha syariah. Perguruan Tinggi dapat membuka jurusan ekonomi syariah, demikian pula Dinas Syariah Islam dapat menjadi motor dan konseptor pendidikan ekonomi syariah di Aceh.

Jadikan agenda ekonomi syariah sebagai muatan pelaksanaan syariat Islam kaffah di Aceh. Buktikan Islam dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

 

Mendakwahi Pemerintah

Oleh Sayed Muhammad Husen   

Dalam ilmu dakwah diajarkan, tugas dakwah adalah kewajiban setiap muslim. Siapa pun yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya diwajibkan memainkan peran amar makruf nahi munkar. Menyampaikan pesan Islam walaupun satu kalimat. Tentu, peran itu dilaksanakan sesuai kemampuan masing-masing, paling tidak mendakwahi diri dan keluarga masing-masing.

Tugas utama dakwah memang dipundakkan kepada da’i atau muballigh, yang profesional atau amatiran. Da’i profesional yaitu yang bekerja full time. Hidup matinya untuk dakwah. Sementara da’i amatiran bekerja paruh waktu. Dia punya profesi lain yang utama. Ada juga dakwah yang dilakukan sambil lalu, hobi, atau sekadar menyampaikan satu dua kalimat pesan Islam.

Lalu, bagaimana ulama menjalankan tugas dakwah ini? Apakah dakwah mereka harus dilakukan profesional atau cukup dengan memaksimalkan peran dan fungsi sebagai ulama. Bisa jadi, dakwah ulama dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran organisasi keulamaan seperti MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama). Dakwah ulama seharusnya lebih fokus pada dakwah strategis.

Kini, dalam memperkuat penyelenggaraan syariat Islam di Aceh, saatnya ulama di Aceh lebih menggenjot dakwahnya dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Ulama dengan wadahnya MPU semestinya mengaktualisasikan tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai penasihat pemerintah. MPU bisa saja sedikit lebih “garang” dalam mendakwahi pemerintah.

Dakwah MPU terhadap pemerintah dilakukan sejak tahapan perencanaan kebijakan, implementasi hingga tahap evaluasi dan monitoring. Ulama harus proaktif melibatkan diri dalam penyusunan perencanaan strategis pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan dan penyelesaian berbagai masalah rakyat (ummat). Ulama memberikan berbagai konsep dan solusi dari perspektif syariat Islam.

Pada tingkatan yang lebih praktis, seharusnya, ulama dapat mereview penyelenggaraan pemeritahan dan pelaksanaan pembangunan setiap minggu. Misalnya, setiap Jumat MPU mengeluarkan taushiah (nasihat) tertulis terkait isu-isu aktual dalam sepekan.  Taushiah itu tak perlu panjang lebar, yang penting secara praktis dapat diaplikasikan oleh perintah. Dengan taushiah ini, pemerintah akan senantiasa berada di jalur yang benar.

Ini tidak berarti MPU telah mengambil fungsi dan kewangan DPRA/DPRK, sebab memang secara konstuitusional MPU telah sejajar dengan DPRA/DPRK dan pemerintah. Karena itu,  dakwah ulama kepada pemeritah melalui MPU haruslah dilakukan secara sistemik, terprogram dan memiliki target-target konkret, misalnya terwujudnya tata pemeritahan yang baik dan islami.  


      





     









          






     














Jumat, 24 April 2015

Peran Politik Muslimah

Oleh Sayed Muhammad Husen 

Sedikit penulis mengulas peran politik muslimah. Justru yang banyak penulis mengkaji peran pendidikan muslimah dalam keluarga. Muslimah diyakini sebagai “madrasah” yang efektif dalam menyiapkan generasi baru, mulai dari kandungan hingga seorang anak dewasa. Seorang muslimah memang disiapkan sebagai ibu generasi: melahirkan generasi baru muslim yang kuat dan taqwa.

Hanya saja, peran politik muslimah tetap saja dalam perdebatan. Sebagian ulama dan intelektual muslim memberi ruang yang luas bagi seorang muslimah berperan di sektor politik, sebagian lagi menolaknya. Akibatnya, peran politik muslimah tak berlaku sama pada setiap negara Islam atau negara mayoritas berpenduduk muslim. Sangat tergantung pada pemahaman Islam dan politik negara tersebut.

Sementara sejarah kepempimpinan Aceh pernah dipimpin raja seorang muslimah, juga tak luput dari prokontra muslimah sebagai seorang pemimpin, sebab pemimpin adalah peran politik tertinggi. Ini sangat dipengaruhi dominasi ulama dan cendikiawan muslim sebagai pemegang otoritas keislaman dan sejauhmana politik mengintervensi agama untuk kepentingan politik.

Dalam konteks kekinian, pemahaman keislaman yang moderat dalam pelaksanaan syariat Islam, cukup membantu upaya peningkatan peran muslimah pada sektor politik. Agenda demokrasi politik yang sedang berlangsung di negeri ini, ikut mempengaruhi pemahaman politik Islam: tidak membedakan antara laki-laki dan muslimah (perempuan). Disini ada titik temu antara syariah dan demokrasi.

Karena itu, dengan iklim yang kondusif bagi kaderisasi muslimah politik, Aceh dapat terus melahirkan banyak kader politik muslimah. Kaderisasi politik yang selama berlangsung melalui Ormas Islam, LSM Islam, Parpol Islam dan perguruan tinggi dapat terus terus berlangsung, yang pada akhirnya melahirkan banyak politisi muslimah. Politisi ini diharapkan mampu mengimplementasikan politik Islam dalam pembangunan Aceh.

Dalam hal ini, kita merasa perlu memberi dukungan dan penciptaan iklim yang kondusif bagi politisi muslimah yang sedang dan akan berperan dalam sektor politik. Muslimah kita yang sedang bekerja sebagai walikota, anggota parlemen, kepala dinas, lembaga daerah, bahkan keuchik, seharusnya mendapat apresiasi yang sama dengan laki-laki. Jadi, Islam Aceh memang tak membedakan laki-laki dan muslimah dalam dunia politik. 


Minggu, 19 April 2015

Peran Baitul Mal dalam Penanggulangan Kemiskinan

Oleh Sayed Muhammad Husen 

Gagasan awal pembentukan Baitul Mal di Aceh (2003) memang secara formal didasari pada upaya mengisi keistimewaan Aceh di bidang syariat Islam. Namun jika kita lihat fakta sosial ekonomi yang melatar-belakanginya, justru Baitul Mal dibentuk untuk menjawab berbagai persoalan sosial, kemiskinan dan kondisi kaum dhuafa yang tertindas. Kehadiran Baitul Mal diharapkan menjadi bagian dari solusi penting terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat Aceh.

Baitul Mal Aceh mulai beroperasi 12 Januari 2004 dengan legalitas Surat Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal. Dasar hukum yang digunakan ketika itu: UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penyelengaraan Syariat Islam. Terakhir, Baitul Mal diperkuat dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal.

Langkah pertama dilakukan Baitul Mal Aceh adalah memperkuat kelembagaan dan pembentukan Baitul Mal Kabupaten/Kota, sehingga pada 2008 telah terbentuk 23 Baitul Mal Kabupaten/kota di seluruh Aceh.  Sayangnya, pada penghujung 2004 Baitul Mal Aceh ikut mengalami musibah besar tsunami dan menghancurkan kantor.  Kepala periode pertama, Drs HM Yusuf Hasan SH, meninggal  dan seluruh dokumen hilang. Baitul Mal bangkit kembali seiring proses rehabilitassi dan rekonstruksi Aceh dan Alhamdulilah tahun 2008 dapat dikatakan telah beroperasi normal kembali. 

Perkembangan pesat Baitul Mal seluruh Aceh terjadi setelah badan resmi zakat, waqaf dan harta agama ini ditingkatkan menjadi Lembaga Keistimewaan Aceh (2008). Dengan Permendagri Nomor 18 tahun 2008 dan Permendagri 37 tahun 2009, pada Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota ditempatkan Sekretariat yang terdiri dari pejabat pemerintah. Dengan pembentukan Sekretariat Baitul Mal  menjadi SKPA dan SKPK.  Biaya operasional pun sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kab/Kota seluruh Aceh.

Salah satu indikator menguatnya peran Baitul Mal dapat dilihat dari kemampuan menghimpun dana zakat dan infak. Dari data yang ada, Baitul Mal Aceh menghimpun zakat dan infak tahun 2011 Rp 26,60 miliar, tahun 2012 Rp 28,78 miliar dan tahun 2013 Rp 39,3 miliar. Sementara 23 Baitul Mal Kab/Kota menghimpun zakat dan infak tahun 2011 Rp 77,57 miliar, tahun 2012 Rp 98,19 miliar dan tahun 2013 Rp 101,68 miliar. Seluruh dana itu disalurkan 90% lebih untuk penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan kaum dhuafa.

Pendayagunaan  

Pendistribusian dan pendayagunaan zakat dan infak pada Baitul Mal Aceh dilakukan dengan tetap memperhatikan senif penyaluran zakat yaitu fakir, miskin, muallaf, amil, gharimin, fiisabilillah dan ibnu sabil, kecuali riqab yang belum dapat didefinisikan dalam konteks kekinian.  Senif penyaluran ini, kemudian dirinci dalam bentuk program  dan kegiatan yang setiap tahunnya disahkan oleh Dewan Pertimbangan Syariah atau Dewan Pengawas.

Dari pengalaman selama ini, Baitul Mal Aceh mendistribusikan dan mendayagunakan zakat dan infak untuk lima program unggulan: Program ZIS Produktif; Program Fakir Uzur dan Tuna Netra; Program Beasiswa; Program Rumah Fakir Miskin dan Program Pembinaan Daerah Rawan Aqidah. Selain itu juga dilakukan penyaluran zakat dan infak untuk kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya penyelesaian masalah sosial, dakwah dan keislaman lainnya.

Program ZIS Produktif disalurkan dalam bentuk pinjaman modal usaha tanpa bunga (qardhul hasan) bagi usaha mikro sebesar Rp 1 juta hingga Rp 10 juta, yang harus dikembalikan dalam waktu satu tahun. Selanjutnya diberikan pinjaman lagi hingga pengusaha mikro tersebut dapat berdaya dengan kriteria telah mencapai penghasilan sebatas nishab zakat (penghasilan setahun senilai 94 gram emas).  Sejak tahun 2006 hingga Juni 2014, Baitul Mal Aceh telah menyalurkan dan menggulirkan zakat dan infak produktif Rp 8,6 miliar.      

Sementara program fakir uzur, Baitul Mal Aceh telah menyalurkan secara berkelanjutan zakat untuk kaum fakir (sangat-sangat miskin) dan uzur (tak bisa mencari nafkah dan menjadi keluarga miskin) dan tuna netra sejumlah 1.067 orang. Kepada mereka diberikan bantuan tunai Rp 200 ribu setiap bulan secara berkelanjutan seumur hidup. Jumlah mustahik ini dapat terus bertambah seiring meningkatnya kemampuan finansial Baitul Mal Aceh, sebab fakta di lapangan masih banyak fakir uzur yang harus disantuni. 

Baitul Mal Aceh juga menyalurkan beasiswa dari tingkat dasar hingga mahasiswa. Beberapa bentuk beasiswa diberikan misalnya: Beasiswa Diploma III Wirausaha, Pesantren Wirausaha, Pesantren Tahfidzul Quran yang direncanakan akan mendidik 1000 santri tahfidz, Pesantren Anak Muallaf. Selain itu, diberikan beasiswa dalam bentuk bantuan pendidikan kepada anak miskin, anak muallaf dan 1000 santri miskin. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2014, total beasiswa dan bantuan pendidikan yang disalurkan  Baitul Mal Aceh mencapai Rp 11,72 miliar.

Program Rumah Fakir Miskin dilakukan dalam bentuk membangun rumah layak huni bagi fakir dan miskin di seluruh Aceh. Sejak 2012 telah dibangun 1.454 unit rumah dan menurut rencana akan dilanjutan pada tahun tahun-tahun berikutnya. Sementara program pembinaan daerah rawan aqidah dilaksanakan di daerah perbatasan dengan Sumatera Utara yaitu di Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulusalam. Di empat daerah ini Baitul Mal Aceh melakukan pembinaan dan pemberian santunan kepada muallaf, juga membangun dan merehab masjid/mushalla.

Dari seluruh program dan kegiatan Baitul Mal, tetap berorientasi pada pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan kaum dhuafa.  Hal ini dilakukan karena jumlah dana yang disalurkan dan didayagunakan Baitul Mal belum cukup besar, dibandingkan potensi zakat Aceh yang mencapai Rp 1,9 triliun.  Karena itu pula, Baitul Mal mengutamakan sinergitas dengan instansi lain yang fungsinya hampir sama, menjemput data serta  merancang program dan kegiatan yang belum digarap instansi lainnya.

Demikian juga program dan kegiatan Baitul Mal Kab/Kota di seluruh Aceh. Hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk kepentingan fakir miskin dan kaum dhuafa. Dana yang disalurkan dominan masih dalam bentuk bantuan konsumtif  bagi fakir-miskin. Sedikit sekali yang digunakan untuk kegiatan fisabilllah (kegiatan-kegiatan  keislaman) dan investasi. Kita berharap, seiring meningkatnya jumlah koleksi zakat dan infak, akan meningkat pula jumlah dana yang dapat diproduktifkan dan diinvestasikan dalam berbagai bentuk program demi kemaslahatan umat. Dan ketika itulah manfaat zakat dan infak akan dapat dirasakan mafaatnya dalam jangka panjang.

Pidana Zakat di Aceh

Oleh Sayed Muhammad Husen

Zakat dan pengelolaannya di Aceh, selain merupakan ketentuan syariat Islam, telah pula menjadi hukum positif. Sebab zakat dan pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. Zakat sebagai hukum positif mengikat muzakki (wajib zakat)  dan mengatur amil sebagai pemegang otoritas manajemen zakat.

UUPA pasal 191 memberi kewenangan pengelolaan zakat kepada Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota dalam provinsi Aceh, yang selanjutnya diatur dengan Qanun Aceh. Pasal 192 UUPA menjadi landasan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan dan pasal 180 menetapkan zakat sebagai salah satu PAD (Pendapatan Asli Daerah).  Karena itu, zakat di Aceh dikelola oleh negara (pemerintah). Tak diberi ruang lagi pihak swasta menjadi amil zakat.

Pasal 21 ayat (1) Qanun 10/2007 menetapkan, “Setiap orang yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat sebagai muzakki menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.” Qanun juga telah menetapkan wilayah kerja masing-masing tingkatan Baitu Mal: Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kab/Kota, Baitul Mal Kemukiman (pemerintahan setingkat di bawah kecamatan) dan Baitul Mal Gampong/Desa.

Sementara jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakat, disebutkan dalam Pasal 18 Qanun 10/2007, yaitu: zakat emas, perak, logam mulia lainnya dan uang; zakat perdagangan dan perusahaan;  zakat perindustrian; zakat pertanian, zakat perkebunan dan perikanan; zakat peternakan; zakat pertambangan; zakat pendapatan dan jasa; dan zakat rikaz.

Ketentuan pidana

Lebih lanjut, terhadap pelanggar zakat di Aceh, dikenakan pidana seperti diatur dalam pasal 50, bahwa setiap muzakki (orang Islam atau badan) yang tidak melaksanakan kewajibannya, dihukum karena melakukan jarimah ta’zir (hukuman denda) dengan ‘uqubat (pidana), berupa denda paling sedikit satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak dua kali nilai zakat yang wajib dibayarkan. Bagi perusahaan yang memerlukan audit khusus oleh Baitul Mal, wajib membayar seluruh biaya yang diperlukan.

Qanun 10/2007 juga menetapkan pidana bagi yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat, yaitu dihukum dengan uqubat ta’zir berupa denda paling banyak Rp 3 juta, paling sedikit Rp 1 juta atau hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau paling sedikit satu bulan.

Kemudian, siapa yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya, yang seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada Baitul Mal, dihukum berupa cambuk di depan umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, dan denda paling sedikit satu kali, paling banyak dua kali dari nilai zakat, waqaf dan harta agama yang digelapkan.

Amil (petugas Baitul Mal) yang mengelola zakat fitrah dan  zakat mal pada Baitu Mal Gampong dan nazir waqaf, yang melakuklan penyelewengan pengelolaan zakat dan harta agama dihukum uqubat ta’zir berupa denda Rp 1 juta, paling banyak Rp 3 juta atau hukuman kurungan paling singkat dua bulan atau paling lama enam bulan dan membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta gama yang diselewengkan.

Sementara jika pelanggaran atau penyelewengan dilakukan oleh badan (perusahaan, PT, CV dan koperasi dan yayasan sebagai wajib zakat) ‘uqubatnya dijatuhkan kepada pimpinan atau pengurus badan tersebut, sesuai dengan tanggungjawabnya.

Qanun 10/2007 pasal 45-49 telah pula mengatur tentang mekanisme penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran zakat dan pengelolaannya di Aceh, sehingga Baitul Mal dapat melaporkan kepada polisi muzakki yang ingkar zakat dan amil yang melakukan penyimpangan zakat dan harta agama. Selanjutnya diadili oleh Mahkamah Syar’iyah.   

Demikian ketentuan pidana Islam tentang zakat dan pengelolaannya di Aceh, yang telah diatur dalam Qanun 10/2007, sebagai implementsai syariat Islam kaffah. Ketentuan pidana ini lebih maju dibandingkan pengaturan dalam UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang hanya memberi sanksi kepada amil yang melakukan penyimpangan.

Semoga dengan ketentuan pidana ini kesadaran muzakki akan terus meningkat dan amil pun lebih amanah dan profesional. Zakat semakin dirasakan manfaatnya dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan pembebasan sosial di negeri ini.           

  

 





    

Jumat, 17 April 2015

Bangkitnya NU Aceh

Oleh Sayed Muhammad Husen 


Nahdlatul Ulama (NU) adalah Ormas Islam terbesar di Indonesia, namun tidak demikian halnya di Aceh. Masih ada organisasi lain yang lebih eksis, seperti HUDA, MUNA, Al-Washliyah  dan Muhammadiyah. Yang menarik, NU di Aceh mengalami pertumbuhan pesat dalam sepuluh tahun terakhir.

Perkembangan NU di Aceh dipengaruhi iklim yang kondusif dalam berserikat pasca perdamaian RI-GAM (2005), ditambah lagi tuntutan peran dalam pelaksanaan syariat Islam dan suksesnya proses Indonesianisasi. Alasan terakhir ini menunjukkan, tak ada lagi kecurigaan ulama Aceh terhadap Indonesia. Mareka tak segan bergabung dengan organisasi nasional seperti NU.

Dalam hal perumusan peran, kita mendapatkan informasi, bahwa NU Aceh semakin intensif merancang dan melaksanakan program kerja yang dianggap menjadi solusi terhadap problematika ummat. Diantaranya, mendirikan taman kanak-kanak, membuka perguruan tinggi Islam dan pembinaan dayah. Hal ini dilakukan bersamaan dengan penguatan jaringan NU seluruh Aceh.

Kebangkitan NU Aceh, tak terlepas dari ketokohan Waled Nu (Tgk Nuruzzahri Yahya) dan Abu Faisal (Tgk H Faisal Ali). Kedua “ulama Samalanga” ini  diangap cukup berpengaruh dalam merangkul ulama dayah lainnya untuk bergabung dalam wadah yang lebih besar dan berskala nasional. Kedua ulama ini cukup berparan juga dalam resolusi konflik Aceh. Ini daya tarik tersendiri.

Faktor lain membuat NU mendapat sambutan ulama Aceh, karena organisasi ini dianggap berhasil membuat garis pemisah yang lebih tegas dengan PPP, walaupun kemudian NU mendirikan PKB sebagai wadah poltik baru nahdliyyin. Tapi PPP di Aceh pernah dianggap identik dengan aspirasi politik ulama Aceh.

Selanjutnya, apa yang dapat kita harapkan dari Konperensi Wilayah NU Aceh ke XIII? Lazimnya musyawarah organisasi tingkat propinsi, hanya dua hal yang sering menjadi perhatian peserta dan pihak eksternal: suksesi kepemimpinan dan rekomendasi yang dirumuskan. Namun kita, menawarkan perspektif lain dari konperensi itu.

Menurut kita, NU Aceh, dalam konperensi ini dapat merumuskan peran strategis yang agak berbeda dengan Ormas Islam lain seperti Muhamadiyah dan Al-Washliyah, yang dianggap lebik suskes di jalur pendidikan. Justru jalur ekonomi dan bisnis yang belum tergarap dengan baik, seharusnya menjadi garapan strategis NU Aceh. Masalahnya adalah, adakah elit NU Aceh tertarik dengan peran ini? Kita tunggu responnya.


Kamis, 16 April 2015

Kewenangan Perwalian Baitul Mal

Oleh:  Sayed Muhammad Husen


Kewenangan plus yang dimiliki Baitul Mal Aceh (BMA) dibandingkan BAZNAS (di luar Aceh) adalah menjadi wali anak yatim/yatim piatu dan wali pengawas terhadap wali. Kewengan lainnnya adalah mengelola waqaf dan harta tanpa ahli waris atau tak diketahui keberadaan pemiliknya. Sementara BAZNAS  hanya berwenang mengelola zakat, infak dan sedekah. 

Regulasi yang mengatur perwalian ini pertama kali muncul pasca tsunami Aceh tahun 2004, karena munculnya berbagai masalah hukum yang harus secepatnya diselesaikan. Karena itu dikeluarkanlah Perpu Nomor 2 tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Sumatra Utara, sebagaimana telah disahkan menjadi UU Nomor 48 tahun 2007.

Dalam UU 48/2007 Pasal 1 huruf 5 wali didefinisikan dengan: “Wali adalah orang atau badan yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.” Jadi sebagai badan publik, Baitul Mal dapat menjadi wali. Hanya saja dalam definisi ini, tak dilengkapi dengan pengertian “wali pengawas” namum kemudian diatur dalam batang tubuh UU tersebut.   

Tentang fungsi yang dapat diperankan oleh Baitul Mal sebagai wali pengawas diatur dalam pasal 32 ayat (1): ”Dalam hal pihak keluarga tidak mengajukan permohonan  penetapan wali, maka Baitul Mal atau Badan Harta Peninggalan sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada Pengadilan.” Badan Harta Peninggalan itu berlaku untuk yang bukan muslim.

Sementara ayat berikutnya, ayat (2), memberi ruang Baitul Mal dapat proaktif mengajukan penggatian wali yang menyimpang atau tak mampu melaksanakan kewajibannya: “Permohonan penggantian wali dapat diajukan oleh Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan kepada Pengadilan.” 

Struktur

Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal Pasal 1 huruf 25 memberi pengertian yang lebih lengkap tentang perwalian: “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai wakil dari anak atau sebagai pengampu  dari orang yang tidak cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau orang yang tidak mempunyai orang tua dan orang tuannya tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”  

Demikian juga pada angka 26 qanun tersebut memberi batasan wali yang lebih jelas: “Wali adalah orang atau badan yang menjalankan kekuasaannya terhadap anak atau orang yang tidak mempunyai orang tuannya lagi atau orang tua dan ianya tidak cakap melakukan perbuatan hukum, baik untuk kepentingan pribadi  maupun harta kekayaanya.”  

Untuk menjalankan kewenangan dan fungsi perwalian ini, Baitul Mal Aceh dilengkapi dengan struktur organisasi yang mendukung, dengan menambah bidang yang mengurus perwalian. Hal ini dapat dilihat pada Qanun 10/2007 Pasal 4 ayat (1): Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh terdiri atas Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan, Bidang Sosialisasi dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub Bagian.

Bahkan, qanun mempertegas kewenangan dan fungsi pada pasal 8 ayat (1) huruf d: “Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nasab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”  

Qanun 10/2007 secara khusus satu bab mengatur masalah perwalian, yaitu BAB VIII tentang Perwalian pasal 39 hingga 42. Dari sini dapat dipahami bahwa:

Baitul Mal dapat ditunjuk sebagai wali; 
Wali ditetapkan oleh Mahkamah Syar’iyah;
Orang yang tidak cakap dihadapan hukum, maka yang bersangkutan dan hartanya dapat diurus oleh Baitul Mal sebagai wali pengampu; 
Baitul Mal sebagai wali pengawas  dapat mengajukan permohonan penetapan sebagai wali kepada Mahkamah Syar’iyah;
Baitul Mal berfungsi sebagai wali pengawas; 
Baitul Mal dapat mengajukan permohonan sebagai wali pengganti;
Kewajiban Baitul Mal sebagai wali adalah mengurus anak atau orang yang dibawah pengasuhan/pengampuannya dan harta bendanya dengan sebaik-baiknya;Baitul Mal membuat daftar harta kekayaan anak atau orang dibawah pengampuannya serta semua perubahan terhadap harta dibawah kekuasaanya; bertanggungjawab terhadap kerugian yang terjadi akibat kelalaiannya;
Dalam pengelolaan harta kekayaan dan pengasuhan anak atau orang tidak cakap, Baitul Mal dapat menghambil biaya dari hasil harta tersebut secara wajar.

Kewenangan BMG

Sebagai turunan dari Qanun 10/2007 Pemerintah Aceh mengeluarkan Pergub Aceh Nomor 11 tahun 2010 tentang Pengelolaan Harta Agama yang Tidak Diketahui Pemilik dan Ahli Warisnya Serta Perwalian. Dengan Pergub ini, kewenangan perwalian diserahkan kepada Baitul Mal Gampong (BMG), sementara Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota hanya menjankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan perwalian.  

Pengaturan lebih lanjut dapat dilihat Pergub 11/2010 Pasal 13 ayat (2): “Dalam hal orang tua si anak yang beragama Islam telah meninggal dunia atau tidak cakap bertindak menurut hukum, dimana pihak keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali, Baitul Mal Gampong sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada Mahkamah Syar’iyah.” Pasal ini memang merupakan penegasan ulang substansi qanun.

Untuk lebih jelas kewenangan BMG dalam perwalian dapat dilihat pada Pergub 11/2010 Pasal 13 ayat (3): “Apabila penetapan wali belum dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah, maka Baitul Mal Gampong menjadi wali sementara anak.” Pasal ini sebenarnya untuk mengantisipasi kekosongan wali, apabila terjadi masalah hukum pada anak yatim/yatim piatu atau orang dewasa yang tak cakap dihadapan hukum. 

Bahkan pada ayat berikutnya, ayat (4), telah diantisipasi bila pada gampong tertentu belum dibentuk BMG secara formal, maka Baitul Mal Kab/Kota yang bertanggungjawab sebagai wali. “Apabila di gampong yang bersangkutan belum dibentuk Baitul Mal sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 10 tahun 2007, maka kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (3) menjadi kewenangan Baitul Mal Kabupaten/Kota dimana gampong tersebut berada.”  

Hal menarik dari regulasi perwalian ini, Baitul Mal berwenang menjadi wali pengawas, yang diatur juga dalam Pergub 11/2010 Pasal 14: “Dalam hal wali yang ditunjuk Mahkmah Syar’iyah, ternyata dikemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka Baitul Mal Gampong dapat mengajukan permohonan penetapan pergantian wali kepada Mahkamah Syar’ah.”

Ini adalah hal baru dalam regulasi perlindungan anak di Indonesia, sebab tak ada lembaga/badan lain yang diberi kewenangan sebagai wali pengawas yang dapat mengajukan pergantian wali. Sayangnya, kewenangan ini belum tersosialisasi dengan baik dan Baitul Mal pun belum menjalankan fungsi perwalian secara optimal.     

Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kab/Kota seluruh Aceh saharusnya memprioritaskan juga pelaksanaan amanah yang dipundakkan Pergub 11/2010 Pasal 15 ayat (2): “Baitul Mal Aceh melakukan pembinaan dan pengawasan melalui Baitul Mal Kabupaten/Kota terhadap masalah perwalian yang dilakukan oleh Baitul Mal Gampong.” Tak logis rasanya BMG diberi beban yang berat dan dibiarkan berjalan sendiri dalam melaksakan fungsi perwalian.

Beberap hal dapat dilakukan Baitul Mal Aceh misalnya, melakukan sosialisasi internal dan eksternal tentang perwalian, membuat panduan pelaksanaan perwalian, pendataan dan pengawasan wali yang telah ditetapkan Mahkamah Syar’iyah, pelatihan perwalian BMG,  monitoring dan pengawasan perwalian.  Hal yang mudah dilakukan adalah mengefektifkan koordinasi bidang perwalian dari tingkat provinsi hingga tingkat gampong.    

Sudah saatnya Baitul Mal Aceh melakukan evaluasi terhadap kewenangan sebagai wali dan wali pengawas, sehingga masalah-masalah perwalian dalam masyarakat Aceh dapat diselesaikan dengan baik. Kita ingin anak yatim/yatim piatu di Aceh dapat terpenuhi hak-haknya dan hartanya terlindungi dengan baik. Hasil evalusi ini juga bermanfaat bagi pengesahan qanun baru Baitul Mal yang telah menjadi perioritas Prolega 2015.

Apabila kita masih sepakat kewenangan dan fungsi perwalian dipundakkan kepada BMG, maka dalam qanun baru, struktur organisasi Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kab/Kota dapat lebih disempurnakan dengan mengganti Bidang Perwalian menjadi Bidang Wakaf, yang justru pekerjaannya lebih besar. Sementara Perwalian cukup menjadi Subbidang saja. Kiban?

Penulis, Staf Subbag Persidangan dan  Risalah Sekretariat Baitul Mal Aceh       

   

    

  
  
  

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...