Kamis, 27 Juli 2023

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima manfaat program tahfidz 10 juz  pada 24 dayah, ma'had tahfidz, dan rumah Alquran lainnya.  Tugas tim memastikan 59 calon mustahik telah sesuai kriteria yang ditetapkan BMA. 

Tim Abes BMA yang terdiri dari Agus Mulyadi ST, Dina Setia Ningsih AMa, Muliana SSi, dan saya sendiri,  setelah mengikuti rapat pembekalan pada Senin 17 Juli 2023, langsung melaksanakan tugas tanggal 21-25 Juli 2023. Tim Abes bergerak bersamaan dengan tim lainnya yang bertugas ke Subulussalam,  Singkil, dan Aceh Barat.

Ada juga tim verifikasi yang ditugaskan ke , dan Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Pidie, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, serta Simeulue.    

Menurut Plt Kepala Sekretariat BMA, Didi Setiadi, BMA melakukan verifikasi terhadap 349 santri penghafal Al-Qur'an di seluruh Aceh.  Program ini untuk meringankan beban para santri penghafal Al-Qur'an yang berasal dari keluarga miskin.

“Melalui program ini, BMA berupaya memberikan dukungan finansial kepada para calon mustahik dengan membantu dana beasiswa sebesar Rp 1 juta setiap bulan selama 12 bulan. Beasiswa tersebut akan diberikan kepada calon mustahik yang telah lulus verifikasi,” ujar Didi seperti dilansir baitulmal.acehprov.go.id, (24/7/2023).

Dalam pembekalan tim disampaikan kriteria mustahik yang telah ditetapkan BMA, yaitu terdaftar sebagai santri aktif pada dayah, pesantren, sekolah, atau LPTQ dalam wilayah Aceh; santri yang sedang menjalani program tahfidz Alquran; ber-KTP dan berdomisili di wilayah Aceh. 

Kriteria lainnya adalah, santri yang berstatus keluarga miskin, yang berpenghasilan  di bawah Rp 2,3 juta; setoran hafalan minimal 10 juz; satu keluarga maksimal mengajukan dua pemohonan; umur maksimal 20 tahun; serta bukan penerima bantuan yang sama dari BMA pada tahun 2022.   

Tim Abes memulai tugas dengan memilih lokasi kunjungan yang telah kami sepakati bersama dan merencanakan rute perjalanan hari pertama hingga hari terakhir. Kami memastikan bahwa calon mustahik memenuhi kelengkapan administrasi yang diperlukan, berasal dari keluarga kurang mampu, dan benar sedang menghafal Alquran 10 juz.  

Kami pun berbagi tugas, yang diawali dengan pemeriksaan berkas yang telah dikirimkan secara online dan wawancara tentang status ekonomi keluarga oleh Dina dan Nana. Setelah itu, saya dan Agus “mendengarkan” hafalan santri pada awal surat, pertengahan surat, dan hafalan acakan. Tak lupa kami mendokumentasikan proses tersebut. Begitu seterusnya teknik kerja pada lokasi-lokasi lainnya.       

Dalam “dinas luar” kali ini, kami mengunjungi ma'had, pesantren, dayah, atau rumah tahfidz yang lebih beragam dilihat dari karakteristik program dan latar belakang pengelolanya. Secara umum program tahfidz dapat dikelompokkan sebagai ma'had tahfidz, tahfidz intensif, kurikulum tahfidz, ekstrakurikuler tahfidz, rumah tahfidz, serta tahfidz mandiri.

Demikian juga dari segi latar belakang pengelola yang bervariasi, misalnya Jamaah Tabligh, salafi, dayah terpadu, dayah tahfidz, Islam terpadu, serya dayah tradisional. Justru yang cukup menarik, santri tahfidz juga terdapat di dayah tradisional seperti di Lubok Sukon,  Gampong Meulayo, dan Kuta Baro. 

Sebagai data dan informasi berikut nama-nama ma'had, pesantren, dayah, atau rumah tahfidz yang kami kunjungi dan telah mengirimkan data santri tahfidz melalui Baitul Mal Kab/Kota (BMK) Banda Aceh dan Aceh Besar: Ma’had Tahfidzul Quran Daarut Tibyaan, MAK Imam Annawawi, dan Dayah Tahfidz Al Misk. 

Berikutnya, Dayah Al Fathani Darussalam, MIT Daarut Tahfizh Al Ikhlas, Pondok Tahfidz Ihyaul Quran, Al-Athiyah Tahfizh Al-Quran, Dayah Darul Fikri/Nurul Fikri Aceh, Dayah Dar Maryam Binti Ibrahim, Dayah Insan Qurani, Pesantren Tgk Chik Eumpe Awe, Yayasan Dayah Bustanul Ulum, SDIT Al Fityan School Aceh, Pondok Tahfidz Istambul, serta Dayah Darul Aman. 

Kemudian, Ma’had Assunnah, Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa, Dayah Tahfidz Quran Ubay Bin Ka’ab, Ma’had Daarut Tahfidz Al-Ikhlas, Dayah Terpadu Al-Manar, Dayah Darul Muta’allimin,  Dayah Daruzzahidin, Rumah Hafalan Mahasiswa, serta Madrasah Ulumul Quran.     

Di sela-sela tugas sebagai verifikator, saya berkesempatan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pengelola tahfidz untuk memahami dinamika dan karakteristik pengelolaan tahfidz di Banda Aceh dan Aceh Besar. Sebelumnya, dalam tugas serupa tahun-tahun sebelumnya, saya pernah mendapat data dan informasi tahfidz di Pidie, Pidie Jaya, Lhokseumawe, serta Aceh Utara.     

Dari  informasi yang kami himpun, ternyata tidak semua calon mustahik adalah santri ma'had tahfidz dan rumah Alquran, namun ada juga santri di pesantren terpadu dan dayah tradisional, dengan program tahfidz yang berbeda.  Tentu saja masing-masing program tahfidz memiliki kelebihan dan kekurangannya. 

Misalnya, program tahfidz intensif yang hanya menghafal Al-Quran saja selama dua hingga tiga tahun, sementara untuk mendapatkan ijazah sekolah cukup mengikuti ujian penyetaraan. Program seperti ini tersedia di Ma’had Assunnah, Daarut Tibyaan, Al-Ikhlas, Dar Maryam, Ubay bin Ka’ab, serta Bustanul Ulum Cot Goh.  

Ada juga ma'had tahfidz tingkat SLTP dan SLTA yang memadukan sekolah/madrasah/dayah hingga santri menamatkan hafalan 30 juz, seperti Insan Qurani dan Al-Ikhlas.  Sebagian lagi mempraktikkan kurikulum tahfidz 5 sampai 6 juz selama tiga tahun. Bahkan ada pesantren terpadu yang menambah kegiatan ekstrakurikuler tahfidz bagi santri yang berminat. 

Kami juga mendapatkan informasi rumah tahfidz dan tahfidz mandiri. Kedua lembaga tahfidz ini lebih mengandalkan inisiatif santri untuk bergabung di rumah tahfidz atau belajar menghafal Al-Quran secara mandiri di dayah tradisional, yang tentu saja tetap dibimbing oleh teungku/ustaz atau ustazah.   

Dilihat dari jumlah santri, program tahfidz di Banda Aceh dan Aceh Besar berkisar 12 hingga 1.200 santri. Jumlah terkecil adalah Rumah Hafalan di Tanjung Selamat dan jumlah santri tertinggi di Al-Ikhlas yang memiliki tiga kampus.

Kemudian dari segi biaya bulanan Rumah Hafalan hanya membayar biaya air dan listrik, demikian juga Dayah Darul Aman Lubok Sukon, sementara SPP tertinggi adalah tahfidz yang memadukan kurikulum sekolah, Islam Terpadu (IT), dan dayah,  yang mencapai Rp 1,9 juta perbulan.    

Dalam melaksanakan tugas amil zakat ini, secara pribadi saya merasa bersyukur karena sekalian dapat mengunjungi beberapa pesantren dan lembaga tahfidz yang telah lama saya “niatkan” seperti Pesantren Eumpe Awe, Darul Fikri/Nurul Fikri, Daruzzahidin, Al Fityan, Darul Muta’allimin, dan Madrasatul Quran.

Sesuatu yang Allah Swt takdirkan juga, sambil melaksanakan tugas saya bisa berjumpa ananda yang sedang nyantri yaitu Cut Zahara di Darul Muta’allimin (anak Dek Ton Sabang), Zahid di Pesantren Al-Manar (anak Ahmad Arfiza), dan ananda tersayang Rafidah Assa’adah di Dayah Insan Qurani.

Yang paling berkesan juga, baru kali ini Tim Abes mendapat kesempatan dinas luar satu tim, yang berkesempatan bekerja sama dan saling memahami dalam melaksanakan tugas. Tersedia juga waktu yang cukup di sela-sela dinas kami berbagi cerita tentang pilihan makanan, minuman, harapan-harapan, tentang keluarga, bahkan tentang jodoh. 

Satu catatan penting di akhir tulisan ini, kami mendapat “permohonan’ dari Daarut Tibyaan yang mengasuh sekitar 80 santri putra dan putri. Mereka menumpang dan menyewa tiga rumah di kawasan Jeulingke Banda Aceh. Adalah harapan besar pengelolanya kiranya mendapatkan tanah wakaf untuk membangun ma’had tahfidz yang representatif. 

Harapan lain  kiranya BMA terus menambah jumlah santri yang mendapatkan bantuan tahfidz dan ikut merencanakan program manajemen pasca tahfidz 30 juz. Tak cukup rasanya bekal ilmu yang diperoleh seorang hafidz yang hanya menghafal Al-Quran 30 juz. Mereka masih memerlukan bekal lain,  berupa penguasaan bahasa Arab dan pendalaman ilmu-ilmu Islam lainnya.

Tugas terakhir Tim Abes adalah membuat laporan dan membahas siapa saja santri yang lulus verifikasi dan mendapat beasiswa tahfidz BMA tahun 2023. Tidak berlebihan kiranya jika kami pun sempat menitipkan pesan kepada santri supaya rutin murajaah dan merawat hafalan.

Sebab kami menemukan fakta, hampir 30% santri yang kami verifikasi kurang lancar hafalannya akibat baru liburan dan memacu hafalan baru, sementara hafalan yang ada kurang diulang-ulang kembali.*

 

Sabtu, 22 Juli 2023

Sambil Wisata Sempatkan Menulis Berita

Oleh: Sayed Muhammad Husen  

Perjalanan ke Sabang kali ini niatnya memang untuk liburan. Selama liburan panjang bulan Juni dan Juli 2023, Rafidah,  belum kemana-mana, kecuali menjenguk Michik Syaribanun yang dirawat pada malam Hari Raya Idul Adha di Puskesman Trienggadeng. Tentu saja pulang kampung ini sekalian silaturrahmi Idul Adha. Saya mencari waktu yang tepat ke Sabang, sebab sebelumnya agak padat juga pekerjaan di kantor Baitul Mal Aceh (BMA), yang sedang mempersiapkan workshop pengelolaan wakaf se Aceh. 

Setelah mendapat izin tidak masuk kantor selama dua hari, Senin (17/7/2023) dengan menumpangi kapal Aceh Hebat (AH) 2 kami bertiga (Rafidah dan Ummi Rafidah)  menuju Sabang. Kabarnya, hari itu lautan Sabang sedang bergelombang besar, namun faktanya gelombangnya biasa-biasa saja. Kami menikmati perjalanan laut dengan mengambil tempat di lantai paling atas, berdekatan dengan kantin AH. Lama perjalanan laut sekitar dua jam.

Dari awal, kami sudah sampaikan kepada Macut Nurhayati di Balohan, bahwa malam pertama di Sabang kami tidak bermalam di rumahnya. Besoknya baru ke Balohan. Kami memilih penginapan yang agak spesial di  Bungalow Mata Ie Resort. Dengan diantar taxi dari Balohan, kami tiba di penginapan sekitar pukul 16.00 WIB. Biaya taxi Rp 50 ribu dan tarif kamar Rp 500 ribu. Biaya tiket kapal AH dari Ulee Lheu - Balohan Rp 35 ribu per orang.

Tak ada agenda khusus sore hingga malam hari. Kami hanya mengisinya dengan shalat berjamaah, ngobrol, membaca, foto-foto, dan menikmati indahnya suasana pinggir pantai. Saya termasuk orang yang menyukai suara deru ombak, itu pula yang menjadi alasan memilih tempat ini. Sebelumya,  dalam dinas ke Sabang dua tahun  lalu bersama Shafwan dan Hayatullah, kami memilih menginap di tempat ini. “Kita akan ulangi lagi bersama keluarga ke sini,” kata Shafwan, ketika itu.

Kami mendapat kabar, bahwa pagi hari itu Pj Gubernur Achmad Marzuki menghadiri Rapat Kerja (Raker) Bank Aceh di Mata Ie Resort. Saya pun mencari informasi dari Humas Setda Aceh sebagai data untuk menulis berita Raker tersebut. Saya mengirimkannya ke redaksi juangnews.com di Bireuen. Judul beritanya begini: “Penjabat Gubernur Minta Bank Aceh Jadi Motor Penggerak Pembangunan”. 

Saya kutip di sini sebagian berita itu: “Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, meminta segenap pimpinan Bank Aceh menjadikan bank milik pemerintah Aceh tersebut menjadi motor penggerak utama pembangunan.  Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Kerja Bank Aceh Triwulan ke II Tahun 2023, yang dilangsungkan di Sabang, Senin, (17/07/2023).

Saat ini, kata Achmad Marzuki masih banyak masyarakat, utamanya yang tinggal di perkampungan yang tidak mengenal Bank Aceh. Tak salah jika kemudian sebagian masyarakat terjerat pinjaman online atau pinjol.  Untuk itu, keberadaan Bank Aceh harus menyentuh ke seluruh pelosok daerah.”

Adalah hal yang “menyenangkan” juga ternyata rombongan Bank Aceh masih makan malam di restoran bungalow yang disertai live musik. Kami ikut menikmati musik gratis tersebut dari jarak sekitar 100 meter saja. Saya katakan pada Rafidah dan istri, andai saja tak ada agenda Bank Aceh, maka suasananya cukup sepi, sebab masa liburan dan ramainya Sabang sudah berakhir hari Ahad kemarin.

Malam itu, saya sama sekali belum berpikir bahwa ada tamu yang tidak suka dengan suara musik. Dari identitas penampilan tamu di sebelah kami, saya bilang pada istri, kemungkinan besar adalah beraliran Salafi. Saya melihat mereka shalat berjamaah Ashar dan Maghrib di teras bungalow. Ternyata benar adanya, besok pagi saya tahu benar tamu Salafi, yaitu ketika saya berjumpa dengan Ustaz Harits Abu Naufal. Katanya,  ada pengajian dua hari dengan syeikh dari Jakarta. 

Pagi hari, setelah shalat subuh berjamaah, kami merencanakan untuk menanti terbitnya matahari, mengabadikannya, sambil ngobrol, serta membicarakan hal-hal yang menguatkan keluarga dan masa depan pendidikan Rafidah. Termasuk membicarakan rencana jadwal dan rute perjalanan wisata dan silaturrahim hari itu. Saya pun mengontak sahabat M Thahir Abdulllah (Ketua MPC PPP Sabang dan Bustamin (jurnalis).     

Ada hal yang agak mengejutkan ketika sarapan pagi Selasa 18/7/2023 pukul 07.30 WIB di restoran hotel, saya berjumpa dengan Prof Al Yasa Abubakar, berikutnya dengan Prof Dr Syahrizal Abbas dan Dr M Yasir Yusuf. Mereka bertiga adalah Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) Bank Aceh. Padahal malamnya saya sama sekali tak terpikir mereka ikut menghadiri Raker Bank Aceh. 

Saya mengenal Prof Al Yasa sejak baru pulang dari menyelesaikan S3 di UIN Yogyakarta tahun 1988. Beliau salah seorang narasumber kami di LDK Forum Silaturrahmi Mahasiswa (Fosma) USK, selanjutnya kami satu organisasi di Muhammadiyah Aceh, dan sejak 2004 bersama-sama di Baitul Mal Aceh (BMA). Beliau menjabat sebagai Ketua DPS BMA sejak 2004 hingga sekarang.

Demikian juga saya mengenal Prof Syahrizal sebagai narasumber tentang hukum Islam, sama-sama bergabung di MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) dan terakhir di LEPADSI (Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam). Ketika menjabat Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, kami pernah berkonsultasi dengan beliau tentang pengelolaan dan pengembangan wakaf. Saya ingat pesan beliau ketika itu, “Selain penting melakukan pendataan wakaf, lakukan juga pemetaan potensi ekonomi apa yang dapat dikembangkan pada setiap tanah wakaf itu.”

Saya mengenal Dr M Yasir sebagai aktivis dakwah dan pernah menjadi Ketua Iskada (Ikatan Siswa Kader Dakwah)  yang sekretariatnya ketika itu di kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Saya sendiri pernah mengikuti kursus pidato Iskada tahun 1986. Yasir juga Ketua DPS KSPPS Baitul Qiradh Baiturrahman, sementara saya anggota pengawas. Yasir kemudian juga menjadi penceramah tetap di Masjid Raya Baiturrahman tentang ekonomi Islam.    

Setelah sarapan pagi, kami melihat-lihat lingkungan Mata Ie Resort, namun Rafidah tak berniat mandi di kolam renang. Kami lebih memilih mandi laut di pantai depan bungalow, yang berjarak sekitar 300 meter dari hotel. Kebetulan sekali air laut sedang pasang naik, sehingga sangat cocok untuk mandi. Namun tak bisa lama-lama kami mandi, sebab hujan pun turun, disertai angin yang agak kencang. 

Sambil menunggu jemputan oleh Mudarris, kami menghabiskan waktu untuk ngobrol, membaca, menikmati makanan ringan, serta masing-masing mengakses internet. HP telah membuat kami “cukup sibuk” juga berkomunikasi dengan lawan bicara yang jauh, mengakses media sosial, dan merespon relasi melalui WhatsApp. Kadang kala mitra komunikasi “yang terdekat” terabaikan. Jadwal jemputan bergeser satu jam dari yang kami rencanakan pukul 11.00 WIB. 

Mudarris menjemput kami sekitar pukul 12.00 WIB. Kami pun memulai perjalanan melewati kota membeli oleh-oleh Sabang untuk teman Rafidah di dayah IQ (pesanan), untuk Syila, dan Muhammad. Lalu melanjutkan perjalanan silaturrahmi ke rumah Dek Ni di Pasiran. Kami “dipaksa” makan siang di sana, padahal sebelumnya kami merencanakan makan siang di pinggiran Danau Aneuk Laot. Saya ingin menikmati ikan mujair dari danau itu. Tapi barakallah, semoga Allah memberi berkah atas kenduri makan siang di rumah Dek Ni.

Selanjutnya kami menuju rumah Dek Bit di Aneuk Laot. Disana kami disajikan buah jamblang yang dipetik dari kebun di belakang rumahnya, yang disertai bumbu racikan sendiri. Nikmat sekali. Kami pun memesan buah jamblang dan bumbunya untuk dibawa pulang ke Lampanah, Indrapuri. Tidak berlama-lama di sini, kami menuju Jaboi dengan melawati jalan  Paya Seunara, Cot Klah, Paya Keunekai, Keunekai, Beurawang, hingga sampai di Jaboi di rumah Dek Mas.  

Cukup lama juga saya tak pernah melewati rute ini, padahal ketika tinggal di Sabang (1970-1985) termasuk sering ke Jaboi, Beurawang, dan Keunekai. Pernah juga membantu ayah bekerja di proyek pembangunan jalan di Paya Seunara dan mengikuti perkemahan Pramuka di Beurawang. Beberapa kawan SMP tinggal di sana. Saya masih ingat Mukhtar, Mahdi dan Sabari. Sementara bagi Rafidah dan istri justru baru pertama kali melewati keliling Sabang melalui pantai barat ini.

Dalam perjalanan ini, saya sempatkan singgah di Pantai Pasir Putih, Paya Keunekai. Pantai ini cukup terkenal pada tahun 80-an dan tahun-tahun selanjutnya. Ramai dikunjungi wisatawan karena pantainya yang indah dan pasir putih yang lembut. Saya bersama Kanda H Miswar Sulaiman pernah menjadi juru kampanye Partai Ummat Islam (PUI) di pinggir pantai ini tahun 1999. Hari itu, saya ingin melihat kembali dari dekat potensi wisata pantai Pasir Putih, serta  peluang pengembangannya. 

Menurut informasi Bustamin yang bertemu di lokasi pantai, pada musim liburan baru-baru ini, pantai Pasir Putih ramai didatangi pengunjung dari berbagai daerah. Namun saya menyaksikan fasilitas wisata yang ada saatnya direnovasi. Untuk ini,  tak bisa diharapkan semata-mata inisiatif warga setempat, sebab penghasilan mereka juga terbatas. Tak punya cukup uang membangun fasilitas baru. Perlu dukungan Pemko Sabang atau BPKS.     

Sekitar 20 menit kami berada di Pasir Putih, sambil minum kopi (sementara Rafidah dan Umminya memesan rujak Aceh), saya mendapatkan informasi, bahwa sikap masyarakat juga belum begitu siap dalam melayani wisatawan. Masih diperlukan sosialisasi dan edukasi wisata rakyat (syariah) sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat. Sementara dari segi potensi lokasi cukup menarik untuk dipasarkan (dipromosikan).

Pada kesempatan itu, saya juga menggunakan kesempatan berbicara dengan Bustamin tentang media, sebab dia seorang wartawan media online, yang sebelumnya saya kenal ketika kampanye PUI tahun 1999, lalu dia bergabung dengan GAM, dan berjumpa kembali setelah Aceh damai tahun 2005. Saya katakan, sebagai wartawan harus terus belajar dan menjaga integritas. Jangan meminta berita dibayar, namun boleh mengajak mitra memasang iklan atau pariwara. 

Sesampai di Jaboi, selain silaturrahmi dengan keluarga Dek Mas, menjelang sore dan akan meneruskan perjalanan ke Balohan sekitar empat kilometer lagi, kami masih sempat mandi air panas dan mengunjungi keluarga Bang Adnan yang juga di Jaboi. Kami juga memesan kue bakpia Sabang yang diproduksi di Jaboi. Silaturrahmi ke Jaboi memang sudah sejak lama kami niatkan, namun setelah 12 tahun Dek Mas tinggal Jaboi baru sempat mengunjunginya. Demikian juga dengan Bang Adnan yang pernah ada yang sakit, ada undangan pesta, dan ada yang meninggal, baru sempat takziah kali ini. 

Sementara itu, kemajuan sektor wisata di Jaboi adalah beroperasinya pemandian air panas, yang sebelumnya pemandian serupa cukup terkenal di Keunekai. Menurut Bustamin, lokasi mandi air panas di Keunekai tak beroperasi lagi, sebab sumber airnya sudah digunakan untuk konsumsi rumah tangga, tentu saja setelah proses penyaringan. Saya menyempatkan mandi air panas di Jaboi. Biaya masuk lokasi dan parkir cukup murah, hanya Rp 5 ribu. Namun sore itu kami mendapat fasilitas gratis, sebab masuk komplek pemandian bersama Dek Ton, “asoe lhok” Jaboi. Kami juga menikmati mie siap saji di kantin komplek pemandian.     

Sekitar pukul 18.00 WIB kami tiba di rumah Macut Nurhayati di Jrong,  Balohan. Agenda utama malam hari adalah panggang ikan. Ikannya sudah dibeli Mudarris sejak pagi hari. Kami rencana membakarnya bersama-sama pada malamnya, namun karena pertimbangan akan hujan lagi, Macut berinisiatif membakar ikan lebih awal. Akhirnya kami hanya “meuramin” atau makan malam bersama dengan ikan bakar yang siap disajikan.

Tak ada agenda lain pada malam itu. Kami hanya membicarakan hal-hal ringan tentang sejarah hidup keluarga besar Tgk M Husein Puteh di Sabang tahun 70-an, tentang Macut yang telah bercucu di Sabang, dan rencana pernikahan Mudaris dan Masrul bin Jafaruddin di Lhokseumawe dalam waktu dekat. Saya juga mengabarkan sahabat M Thahir Abdullah bahwa mungkin lagi jumpa dan ngopi malam itu.    

Rabu 19/7/2023  pukul 12.00 WIB kami kembali ke Banda Aceh dengan kapal BRR. Sebelum berangkat,  kami masih sempat memesan salak Balohan melalui Maimun bin Lidan. Kami juga masih ada sisa waktu berjumpa lagi di Balohan dengan Dek Mas yang datang dari Jaboi, Dek Bit dari Aneuk Laot, dan keluarga Samsul yang tinggal berdekatan dengan Macut. Yang tak sempat jumpa kali ini adalah Dek Ton di Iboh dan Rahmawati. 

Sebagai kenangan, saya titipkan novel sejarah Presiden Syafruddin untuk anak Dek Bit, yang mulai masuk SMA. Saya jadi teringat masa-masa di Sabang yang tidak mudah membeli buku, harus memesannya di Banda Aceh. Semoga cucu-cucu Macut suka membaca, walaupun jumlah bacaannya terbatas. Hanya dengan membaca generasi masa depan akan lebih berkualitas. 

Alhamdulillah sekitar pukul 16.00 WIB kami tiba kembali di Lampanah.  Semoga liburan dan silaturrahmi ke Sabang menjadi energi baru dalam mengisi hari-hari produktif selanjutnya. Semoga pula Rafidah tambah semangat belajar sebagai santri dayah IQ.

Terima kasih untuk Macut Nurahayati, Mudarris A Rahman, dan semuanya di Sabang yang telah menerima dengan hangat kehadiran kami. Mohan doa, semoga dalam waktu yang tak terlalu lama, kami bisa kembali lagi ke Sabang, tentu dengan agenda yang berbeda.*

 

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...