Oleh Sayed
Muhammad Husen
Zakat sebagai pengurang pajak penghasilan merupakan harapan ummat Islam se-Indonesia. Hingga kini,
zakat penghasilan 2,5% yang dibayar muzakki (wajib zakat) belum dapat
mengurangi pajak penghasilan. Sehingga muslim di Indonesia harus membayar ganda
(double tax) pajak penghasilan 15%
ditambah lagi zakat 2,5%.
Khususnya, di Aceh telah mendapat legalitas zakat
sebagai pengurang pajak penghasilan yang tertuang dalam
Pasal 192 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Namun
sayangnya belum dapat dilaksanakan sejak UUPA disahkan tahun 2006. Alasan yang
mengemuka karena UU itu bertentangan dengan UU Pajak
Penghasilan.
Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh telah berkonsultasi dan
koordonasi dengan Pemerintah Aceh, Kanwil Dirjen Pajak Aceh dan Dirjen Pajak di
Jakarta. Ujung-ujungnya ketentuan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan di Aceh belum dapat dilaksanakan. Dirjen Pajak
memposisikan diri sebagai pelaksana regulasi perpajakan, sementara Pemerintah
Aceh terus berupaya melakukan advokasi sampai aspirasi muslimin Aceh ini dapat
direalisasikan.
Energi baru
Baitul Mal Aceh mendapat energi baru “perjuangan”
pelaksanaan Pasal 192 UUPA dengan adanya dukungan anggota DPD RI H Ghazali
Abbas Adan. Mantan “Abang Jakarta” ini secara tegas mendukung upaya yang telah
dilakukan Pemerintah Aceh dan Baitul Mal Aceh untuk mempercepat implementasi
zakat sebagai pengurang pajak penghasilan.
Dalam suratnya kepada Presiden RI, 2 Nopember 2015,
Ghazali Abbas menyatakan dukungan terhadap surat Gubernur Aceh 15 Juni 2015
tentang implementasi zakat sebagai pengurang pajak. “Ini adalah pelaksanaan
keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah diatur dengan UU,” kata Ghazali.
Memang sebelum itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyurati
Presiden RI melalui surat Nomor 451.12/16281 tanggal 15 Juli 2015/28 Ramadhan
1436. Melalui surat satu halaman itu, gubernur menyampaikan bahwa sebagai
bentuk pemenuhan otonomi khusus Aceh dalam pelaksanaan syariat Islam,
pengelolaan zakat dijadikan sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Aceh dan
Pendapatan Asli Kab/Kota telah diatur dalam Pasal 180 ayat (1) huruf d UUPA
yang pengelolaannya dilakukan oleh Baitul Mal.
“Namun dalam pelaksanaannya belum optimal,
karena terkendala dengan sinkronisasi regulasi antara UU Nomor 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak
penghasilan,” tulis Zaini.
Gubernur menulis, pada satu sisi Pasal 192 UUPA menyebutkan zakat
yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan
terhutang dari wajib pajak sebagai lex
specialis derogat lex generalis khusus untuk Aceh, namun
ketentuan ini belum dapat dilaksanakan sejak 2006.
Pada sisi lain, hal tersebut belum selaras dengan dengan
ketentuan yang diatur dengan UU Nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga
atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. “Sehingga masyarakat Aceh
selaku muzakki/wajib zakat merasa terbebani dalam membayar zakat akibat adanya
pajak ganda atau double tax
tersebut,” tulisnya.
Karena itu, gubernur memohon presiden RI Joko Widodo
dapat mengeluarkan kebijakan, sehingga kekentuan Pasal 192 UUPA dapat
dilaksanakan di Aceh. Sejauh ini surat tersebut belum mendapat jawaban
presiden. Pihak Baitul Mal Aceh dan Pemerintah Aceh sepertinya juga tidak
mengawal surat tersebut, sehingga bias diketahui
prosesnya sudah sampai dimana.
Petisi
Ghazali Abbas Adan tidak berhenti sampai suratnya diterima
presiden. Dia kemudian menggelar dialog pada 18 Nopember di Banda Aceh dengan
topik “Bedah Pasal 180 ayat (1) huruf d dan Pasal 102 UUPA”. Dialog diikuti
berbagai komponen masyarakat, termasuk
Baitul Mal Aceh, KWPSI, Dewan Dakwah Aceh dan aktivis
Islam lainnya.
Dialog tersebut mengeluarkan “Petis Eksponen Ummat Islam
di Aceh” yang memuat: Pertama, negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan Pemerintah Dearah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dalam konstitusi (Pasal 18 Ayat (1) UU
Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kedua, pelaksanaan zakat sebagai bagian dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang diatur dalam Pasal 180 ayat (1) huruf d UUPA belum
sejalan dengan ketentuan UU Pajak Penghasilan, sehingga masyarakat di Aceh
selaku wajib zakat/muzakki terbebani dengan adanya double payment.
Untuk itu, petisi yang diteken 19 pejabat dan tokoh Aceh
itu, meminta Presiden RI Joko Widodo supaya mengeluarkan kebijakan agar
ketentuan Pasal 192 UUPA dapat dilaksanakan di Aceh. Petisi antara lain
ditandatangani Hasan Basri M Nur (UIN Ar-Raniry), Muhammad Saman (KWPSI), Jusma
Eri (Baitul Mal Aceh), Cut Asmawati Daud (Wanita Pengusaha Aceh) dan H Miswar
Sulaiman (KB PII Aceh).
Beberapa nama lain ikut teken petisi itu:
Tgk H Muhammad Yus, Murdani Tijue, T Sulaiman SE,
Safarudddin SE, Jufri Ghalib, Akhyar M Ali, Syahrizal Abbas, T Alaidinsyah, Tgk
H Junaidi, Sayed Khawalid, Razali Idris, Agustiar SE, Muhammad DPKA, dan
Marwidin Mustafa.
Advokasi
Selanjutnya Ghazali Abbas mengirimkan petisi tersebut
kepada Gubernur Aceh melalui suratnya Nomor
017/02/DPR-RI-Aceh/XII/2015 tanggal 31 Desember 2015 perihal Pembentukan Tim
Advokasi Pasal 192 UUPA. “Sudah saatnya Gubernur Aceh memikirkan untuk
membentuk Tim Advokasi agar Pasal 192 UUPA dapat diperjuangkan untuk berlaku di
Aceh,” tulisnya.
Dia menyarankan, agar Baitul Mal Aceh menjadi leading sektor atau di garda depan untuk
tim advokasi dimaksud. Tentu saja diperkuat oleh unsur legislatif dan aksekutif
yang berkaitan dengan hukum, keuangan, perpajakan dan aset di Aceh.
Yang terakhir, terkait advokasi ini, Yayasan Adnin
bekerjasama dengan Baitul Mal Aceh menyelenggarakan diskusi publik “Zakat
sebagai PAD dan Pengurang Pajak, Bedah Pasal 180 ayat (1) huruf d dan Pasal 192
UUPA” tanggal 18 Oktober 2016 di Banda Aceh. Diskusi yang dihadiri 50 peserta
itu menghadirkan pemateri Ghazali Abbas Adan, Dr Sulaiman SH
MH dan saya sendiri mewakili Kepala Baitul Mal Aceh.
Dalam diskusi itu mengemuka dua sulosi implementasi
zakat sebagai pengurang pajak penghasilan di Aceh, pertama,
memperjuangakan Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Zakat Sebagai Pengurang Pajak
Penghasilan Sebagai Implementasi Pasal 192 UUPA dan kedua,
mengaturnya dengan Qanun Aceh tentang hal yang sama. Cara yang lebih cepat adalah meminta presiden
mengeluarkan PP.
Untuk itu, peserta diskusi meminta Baitul Mal Aceh
segera mengusulkan kepada gubernur Aceh untuk mengeluarkan keputusan tentang pembentukan tim advokasi. Tim advokasi ini akan mempelajari
permasalah hukum yang ada, membuat dan membahas draf PP dan mengawalnya hingga
PP itu dapat disahkan presiden. Saya sudah menyampaikan hasil diskusi
ini kepada Kepala Baitul Baitul Mal Aceh Dr H Armiadi Muda MA dan Kepala
Sekretariat T Sulaiman SE.
Komitmen pemimpin
Perjuangan ini tentu saja berpulang kepada pemimpin
dan muslimin Aceh, sebab sejauh mana kita bisa lebih serius memperjuangakan
hak-hak dan aspirasi kita, sangat dipengaruhi oleh komitmen kepemimpinan Aceh.
Karena itu, harapan terakhir ada pada gubernur baru hasil pilkada 2017.
Kita menginginkan gubernur
yang komit terhadap syariat Islam yang sebagiannya adalah penegakan hukum Zakat,
Infak, Sedekah dan Waqaf (ZISWAF). Aceh membutuhkan
gubernur yang berani menerapkan hukum zakat sebagai pengurang pajak penghasilan,
minimal cakap berhadapan dengan presiden RI meminta segera mengeluarkan PP
Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan. Saya yakin ada
orangnya diantara enam pasang calon gubernur/wakil gubernur Aceh. ***
Editor: Hayatullah Zubaidi
Sumber: Gema Baiturrahman