Oleh: Sayed Muhammad Husen
Sebagai utusan KNPI Sabang saya mengikuti lomba pidato KNPI se Aceh tahun 1984 di Banda Aceh. Panitia pelaksana menyediakan
akomodasi peserta di Wisma Jangkar, Simpang Lima, Banda Aceh. Saya tinggal
sekamar dengan Jamaluddin T Muku dan
Qusaiyen Ali (alm). Dari dua sahabat ini saya mendapatkan informasi pertama
kali tentang Iskada (Ikatan Siswa Kader Dakwah), yang memang saya buktikan di
lomba pidato itu bahwa peserta yang pernah mengikuti kursus Iskada unggul dalam
berpidato.
Berikutnya, tahun 1986, saya mendaftar sebagai peserta
kursus Iskada yang berlangsung setiap Ahad siang di Masjid Raya Baiturrahman
(MRB). Kami angkatan ke 16. Setiap peserta diwajibkan menyumbang 2 buku agama untuk
perpustakaan Iskada dan harus mengikuti kursus selama satu tahun, yang berakhir
dengan praktik ceramah di dua masjid atau musalla. Saya pilih musalla Prada
(sekarang masjid Al Hidayah) dan meunasah Gampong Jeulingke.
Salah seorang peserta kursus ketika itu yang saya ingat,
Ratna Juwita, sebab dia peserta pertama yang berani tampil praktik pidato di
kelas. Sekarang Ratna bekerja sebagai panitra di Mahkamah Syar’iyah Aceh. Dia
MC andalan di kantornya. Sementara saya mendapat giliran praktik pada Ahad
berikutnya, dengan pilihan peran sebagai “camat”.
Kursus Ikada memadukan teori dan praktik. Setiap praktik,
dikondisikan seakan sedang berlangsung suatu acara, misalnya peringatan
har-hari besar Islam. Sehingga akan ada yang berperan sebagai MC,
sambutan-sambutan dan penceramah. Setiap praktik berkesempatan tampil beberapa
orang, dengan tingkat “kesulitan” pidato yang berbeda. Biasanya kawan-kawan
agak menghindar jadi penceramah, sebab perlu penguasaan materi yang lebih
mendalam.
Tahun-tahun berikutnya saya lebih aktif di PII (Pelajar
Islam Indonesia) dibandingkan Iskada. Dengan jabatan di berbagai jenjang kepengurusan
PII dan aktivitas mengelola training pengkaderan, praktis saya tak sempat lagi menjadi
pengurus atau datang bergabung dengan Iskada. Terakhir, sebagai guru SMP Persit
Kartika (1990-1995), saya sempat melatih dan mendampingi murid Persit mengikuti
Lomba Cerita Agama Iskada di halaman MRB.
Saya mengikuti “diskusi” antara aktivis PII dan Iskada
tahun 1990-an. Ketika itu, kawan-kawan PII menganggap Iskada tak cukup hanya
menyelenggarakan kursus pidato mingguan, namun perlu juga mengadakan training
kader seperti PII. Training dianggap efektif melahirkan kader yang terampil
pidato, sekaligus memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan. Akhirnya
Iskada “terpengaruh” juga dengan pola pembinaan PII dan mulai mengurangi kursus
pidato (dakwah).
Diskusi berikutnya adalah, bagaimana Iskada meningkatkan
menajemen dan SDM dakwah melalui program kuliah diploma bidang dakwah,
misalnya. Iskada pun tak mampu mewujudkannya. Jutru kemudian peluang ini
diambil oleh Dewan Dakwah Aceh dengan mendirikan ADI (Akademi Dakwah
Indonesia), yang merupakan bagian dari program S1 Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
(STID) Mohammad Natsir, Jakarta.
Akhirnya Iskada lebih fokus mengelola training kader
dakwah dan sama sekali meninggalkan program kursus dakwah mingguan. Tak ada
lagi wadah latihan pidato seperti kami ikuti tahun 1986. Kemudian, saya penah menyampaikan
ke kawan-kawan pengurus Iskada tentang kebutuhan host dan narasumber dakwah di
radio dan televisi, itu pun belum dapat direspon oleh Iskada. Sebab ketika itu,
Iskada memang sedang berhadapan dengan problem konsolidasi organisasi.
Sekarang, ketika Iskada berusia 50 tahun, apakah Iskada masih perlu “memproduksi” juara-juara
pidato sekaliber Tgk Sri Darmawan. Apakah Iskada memerlukan profil kader
intelektual seperti Dr A Mufakhir Muhammad, Dr M Yasir Yusuf, dan Dr Muhammad
Haikal, yang mampu menjadi narasumber atau khatib di MRB? Atau, sosok pimpinan
lembaga dakwah seperti Ketua PB Iskada sekarang, Azwir Nazar, yang punya
jaringan internasional. Bisa jadi Iskada juga masih membutuhkan kader militan
dan komited melakukan amar makruf nahi mungkar, semisal Baharuddin AR MSi.
Ketika Iskada memperingati milad ke 50 tahun (5 Februari
2023), saya jadi ingat kembali spirit
awal Iskada membina siswa atau pelajar. Mereka yang masih menempuh
pendidikan tingkat SMP dan SMA ini pasti memerlukan sentuhan dakwah Iskada.
Mungkin saja yang sedang belajar di pesantren terpadu, boarding school atau
madarasah Kemenag tak sangat memerlukan lirikan Iskada, namun pelajar SMP dan
SMA yang pendidikannya masih “sekuler” itu justru sangat mengharapkan dampingan
Iskada.
Lihat saja kasus terbaru Geng Remaja Bercelurit Hebohkan
Lhokseumawe (Serambi Indonesia 30 Januari 2023). Pihak kepolisian mengatakan,
bersama 13 remaja usia 14-17 tahun yang melakukan pengroyokan itu menyita enam
senjata tajam, seperti celurit, pisau, pedang, dan parang. Sementara psikolog Lailan
Fajri Saidina mengangap ini adalah hal baru, terjadi karena pengaruh media
sosial dan vidio geme.
Kasus lain, Kepala SMA Negeri I Banda Aceh menerbitkan
imbauan kepada orang tua/wali murid untuk mengawasi kegiatan anak-anaknya,
sebagai upaya mencegah terjadinya tawuran antar sekolah, Ahad, (14/1/2023).
Bisa jadi hal ini adalah kekhawatiran berlebihan manajemen sekolah, namun
potensi tawuran di kalangan siswa tetap saja ada. Dua kasus ini ibarat fenomena
gunung es, yang bisa saja akan menjadi fakta yang tak mudah dikendalikan, apabila
tidak dilakukan antisipasi dini.
Pertanyaan penting di tengah milad Iskada ke 50, berapa
persen remaja atau siswa yang datang ke masjid hari Jumat mendengarkan khutbah
dan shalat Jumat? Apa pula aksi dakwah
Iskada mendakwahi mereka supaya shalat Jumat dan shalat lima waktu?
Apakah kegiatan Rohis, program diniyah,
atau lembaga dakwah sekolah masih berlangsung efektif di SMP dan SMA?
Karena itu, aktualisasi peran Iskada untuk menutupi kelemahan
sistem pendidikan SMP dan SMA adalah kembali ke sekolah, yaitu kembali
mendakwahkan siswa dengan berbagai metode. Pendekatan lainnya adalah
meningkatkan dakwah remaja atau siswa melalui platform media sosial. Jadi sudah
waktunya Iskada tampil tidak “terlalu tua”, sebab sasaran dakwah potensial
sekarang adalah 30% dari jumlah masyarakat Aceh, yaitu kaum milenial. Tentu saja
mereka memerlukan pendekatan dakwah yang sesuai dengan psikologi remaja. Mungkin
juga kaum milenial membutuhkan latihan pidato, public speaking, atau training
kader, namun dengan metoda yang lebih inovatif.
Selamat milad Iskada, selamat
kembali ke basis dakwah semula.