Oleh Hayatullah Pasee
Bicaranya teratur dan bersahaja.
Pesannya penuh motivasi. Murah senyum dan gemar bersedekah. Ia suka bergaul
dengan siapa saja, termasuk anak muda. Saya memanggilnya Abu.
Adalah Sayed Muhammad Husen. Laki-laki kelahiran
Trieng Gadeng 04 September 1965 ini sudah saya anggap seperti orang tua
sendiri. Banyak mendapat nasihat darinya, bahkan saya sering meminta pendapat
ketika hendak memutuskan sesuatu. Abu selalu memberi saran yang terbaik.
Saya belum begitu lama mengenalinya. Kami bertemu sekitar tahun 2013. Waktu
itu, kami sama-sama dalam tim penerbitan Majalah Suara Darussalam milik Baitul
Mal Aceh, sedangkan Abu sudah lama bekerja di lembaga tersebut.
Awalnya, hubungan kami biasa-biasa saja. Akibat
keseringan silaturrahmi, baik di warung kopi ataupun di kantornya, hubungan
emosional kami semakin dekat. Saya sering berkunjung ke kediamannya di Alue
Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Kadang kami sering masak daging
bebek di sana.
Selain di Baitul Mal Aceh, dari dulu Abu sudah aktif
menulis. Ia pernah menjadi jurnalis di beberapa media, salah satunya media Mingguan Atjeh Post tahun 2000, yang saat itu dipimpin Ghazi Husein Yusuf.
Kemudian dari tahun 1999 hingga 2007, Abu juga pernah
jadi wartawan Majalah Suara Hidayatullah, Redaktur Tabbloid Suara Aceh,
Pemimpin Redaksi Majalah Baitul Mal, dan sekarang menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi Tabloid Jumatan Gema Baiturrahman.
Abu juga aktif di bidang penyiaran. Ia sudah berkarir
di bidang radio sejak tahun 2011 pada Radio Prima FM. Di Radio Baiturrahman
pernah menjadi penyiar tetap dan terakhir hingga Desember 2017 sebagai host
program “Perbincangan Sabtu Pagi”.
Satu hal yang membuat saya kagum dari Abu. Cara melihat suatu masalah selalu
menggunakan sudut pandang positif. Bahkan saya pernah sekali membincangkan
hal-hal negatif, namun Abu tetap mengiring saya untuk tetap berbaik sangka. Abu
tak menghiraukan orang lain yang berpikiran negatif terhadapnya, ia tetap positif
thinking.
Ketika kami sama-sama mengelola majalah Suara
Darussalam, secara tidak langsung, Abu pelan-pelan
mengenalkan saya dengan lembaga amil zakat Baitul Mal Aceh. Hingga akhirnya saya
direkom menjadi salah seorang amil di sana.
Awalnya sempat saya tolak. Saya belum terbiasa dengan
pekerjaan kantoran, karena masih asik dengan profesi jurnalis, biarpun saat
itu saya sudah bekerja di Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh sebagai
koresponden.
Ketika Kepala Baitul Mal Aceh (saat itu dipimpin Dr
Armiadi Musa) meminta saya yang kedua kalinya untuk bergabung, Abu membujuk
saya untuk menerima tawaran tersebut. Tawaran tidak akan datang yang ketiga
kalinya. Setelah saya beristikharah, saya menerima tawaran tersebut.
Kebetulan waktu itu Kasubbid Sosialisasi pada Badan
Pelaksana BMA, Riza Rahmi lulus S2 ke Australia, maka saya diminta menggantikan
posisinya. Sedangkan bidang yang ditinggali Riza sesuai dengan latar belakang
profesi saya sebagai jurnalis dan praktisi humas.
Mulai saat itu saya dengan Abu sudah sering bertemu.
Saya juga diajak untuk membantu menjadi salah seorang redaktur di tabloid yang
ia pimpin. Kami menulis tema-tema islami dan mengedit berita-berita positif.
Bagi saya, tak ada rezeki yang paling berharga selain
dikaruniai teman-teman yang baik serta lingkungan yang islami, yaitu Masjid
Raya Baiturrahman. Itulah yang saya inginkan agar saya tetap di jalan yang
benar.
Dalam setiap doa, selalu saya memohon agar dikaruniai
anak-anak yang salih-salihah, istri yang salihah, teman-teman yang baik serta
pergaulan-pergaulan yang baik pula. Saya yakin Abu adalah jawaban doa saya.
Yang membuat saya terharu lagi, Abu juga yang
mendampingi saya dari Banda Aceh ketika berangkat ke Pidie Jaya untuk
melaksanakan pernikahan. Kami dari Banda Aceh datang berempat, yaitu; saya,
Abu, Haekal Afifa, dan istrinya Haekal, Tiza.
Prosesi pernikahan dilaksanakan pagi, sekitar pukul
10.00 Wib. Abu menyarankan untuk datang sehari sebelum acara, agar saat tiba di
sana saya lebih segar dan tidak kelelahan. Maka, malam itu kami menginap di
rumah orang tua Abu di Trieng Gadeng.
Di mata saya, Abu adalah sosok yang tangguh. Walaupun
usianya tak lagi muda, namun jiwa dan cara pikirnya yang moderat, membuat Abu
tampak selalu energik. Tak mudah menyerah, dan selalu bersemangat.
Kekokohan kepribadiannya terbukti ketika musibah
melanda bumi Serambi Mekkah pada tahun 2004 silam. Abu kehilangan kedua
anaknya, Nada Nursaid dan Rif'ah Nursaid serta istrinya, Nour Izmi Nurdin yang
begitu ia cintai. Saya tak bisa membayangkan jika itu terjadi sama saya,
mungkin saya sudah gila. Tapi tidak dengan Abu. Ia mampu bangkit. Ia masih
memiliki iman yang kuat, bahwa setiap musibah itu memiliki hikmah yang tak
dapat kita duga.
Saya belajar banyak dari keteguhan Abu. Ia mampu keluar dari keterpurukan. Abu
tak mau berlama-lama dalam kesedihan. Abu tahu apa yang harus ia lakukan untuk
dirinya dan masa depannya. Abu memiliki jiwa visoner.
Sebagai kenangan, Abu megabadikan kisah syahid
keluarganya dalam sebuah buku kecil berjumlah 59 halaman. Buku berjudul “Sayed
Muhammad Husen Bangkit Setelah Tsunami” dijadikan sebagai pengganti nisan.
Ketika ia rindu akan almarhum keluarganya, ia dapat melihat buku tersebut
sebagai bentuk ziarah.
Kini Abu sudah memiliki cahaya baru dalam hidupnya
bersama Dra Bunaizah Sulaiman di Gampong Lampanah, Indrapuri, Aceh Besar. Dari
pernikahannya, dikaruniai seorang putri yang diberi nama Rafidah Assa’adah sudah berusia 16 tahun (2023). Karena tinggal di Lampanah, Abu suka dipanggil Abu
Lampanah.[] Sumber: Steemit