Menikah dalam ajaran Islam adalah implementasi tahid. Betapa tidak, dari prosesi nikah inilah Allah swt menunjukkan kekuasaan-Nya: bahwa manusia cenderung dan merasa aman dengan adanya pasangan masing-masing. Firman Allah swt: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS Ar Ram: 21).Oleh Sayed Muhammad Husen
Sejak 1974 negara telah mengatur masalah pernikahan dengan
dikeluarkannya UU Perkawinan. Sejak itu, prosedur dan tata cara pernikahan
diatur dengan regulasi negara, sehingga pernikahan yang sah adalah yang tercatat
pada negara. Jika seorang muslim maka pernikhannya harus dicatat pada Kantor
Urusan Agama (KUA) dan dikeluarkannya buku nikah. Di luar itu disebutlah nikah
liar.
Istilah nikah liar dalam masyarakat sering pula diidentikkan
dengan nikah siri, nikah bawah tangan atau nikah lari. Sementara untuk
mempertegas, bahwa pernikahan yang dilakukan di luar KUA tidak sah, sering
digunakan istilah nikah liar. Yang menikahkannya pun sering dinobatkan dengan
qadhi liar.
Lalu, mengapa nikah liar masih terjadi dalam masyarakat Aceh?
Paling tidak, ada tiga alasan yang mengemuka. Pertama, proses transformasi
pengelolaan pernikahan oleh masyarakat sipil kepada negara belum sempurna.
Sebab, sebelum tahun 70-an pernikahan masih diurus oleh masyarakat sendiri,
malah tanpa pengadministrasian. Kita mendapati opini yang melegalkan penikahan
oleh qadhi liar masih berkembang dalam masyarakat.
Kedua, nikah liar dilakukan karena tidak mampu memenuhi
persyaratan dan mekanisme yang diatur oleh KUA. Misalnya tidak mendapatkan
restu orang tua/wali, tidak mendapat izin dari isteri pertama untuk poligami,
atau karena alasan telah hamil di luar pernikahan. KUA biasanya tidak mau ambil
resiko untuk menyelasaikan alasan-alasan itu.
Ketiga, kita mendapati alasan yang spesifik Aceh, bahwa
akibat konflik (baca: perang) mengakibatkan banyaknya laki-laki mengambil jalan
pintas untuk menikah di luar KUA. Apalagi waktu itu terjadi migrasi penduduk
antar daerah, karena merasa tidak nyaman hidup di suatu daerah. Malah ada yang
harus hijrah ke daerah lain, sementara
di kampung asal sebelumnya dia telah berkeluarga (menikah). Ada juga
yang menikah karena pilihan “wilayah perjuangan”.
Sayangnya, ketiga alasan di atas belum mendapat kajian yang
mendalam dari pemegang otoritas pernikahan: KUA dan Departemen Agama. Sementara
akibat negatif yang timbul akibat pernihakan liar belum ditemukan solusinya,
misalnya bagaimana melindungi perempuan dimata hukum dan memenuhi kepentingan
terbaik bagi anak.
Untuk itu, perlu dilakukan tindakan hukum yang lebih tegas
untuk membendung pernikahan liar. Saatnya KUA diperkuat dan menggencarkan
sosialisasi haramnya menikah pada qadhi liar. Saatnya pula negara lebih tegas
terhadap qadhi liar yang masih membuka praktek, tanpa harus menuggu fatwa MPU.