Jumat, 27 Februari 2015

Gampong Syariah Sumber Inspirasi

Oleh Sayed Muhammad Husen 

Ada pertanyaan menarik ketika awal formalisasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh: dari mana kita memulainya? Salah satu jawabannya: kita mulai dari gampong, basis masyarakat paling bawah di Aceh. Gampong yang memiliki warga dan kepemimpinan dapat mengatur dirinya, sehingga syariah lebih mudah diterapkan pada tingkat bawah. Implementasi syariah mudah direncanakan, dilaksanakan dan mudah dalam pengawasan. Maka selanjutnya lahirlah konsep perkampungan syariah yang digagas Dinas Syariat Islam. 

Pelaksanaan syariat Islam pada tingkat gampong, diharapkan bisa dilaksanakan lebih lues, tanpa harus menunggu proses birokrasi yang ribet, tak harus menunggu ketersediaan anggaran dan membentuk panitia pelaksana. Hal ini didasari dari pengalaman, bahwa dalam iklim politik yang tak bersahabat terhadap Islam pun, masyarakat gampong dapat mengamalkan ajaran Islam. Sebelum pelaksanaan syariat Islam dipundakkan kepada negara dengan UU dan qanun, Islam telah diamalkan muslimin Aceh. 

Karena itu, pemerintah gampong dan warganya harus melahirkan model-model pengamalan ajaran Islam dalam semua aspek, misalnya bidang ibadah, pendidikan, ekonomi, pemerintahan dan penguatan lembaga-lembaga keislaman. Pemerintah gampong memperkuat fungsi pengawasan syariah dengan mengaktifkan wilayatul hisbah gampong, mendorong partisipasi dakwah masyarakat dan menjadikan masjid sebagai pusat pengendalian syariat Islam. 

Semua permasalah syariat tentu tak dapat diselesaikan pada tingkat gampong, apalagi terkait dengan penegakan hukum jinayah, hukum keluarga dan muamalah. Tetap penting peran dan tanggungjawab negara. Dalam hal ini, fungsi Dinas Syariat, Majelis Ulama, Satpol PP dan WH, Badan Dayah, Baitul Mal, Kemenag, Mahkamah Syar’iyah dan institusi syariah lainnya seharusnya terintegrasi dengan program dan kegiatan syariat pada tingkat gampong. 

Kita melihat, gampong syariah perannya lebih pada aspek penyadaran masyarakat supaya menjadi muslim yang baik, taqwa dan bahagia. Semua warga gampong menjadi muslim yang taat dan terhindar maksiat. Lebih jauh gampong bisa saja berproses ibarat “miniatur negara muslim”, yang mencerminkan karakteristik baldah thaiyyibah warabbun ghafur (negeri yang baik dan dalam ampunan Allah SWT). 

Dengan gampong model syariah, kita harapkan menginsiprasi gampong-gampong lain dalam menata pemerintahan gampong dan terwujudnya warga islami. Selanjutnya gampong syariah ini akan memberi warna terhadap syariat Islam dalam semua aspek dan tingkatan.

Jumat, 20 Februari 2015

Tersengat Jiwa Abu Beureu-Eh

Sayed Muhammad Husen 
Tersengat Jiwa Abu Beureu-Eh

Para pewarta muda dalam ruangan itu menyimak pria di depan mereka dengan seksama. Seakan tidak ingin sepotong arahan pun abai direkam. Mereka mencatat detail liputan sembari bertanya jika ada yang belum dipahami. Hampir saban Jumat sore, suasana rapat redaksi tabloid tersebut berlangsung begitu. Jika pria itu tidak datang, topik liputan seringkali sulit diputuskan.

Adalah Sayed Muhammad Husen, pria kelahiran Trienggadeng, 28 Desember 1965 ini memang dikenal berotak padat. Sebagai redaktur pelaksana, ragam ide segar dengan bebas meluncur dari tuturnya. Di kalangan jurnalis Tabloid Gema Baiturrahman tempatnya bernaung, ia dikenal sebagai sosok yang mudah dimintai bimbingan.

Sayed, begitu akrab ia disapa, lahir dari keluarga berekonomi rendah. M. Husen Puteh, sang ayah, adalah seorang pekerja serabutan. Sedangkan bunda, Syaribanun, hanyalah ibu rumah tangga yang membantu pekerjaan suami ala kadarnya. Tetapi, apapun warna latar keluarga, tidaklah meredupkan semangat Sayed. Bahkan, hingga kini, ia enggan menyebut-nyebut soal kemiskinan. Menurutnya, itu tidak pantas jadi kendala. ”Jangan sampai kepercayaan diri yang telah diperoleh melalui prestasi, kita korbankan demi perasaan berasal dari keluarga miskin,” sebutnya.

Berbicara soal prestasi, Sayed tergolong gemilang. Sejak duduk di bangku SD Negeri Balohan Sabang, namanya selalu masuk daftar sepuluh besar. Bahkan, di jenjang SMP hingga SMA, ia langganan peringkat satu. Tidak hanya itu, tahun kedua SMA ia terpilih sebagai Ketua OSIS. Hal ini tak sulit baginya, sebab jiwa kepemimpinan telah ia tempa sedari SMP. Tepatnya sejak bergabung dengan organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia).

Prestasi akademik dan pengalaman organisasi yang dipunyai menjadi modal awal untuk membangkitkan rasa percaya diri. Walau secara ekonomi keluarga tampak mustahil, Sayed sampai jua di bangku kuliah dan tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Unsyiah tahun 1986. Ia masuk lewat jalur PMDK. Ketika itu, guru ekonomi SMA-nya sempat menyesalkan. Sebab di mata sang guru, Sayed muda lebih kuat di pelajaran ekonomi.

Tetapi, tak hendak mengingkari nikmat, Sayed tetap  menjalani kuliahnya. Bahkan debut karier perdananya dimulai saat masih di bangku kuliah. Antara lain pernah menjadi Guru Bimbingan Konseling di SMP Tgk Chik Di Tiro Persit Banda Aceh, Sekretaris Eksekutif Forum LSM Aceh, serta Guru Bimbingan Karier di Madrasah Aliyah Ibnu Araby, Banda Aceh. ”Honor ketika itu 25 ribu perbulan. Kadang hanya cukup untuk transportasi saja,” kenangnya.

Selama berstatus mahasiswa, pria yang mengidolakan tokoh HM Daud Beureu-Eh ini bukan semata-mata tukang kuliah. Dia tergolong aktivis yang sibuk dengan ragam kegiatan organisasi dan menghadiri berbagai pelatihan, antara lain Kursus Ahadan Kader Dakwah ISKADA 1986, Couching Instruktur PII 1987, Latihan Dasar Jurnalistik HMI 1988, dan Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa se-Sumatera dan Kalbar di Palembang pada 1988. Bahkan, tak jarang ia juga datang sebagai pemateri dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh PII.

Oleh karena giatnya ia di kegiatan organisasi, pada zaman Orde Baru, 11-15 Agustus 1992, ia dan tiga kawannya sempat menjadi tahanan politik Laksus Korem 012/TU. Mereka terjerat tuduhan menggerakkan “organisasi bawah tanah” PII dan anti asas tunggal Pancasila. Tetapi, gugatan itu gagal terbukti dan Sayed bebas kembali. Satu perjalanan rohani berharga yang ia kecap selama di bui, ternyata, di saat-saat demikian  jiwanya lebih dekat dengan Sang Khalik. Bahkan kedekatan senada hampir tidak dapat dirasakan setelah itu.

Hanya sayang, musibah terbakarnya Sekretariat PW PII Aceh yang sekaligus tempat Sayed menetap, pada 3 September 1993, membuatnya urung memboyong gelar sarjana. Itu dikarenakan turut terbakarnya seluruh bahan skripsi. Ditambah dengan semakin menghimpitnya perkara ekonomi. Sayed memilih berbelok haluan. ”Saya pilih jalan kanan, menikah, dan lebih serius bekerja,” kata dia.

Mujur, seorang sahabat membagi informasi seputar pelatihan dan magang Baitul Maal Wattamwil (BMT), Pinbuk, Jakarta pada 1995. Selepas mendapat pengetahuan praktis BMT, Sayed merintis lahirnya Baitul Qiradh Baiturrahman. Ia sekaligus dipercaya sebagai General Manajer di tempat itu, periode 1995-2001.

Saat ini, selain bertindak sebagai Redaktur Pelaksana Gema Baiturrahman, suami Dra. Bunaizah Sulaiman (43 thn) ini juga bekerja sebagai Kabid Pengumpulan Zakat Baitul Mal Aceh. Ini bukan perkara rumit. Pengalaman selama  di baitul qiradh tidak jauh berbeda dengan baitul mal. Keduanya merujuk pada pemberdayaan ekonomi ummat. “Kalau di baitul qiradh kita memadukan antara konsep sosial dan bisnis, sementara di baitul mal lebih menonjol sisi sosialnya, karena yang dikelola adalah zakat, waqaf dan harta agama lainnya,” terang Sayed. Jika dirunut, lahan yang digelutinya saat ini lebih sesuai dengan insting guru ekonomi di SMA-nya dulu.

Selama bersinggungan dengan urusan zakat, banyak ilmu baru diperolehnya. Ayah dari Rafidah Assa’adah (2 thn) ini mengaku, sangat banyak seluk beluk zakat yang ternyata belum sepenuhnya dipahami khalayak jamak. Semakin digali dan ditekuni, persoalan zakat semakin menarik. ”Saya baru serius mempelajari ilmu zakat sejak bergabung di baitul mal, Januari 2004,” tuturnya.

Dari sekian banyak hal yang dipelajari di baitul mal, Sayed melihat permasalahan krusial yang mesti segera ditindaklanjuti adalah menyangkut manajemen Baitul Mal Gampong. Selama ini, kinerja dan kemampuan SDM Baitul Mal Gampong --yang seharusnya menajdi mitra Baitul Mal Aceh-- tergolong masih sangat lemah.

Bersama amil zakat lainnya di Baitul Mal Aceh, produser dan host talk show ”Perbincangan Jumat Pagi” Radio Baiturrahman ini, sedang menggagas sebuah terobosan menyangkut pemberdayaan ekonomi ummat. Untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan, Sayed berharap dapat mengkolaborasikan antara konsep baitul qiradh dengan baitul mal, sehingga hasil yang dirasakan ummat pun melonjak.

Sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, Sayed tidak tergiur menjadi PNS. Ia terinspirasi semangat almarhum ayahnya yang dapat bebas menikmati hidup. Tanpa harus dikungkung oleh pekerjaan yang terlalu mengikat. ”Bahkan, pada zaman Soeharto dulu, jumlah anak PNS pun dibatasi,” katanya, sambil tertawa.

Ketertarikannya pada tokoh sekelas HM Daud Beureu-Eh secara tidak langsung telah menyemai semangat perjuangan dalam dirinya.  Sayed yang notabene aktivis ini juga bercita-cita untuk turut membela kepentingan rakyat via kursi parlemen. Demi itu, pengalaman di dunia politik pun ia susuri. Untuk rentang 2005-2010, Sayed menjabat sebagai Wakil Sekretaris DPW Partai Bulan Bintang NAD. Ini bukan pengalaman tunggal. Sebelumnya, ia juga pernah dipercayakan sebagai Wakil Ketua DPW Partai Ummat Islam Aceh 2000-2004.

Ada apa dengan Daud Beureueh hingga Sayed mengidolakannya? Lancar Sayed menjawab, ”Abu Beureueh peduli pada kepentingan rakyat dan sosoknya sangat kharismatik.”  Ia bertekad menjaga idealisme dan kredibelitas diri dengan banyak berguru dan akrab dengan tokoh-tokoh bersih dan idealis.

Mengenang petuah bijak, pengidola cenderung mengekor tokoh yang diidolakan. Berbekal semangat serta azzam yang kuat, mungkin saja suatu ketika nama Sayed Muhammad Husen juga termaktub dalam sejarah. Semoga! (Riza Rahmi, 7/7/2008) 

Mengenang Tsunami Aceh

Oleh  Sayed Muhammad Husen

Walaupun hari libur, Ahad, 26 Desember 2004 pagi, saya tetap bersiap-siap lebih cepat meninggalkan rumah kerena berperan sebagai Ketua Panitia Pelaksana Sosialisasi Ekonomi Syariah MPU Aceh. Sejak sehari sebelumnya, hal ini telah saya bicarakan rencana ini dengan istri tercinta, Nour Izmi Nurdin (Mimi). Ahad pagi itu sekitar pukul 7.45 Wib saya diantar Mimi dengan sepeda motor menuju Gedung ICMI Jalan ST Mansursyah, tempat acara berlangsung. Saya datang lebih awal, sebab banyak hal perlu disiapkan seperti pengaturan ruangan dan pemasangan spanduk.

Dari Gampong Alue Deah Tengoh,  Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, kami melewati jalan Ramasetia, jalan KH Ahmad Dahlan, jalan Imam Bonjol, lalu belok ke jalan Tgk Di Baroh. Di jalam terakhir ini saya sudah janji dengan toko foto copy untuk ambil makalah yang sudah kami pesan foto copy sejak kemarin. Toko itu pun belum buka. Kami terus melewati jalan M Jam munuju Gedung ICMI. Jarak rumah kami dengan Gedung ICMI hampir dua kilometer.

Begitu kami tiba di bawah pohon besar halaman Gedung ICMI, gempa besar pun tiba-tiba menguncang. Saya turun dari sepeda modor yang mesinnya belum saya matikan, lalu merangkul istri sambil berjaga-jaga jika ada dahan pohon besar itu berjatuhan.

Gempa berikutnya menyusul. Saya rangkul Mimi untuk sedikit bergeser, supaya tidak berada di bawah pohon besar itu. Mimi pun duduk di dekat meriam tua yang dipajang di halaman Gedung ICMI. Mimi saya mohon lebih tenang dan berhati-hati, karena dia sedang hamil tiga bulan untuk anaknya yang ketiga.

Saya dan Mimi tidak meraga “terganggu” akibat gempa. Tak ada firasat apapun. Tidak ada bangunan yang runtuh di sekitar kami. Masjid pendopo Gubernur Aceh yang berjarak 200 meter dari kami masih utuh.  Demikian juga gedung Mesium negeri, tidak rontok. Kami kembali fokus pada rencana yang telah disusun.

Mimi kembali pulang ke rumah. Saya hanya menitip pesan, supaya kue kotak untuk snack acara workshop di ICMI yang sedang disiapkan di rumah dapat diantar pukul 10.00 Wib.

Rupanya Allah mentakdirkan inilah pertemuan saya yang terakhir dengan Mimi.  Saya tidak tahu Mimi pulang ke rumah melewati jalan mana. Saat saya tinggalkan rumah, adik-adik (Nour Isna Nurdin  dan Nour Leni Nurdin) dibantu Bunda (Hj Djamilah Sandang) dan Tati Baya sedang mengisi kue dan aqua dalam 80 kotak yang sudah disiapkan sejak semalam.

Beberapa saat setelah gempa, saya dan petugas kebersihan Gedung ICMI, Nazar, melihat-lihat suasana Aula ICMI tempat workshop yang direncanakan pukul 09.00 Wib. Ruangan memang agak kotor akibat beberapa retakan kecil di sudut ruangan.

Nazar membersihkan ruangan, menata meja dan mengatur korsi yang diperlukan. Saya menyampaikan kepada Nazar, bahwa makalah tinggal kita ambil, snack sedang disiapkan di rumah  dan  makan siang sudah dipesan di simpang Prada. Jadi, semua persiapan workshop sudah selesai. Jadi  hanya menunggu peserta datang saja.

Tak lama kemudian, tiba-tiba saja air sungai Krueng Daroi  di halaman Gedung ICMI meluap. Orang-orang berlarian dan masuk ke Sungai menangkap ikan yang mengapung. Manyat menyapung di Krueng Daroi. Banyak juga kotoran lainnya. Beberapa anak muda mengangkat mayat  dari aliran deras air Krueng Daroi.

Saya tidak terpengaruh dengan suasana itu. Saya tetap fokus pada penyiapan ruangan tempat workshop. Saya pun tidak tahu apa yang terjadi. Justru  yang saya pikirkan: telah terjadi pasang besar, sehingga ada yang hanyut dan bangunan-bangunan di pinggir laut dibawa oleh air pasang.

Seorang security Mesium Negeri (sedang cari tahu siapa namanya) tiba-tiba mengabarkan bahwa di kampungnya, Alue Deah Tengoh, air laut telah naik setinggi pohon kelapa. Orang tua tenggelam dan hilang. Dia tidak bisa pulang lagi ke kampungnya. Ia menangis tersedu-sedu. Sementara saya masih berpikir,  bahwa yang terjadi  adalah banjir air pasang laut dan ketika air surut, saya bisa pulang dengan cara memutar melewati jalan Iskandar Muda terus ke arah Ulee Lhee, lalu belok melewati Deyah Geulumpang.  

Pukul 10.00 Wib belum juga ada tanda-tanda peserta workshop akan hadir. Saya berbicara dengan Nazar tentang kemungkinan banyak orang tidak menghadirinya. “Jika nanti nasi pesanan diantar dan berlebih, kita bagi saja kepada orang-orang yang ada di sekitar gedung ICMI,” kata saya pada Nazar. Saya menunggu perkembangan situasi ini hingga shalat duhur dan berdoa terlebih dahulu, baru kemudian merencanakan pulang ke rumah.

Setelah shalat dhuhur dan berdoa di Gedung ICMI, saya minta tolong Nazar mengantar saya dengan sepeda motor untuk pulang ke rumah dengan melewati jalan Iskandar Muda, Ulee Lhee, lalu belok melalui Deyah Geulumpang. Ternyata, saya hanya dapat diantar sampai di Simpang Jam, Taman Sari. Sepeda motor tidak bisa lewat lagi, karena jalan telah dipenuhi lumpur. Lalu saya berjalan kaki hingga depan RRI Banda Aceh. Orang-orang mengatakan, “Kampung telah hancur dan kita tak bisa lewat lagi.”

Saya saksikan tumpukan sampah bangunan rumah yang hancur dan mayat-mayat bergelimpngan. Ada juga yang merintih kesakitan tersangkut di tumpukan kayu, tapi tak ada yang menolongnya. Kondisinya nafsi-nafsi. Masing-masing mengurus dirinya sendiri. Sangat individualistik. Saya sempat lihat dari dekat dua mayat anak-anak yang diletakkan di pinggir jalan, siapa tahu mirip dengan anak kami, Nada Nursaid (Nada 6 thn) atau Rif’ah Nursaid (Rifa 1,5 thn). Ada juga mayat seusia Bunda Jamilah. 

Saya kembali ke Gedung ICMI. Saya berkesimpulan untuk ke rumah Sayuthi Sulaiman di jalan T Umar, Simpang Tiga, Seutui. Saya diantar Bang  Burhanuddin Usman (Bang Bur) --senior di Warta Unsyiah. Rencanya Bang Bur mengantar saya sambil mengisi bensin sepeda motor di SPBU Lamteumen. Tak ada kabar berikutnya  apakah Bang Bur berhasil mengisi bensin di SPBU.

Di tempat Sayuthi inilah saya baru mendapat gambaran yang agak lebih jelas tentang apa yang baru terjadi. Saat itu saya berkesimpulan, bahwa istri, anak-anak, bunda dan adik-adik di rumah sudah tak ada lagi. Saya shalat ashar, berdoa dan mengiklaskan istri dan anak-anak kembali kehadirat Allah swt. Innalillahi Wainna Ilaihi Raji’un.

Saya, Sayuthi dan Bang Fauzan Sulaiman “bertahan” di tempat Sayuthi (Toko Tasa) hingga esok pagi Senin 27/12/2004 kami di jemput untuk mengungsi ke rumah Bang Hilmi Sulaiman di Siyeu, Indrapuri, Aceh Besar. Anggota keluarga Sayuthi dan keluarga Bang Fauzan sudah terlebih dahulu di jemput kemarinnya. Ada 16 jiwa kami mengungsi di rumah bang Hilmi.

Hari ketiga mengungsi di Indrapuri baru berhasil menyampaikan pesan kepada Iswadi Yasin di Masjid Raya Baiturrahman, “Bahwa saya masih hidup.” Iswadi, satu-satunya orang Baiturrahman yang tetap berada di masjid kebanggan rakyat Aceh itu. Saya menuliskan pesan itu dikertas untuk ditempelkan di pintu Redaksi Tabloid Gema Baiturrahman.   

Saya tinggal di rumah Bang Hilmi selama enam bulan hingga menikah dengan Bunaizah Sulaiman pada 26 Juli 2005 di Lampanah Dayah, Indrapuri, Aceh Besar.  Bunaizah adalah adik kandung dari Sayuhi, Bang Fauzan dan Bang Hilmi.    

Pesimis Bisa Milad

Awal perkenalan saya dengan Nour Izmi Nurdin (Mimi) dalam aktivitas pengajian (pembinaan pasca training) di Kantor PW PII Aceh jalan KH Ahmad Dahlan No 1 Banda Aceh (1991). Ketika itu, ia masih berstatus pelajar SMAN 1 Banda Aceh. Baru saja mengikuti basic training PII dan hampir setiap minggu datang ke kantor PII untuk mengikuti pembinaan lanjutan.

Mimi, anak ketiga dari enam bersaudara. Abangnya yang tertua Nour Chalis Nurdin, kemudian Nour Rahdi Nurdin dan tiga adiknya Nour Isna Nurdin, Nour Leni Nurdin dan Nour Chaidir Nurdin. Ayahnya Nurdin Budiman, pensiunan Kandep Pendidikan dan Kebudayaan Banda Aceh dan ibunya Hj Djamilah Sandang, pensiunan guru SMKK Banda Aceh. 

Mimi yang saya kenal, anak yang santun, lues penampilannya bersahaja. Ia mendapat pembinaan yang cukup dalam keluarga. Kedua orang tuanya mengarahkan Mimi dan anak-anaknya untuk sungguh-sungguh menyesaikan pendikan dan membangun pergaulan dengan teman sebaya yang berakhlak mulia. Orang tuanya menesihati Mimi agar tak terpengaruh oleh pergaluan negatif dari sebagian remaja di kampung Alue Deah Tengoh, tempat mereka tinggal.

Selain belajar di sekolah, Mimi aktif mengikuti pengajian al-Quran dan pendidikan agama di kampungnya. Malah sejak masuk SMA, Mimi mengikuti pengajian rutin (tarbiyah) pimpinan Suratman di Blower Banda Aceh, sehingga ia terbiasa dengan pola pakaian muslimah (menggunakan jubah dan jilbab standar), suka membacaan buku-buku islami dan Majalah Ummi. Ia mengoleksi banyak kaset nasyid islami.

Perkenalan saya yang cukup lama dengan Mimi hingga kami menikah pada 19 Juli 1997, membuat interaksi kami seperti seorang adik dan kakak. Ia pun lazim memanggil saya dengan sebutan Kakak, sebagaimana ia sehari-hari menyapa senior lainnya di PII. Selain sebagai seorang istri saya juga memposisikannya “sebagai seorang adik”, sehinga praktis tujuh tahun lebih kami menikah tak pernah terjadi konfik dalam keluarga. Subhanallah.

Dari rentang waktu pernalan saya dengan Mimi hingga kami menikah (1991-1997) seluruh kegiatan sosial keagamaan dan organisasi yang saya ikuti, Mimi juga berupaya melibatkan diri. Sambil menjadi mahasiswa Diploma 3 Marketing, Fakultas Ekonomi, Unsyiah, ia aktif mengikuti kegiatan organisasi intra dan ekstra kampus. Tugas akhir Kuliah PKL diambilnya di Baitul Qiradh Baiturrahman, Banda Aceh, lembaga yang saya pimpin ketika itu.

Mimi aktif menjadi mentor Program Pendampingan Agama (PPA) di Mushalla Al-Mizan Fakultas Ekonomi Unsyiah. Ia juga aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan mengantarkannya pada jabatan puncak sebagai Ketua IMM-Wati DPD IMM Aceh. Dalam bidang pembelajaran Al-Quran Mimi menjadi guru TPA ‘Aisyiyah dan TPQ Plus Baiturrahman, Banda Aceh.

Mimi aktif sebagai pengurus Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga Sakinah (LPPKS) BKPRMI, Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Centra Muda Putroe Phang (CMPP) PKBI, Muslimat Hidayatullah, dan PW ’Aisyiyah Aceh. Dicelah kesibukannya kuliah dan berbagai kegiatan keislaman, Mimi masih sempat mengikuti kursus menjahit, sehinga hampir seluruh pakaiannya sendiri  dan anak-anaknya hasil jahitannya sendiri. Bahkan, dikalangan teman-temanya ia terkenal spesialis menjahit baju dan jilbab anak-anak.

Setelah selesai kuliah,  menikah dan memiliki dua putri, Mimi memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Waktu yang ada ia maksimalkan untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Ia pernah habiskan sisa waktu untuk membantu Sayuthi Sulaiman jualan di toko kelontong  di Simpang Tiga Seutui, menjadi anggota MLM Syariah Ahad-Net dan menjual berbagai bentuk tas dan pakaian wanita. Sore hari Mimi menjadi guru TPA di Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh.  

Satu catatan penting dari pernikahan kami, sejak awal bertekad saling menerima kekurangan dan perbedaan latar belakang masing-masing. Alhamdulillah, kami dapat mengelola keluarga dengan baik. Satu spirit membangun keluarga ketika itu, kami mencita-citakan dapat mengikuti seleksi menjadi keluarga sakinah yang tiap tahun diselenggarakan oleh Departemen Agama (Kementrian Agama). Sungguh kami telah merasakan berada dalam sebuah keluarga yang sakinah, walaupun kami masih menumpang di rumah mertua.

Mimi dapat menerima kondisi keuangan keluarga kami yang pas-pasan. Mimi pun mambantu penghasilan tambahan dari honornya mengajar di TPA, manjahit dan usaha sampingan lainnya. Mimi adalah perempuan cerdas mengelola keuangan keluarga. Ia terbiasa dengan pola hidup sederhana.

Saya mendapat tawaran kerja di Baitul Mal Aceh pada Januari 2004, padahal hampir tiga tahun sebelumnya saya tidak memiliki pekerjaan dan perhasilan tetap.  Ketika saya berhenti sebagai Manajer Utama Baitul Qiradh Baiturahman (2001), saya bekerja sebagai wartawan Mingguan Atjeh Post, Majalah Hidayatullah, Majalah Sunanggroe DPRA dan Tabloid Suara Aceh Setda Aceh. Pada Agustus 2004 kami dapat merencanakan pembelian sepeda motor, dengan kerelaan Mimi menjual maskawinnya untuk menutupi kekurangan dana yang diperlukan.

Dua bulan terakhir menjelang tsunami tak ada firasat apapun, bahwa kami akan berpisah untuk selama-lamanya. Hanya saya masih ingat dua isyarat, pertama, bulan-bulan terakhir kehidupan kami dalam keluarga serasa bagai masih sedang bulan madu. Bahagia dan begitu mesra. Bisa jadi secara psikologis ini pengaruh Mimi sedang hamil tiga bulan.

Kedua, ketika  beberapa kali saya sampaikan kepada Mimi, bahwa saya ingin merayakan ulang tahun (milad) ke 40 dengan memotong kambing dan mengundang teman-teman dekat untuk hadir kenduri, Mimi sangat pesimis. “Itu tak mungkin,” katanya. Bisa jadi keraguan Mimi ini akibat  penghasilan kami yang minim.

Numun, Allah Swt telah membuktikan kekuasaannya, bahwa sebelum usia saya mencapai 40 tahun  pada 28 Desember 2005, kami harus berpisah karena gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Mimi dan dua anak kami (Nada 6 tahun dan Rifa 1,5 tahun) hilang dalam musibah dahsyat itu. Ikut hilang Bunda Djamilah Sandang, Nour Isna Nurdin dan Nour Leni Nurdin. Maka, tak ada lagi rencana ikut lomba keluarga sakinah bersama Mimi. Tak tak pula ada milad ke 40.

Hari-hari menjelang kami dipisahkan oleh Allah Swt, anak kami Nada Nursaid sudah enam bulan sekolah di TKIT Ar-Rahman, Meduati. Ia sudah mulai bisa membaca. Sementara Bunda Djamilah Sandang sedang menyiapkan pernikahan Noer Leni Nurdin dan wisuda S1 Nour Chaidir Nurdin di Unisba Bandung. Semoga mereka semua dalam ridha-Mu ya Rabb. Allahummaghfirlahum.       

Menjadi Lebih Sosialis

Oleh: Sayed Muhammad Husen 

Sejak kapan Bang Sayed belajar bisnis? Demikian pertanyaan seorang teman ketika bertemu baru-baru ini di sebuah warkop di Banda Aceh. Bisa jadi pertanyaan itu terkait  dengan berita di hidayatullah.com, “BQ Baiturrahman Membukukan Laba Rp 80 Juta”. Dia tahu, saya menjabat Wakil Ketua Pengurus Baitul Qiradh Baiturrahman (BQB), lembaga keuangan mikro syariah. Menurut dia, BQB adalah lembaga bisnis.

Pertanyaan teman dia atas menarik ditelusuri, sejak kapan saya “bersinggungan” dengan dunia bisnis atau entrepreneurship.

Ayah guru pertama

Ayah, Tgk M Husen bin Puteh (1938-2007) seorang swasta murni. Dia bisa bekerja apa saja, yang penting menghasilkan uang dan halal. Sejak muda ia telah menjadi muge (agen) buah-buahan, lalu pernah berjualan beras, kue, nasi gurih dan menjadi tukang pangkas rambut. Pekerjaanya terakhir jualan ikan keliling kampung dengan mengggunakan sepeda.

Ayah cukup lama bekerja sebagai mandor pada proyek-proyek pembangunan jalan di Sabang. Hampir seluruh ruas jalan di Sabang periode 1970-1985 Ayah ikut mengerjakannya. Proyek jalan terakhir dia kerjakan, peningkatan jalan Simpang Peut Nagan Raya bersama Firman Dez.

Saya mendapatkan pengalaman bisnis pertama secara langsung dari Ayah ketika usia remaja di Sabang. Dua pekerjaan yang benar-benar melibatkan saya: bisnis jualan nasi gurih dan proyek pembangunan jalan. Namun, Ayah lebih menganjurkan saya untuk belajar, mengaji al Quran, ikut organisasi PII dan Remaja Masjid.

Belakangan saya tahu, dunia kontraktor yang Ayah geluti tak begitu bersih, maka dia tak setuju saya meneruskan kariernya sebagai mandor/kontraktor. Ayah pun meninggalkan pekerjaan itu, melakukan taubat dan pensiun sebagai petani/penjual ikan di Trienggadeng.

Belajar dari Alfian Husein

Ketika menjadi aktivis PII di Banda Aceh 1986-1992, senior yang sering kami kunjungi adalah M Alfian Husein Itam, mantan Manajer Puskud Aceh. Setiap kunjungan kami ke rumahnya di Lampineung Banda Aceh, dia cukup sering membicarakan tema ekonomi kerakyatan dan  kewirausahaan.

Alfian cukup peduli pada pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat. Dia tak apriori terhadap perjuangan teman-temannya di jalur politik, namun dia lebih suka mendukung aktivitas entrepreneurship. “Aktivis juga mesti mandiri secara ekonomi,” katanya.

Ketika itu, saya dan kawan-kawan PII tak begitu respek terhadap gagasan ekonomi Alfian, namun karena teralalu sering berdiskusi dengan dia, pastilah terpengaruh juga. Dia pernah mengajak kami bisnis ternak kambing di Krueng Jreu, Indrapuri, Aceh Besar.

Ketika saya mengikuti Pelatihan Manajemen BMT (Baitul Mal Wattamwil) di Jakarta (1995), saya menjadi teringat kembali petuah-petuah Alfian dalam memajukan ekonomi ummat. Pelatihan BMT telah membuka mata saya akan pentingnya pengembangan ekonomi ummat. “Kita harus melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada konglomerat mata sipit,” kata Hasballah Saad, organizer pelatihan.  

Nyak-nyak sebagai guru   

Selama mendirikan dan bekerja di Baitul Qiradh Baiturrahman (BQB), saya lebih intens berinteraksi dengan pengusaha. Mereka menjadi mitra sebagai pemodal, penabung dan peminjam dana.

Saya juga berkesempatan belajar dari nyak-nyak di Pasar Aceh, tentang bagaimana mereka bisa bertahan hidup dan mengembangkan usaha. Belajar dari tauke ikan, muge cabe dan bawang, serta pedagang kali lima yang sering kali digusur pemerintah. Pembelajaran termahal adalah pengalaman dan semangat mereka dalam berwirausaha. Mereka “tahan banting”.

BQB menjadi guru saya tentang bagaimana menggalang dan mengelola dana. Rupanya begitulah orang mengelola bank. Saya dan teman-teman di BQB, seakan menjadi banker Islam pada tataran mikro.

BQB telah membuat saya terjun lebih intens dalam dunia wirausaha. Kesimpulan itu tak seluruhnya benar, sebab gerakan BQ dan BMT di luar Aceh bukan semata-mata bisnis, tapi lebih merupakan sosial entrepreneurship. BQ adalah bisnis sosial, yaitu kegiatan sosial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis.

Melangkah lebih sosialis

Setelah tiga tahun saya bekerja di  BQB, saya mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dibandingkan apa yang dikerjakan BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Sahadqah) dalam memberdayakan ummat. BAZIS bisa memberikan modal usaha tanpa bunga atau menghibahkannya.

Sementara secara tak langsung BQ berbisnis dengan pengusaha mikro. Mendapatkan margin dari dana yang dipinjamkan kepada pedagang kaki lima dan peminjam lainnya.   

BQ sebagai pengembangan konsep BMT, bergerak tak seimbang. Hanya mengandalkan praktek Baituttamwil (rumah pembiayaan) dan melupakan Baitulmal (rumah harta). Mengedepankan bisnis dan lemah peran sosial.

Penilaian itu, saya sampaikan dalam sebuah pelatihan manajemen BQ di Saree, Aceh Besar, 1998. Ada elit Pinbuk Aceh salah paham terhadap penilian itu, sehingga saya pun tak diberi kesempatan lagi menjadi fasilitator pada pelatihan-pelatihan BQ.

Saya meninggalkan jabatan Direktur BQB, setelah rapat LPJ pengurus 2001.

Doa untuk dapat bekerja di lembaga amil zakat Allah kabulkan. Saya “dilamar” Drs H Nurdin AR untuk bekerja di Baitul Mal Aceh (BMA) yang beroperasi Januari 2004. Masalahnya, sudah lebih tujuh tahun bekerja di BMA, saya tak pernah dimutasi dari bidang pengumpulan, maka praktis tak bisa maksimal “menularkan” pengalaman pemberdayaan ekonomi yang saya peroleh dari BQ.  

Saya mendapatkan pengalaman sosial yang lebih banyak di BMA dibandingkan di BQ, sehingga saya merasa lebih sosialis (tapi sosialis bertauhid). Salama di BMA, juga berinteraksi dengan aktivitas pengembangan wirausaha, pemberdayaan ekonomi dan keislaman.

Jadi, menjawab pertanyaan teman di atas, lebih tepat dikatakan: “Saya sedang tidak berada pada barisan wirausaha, tapi lebih tepat sosial entrepreneurship.” Itupun tidak full sosial entrepreneurship, mengingat BMA juga bagian dari negara. Biaya operasionalnya ditanggung Pemerintah Aceh. Prinsip-prinsip entrepreneurship tak diterapkan 100%. Hanya saja operasional BMA dalam mengelola ZISWAF --sesuai ketentuan qanun-- tetap independen.

Mungkin saja saya tak berkesempatan lagi belajar bisnis, tapi akan lebih berpeluang terus mengikuti perkembangan sosial entrepreneur. Menjadi sosial entrepreneur. Itu pun masih terus digoda pilihan lain: menjadi anggota parlemen atau konsultan media.

Allah jua yang akan menentukan langkah berikutnya. Patuh saja pada skenario-Nya. Ada juga tawaran menjadi PNS, tapi biarlah terus “mengalir” langkah ini. Semoga semuanya lancar dan berkah.   

Alue Deah Teungoh, 4 Mei 2011           

Mengenal Baitul Qiradh Baiturrahman

Oleh:  Sayed Muhammad Husen 


Gerakan awal Baitul Mal Wattamwil (BMT) yang di Aceh dikenal dengan Baitul Qiradh (BQ) berangkat dari kegelisahan aktivis Islam terhadap kualitas umat Islam di Indonesia. Betapa tidak, sebagai umat mayoritas di negeri ini sebagian besar tidak taat dalam mengamalkan ajaran Islam dan tidak memiliki akses terhadap modal usaha dari perbankan. Umumnya umat Islam kualitas sumber daya manusinya rendah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Pada sisi lain, umat Islam Indonesia belum dapat mengamalkan ajaran Islam dengan baik akibat praktek perbankan sistem ribawi.

Umat Islam Indonesia mendapatkan momentum dengan diresmikannya Bank Muamalat Indonesia 1992, sebuah bank yang beroperasi dengan sistem syariah. Kekuasaan Soeharto pun (waktu itu) memberi dukungan penuh terhadap hadirnya bank yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini. Momentum ini pula menjadi pendorong tumbuhnya BMT sebagai lembaga keuangan umat yang memfasilitasi pemberdayaan ekonomi umat di lapisan bawah. Sebelumnya BMT masih bersifat “gerakan bawah” tanah, yang dirintis sejak 1982 dengan nama Baituttamwil Teknosa di Bandung.

Upaya BMT dalam memberdayakan umat dengan cara melakukan dua hal: pertama, memberdayakan umat dengan meningkatkan pemahaman terhadap ajaran Islam. Umat diorganisir untuk mengikuti pengajian rutin yang dibimbing oleh ustaz/murabbi. Materi yang disajikan mencakup pengetahuan dasar keislaman, aqidah dan  ibadah. Selajutnya dperluas dengan pengetahuan tentang muamalah (sosial ekonomi dan kemasyarakatan). Kelompok ini diarahkan untuk mengaktualisasikan semangat solidaritas yang telah mulai tumbuh, maka diaktifkanlah kegiatan simpan pinjam. Tentu, kegiatan ini mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti mudharabah (bagi hasil),  (jual beli) dan qardhul hasan (pinjaman kebajikan).

Merambah Aceh

Suatu hari, saya dan Drs Sayuthi Sulaiman yang sedang berada di Studio Radio Swasta Rhodisko Banda Aceh mendapat telepon dari M Nur A Birton di Jakarta. Dia mengatakan, dalam waktu dekat akan ada pelatihan pengelola BMT di Jakarta. Dia menyebut nama HM Hamzah Hasan dan Prof Jamaluddin Ahmad sebagai kontak person yang dapat dihubungi di Aceh untuk mencari peluang bisa ikut menjadi peserta dari Aceh.

Lalu, kami berdua membuat proposal pendirian BMT di Banda Aceh dan menghubungi kedua kontak person itu. Saya mengusulkan seorang teman yang sama-sama mengajar di TPA Aisyiyah Banda Aceh, Nora Faulina, untuk dimasukkan dalam proposal sebagai calon pengelola, karena kami berdua berlatar-belakang pendidikan keguruan dan syariah, sementara Nora Faulina berpendidikan perbankan.

Saya, Sayuthi, bersama 30-an teman-teman se Aceh akhirnya berkesempatan mengikuti Pelatihan dan Magang Pengelola BMT selama dua minggu (akhir Mei hingga awal Juni 1995) di Jakarta, yang difasilitasi oleh Yayasan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) dan Taman Iskandar Muda. Pinbuk adalah badan otonom di bawah ICMI yang dibentuk khusus untuk mengembangkan BMT di seluruh Indonesia. Saya dan 12 teman dari Banda Aceh dan Aceh Besar dibiayai oleh ICMI Aceh, sementara teman-teman lain dibantu oleh ICMI Kabupaten/Kota se Aceh.

Sepulanngnya dari pelatihan dan magang, kami diberi kesempatan presentasi tentang BMT di hadapan Gubernur Aceh yang juga Ketua ICMI Aceh (waktu itu), Prof DR Syamsuddin Mahmud, di Anjong Mon Mata Banda Aceh. Sebuah tekad pun lahir untuk menggerakkan pembentukan BMT di seluruh Aceh. Tak ada pengurus ICMI Aceh yang memberi dukungan. Mereka yakin, inilah salah satu solusi pemberdayaan ekonomi rakyat Aceh.

Masuk Baiturrahman

Rupanya, tanpa sepengEtahuan kami yang sedang ikut pelatihan dan magang, Pengurus ICMI Aceh telah merencanakan beberapa lokasi pendirian BMT di Aceh. Saya dan Sayuthi yang semula satu tim dipencar ke lokasi yang berbeda, saya diminta mengorganisir pembentukan Baitul Qiradh di Masjid Raya Baiturrahman dan Sayuthi di Masjid Abu Indrapuri Aceh Besar. Padahal, semula dalam proposal kami rencanakan lokasinya di lantai II Toko Buka Amanah Jalan Mohd Jam Banda Aceh. Informasi pembagian tugas itu kami ketahui pada hari-hari terakhir pelatihan dan magang.

Dari informasi itu, saya mereka-reka siapa yang paling cocok menjadi Ketua Pengurus Baitul Qiradh Baiturrahman (BQB). Semula saya “mengantongi” nama H Imam Syuja’ sebagai orang yang paling tepat. Dia aktivis Islam, tokoh, sekaligus seorang pengusaha. Lalu, saya mendapat kabar bahwa Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman, Tgk H Soufyan Hamzah, kurang berkenan terhadap rencana ICMI membentuk BQB. ICMI pun mengubah langkah taktis dengan menjadikan Soufyan Hamzah sebagai salah seorang yang dimandatkan oleh ICMI bersama Prof Abidin Hasyim MSc untuk membentuk BQ di  masjid kebanggaan rakyat Aceh itu.

Saya pun berupaya “menyesuaikan” diri dengan langkah ICMI dengan cara mengusulkan nama calon Ketua Pengurus yang relatif bisa diterima oleh Soufyan Hamzah. Maka muncullah nama Ir H M Zardan Araby MBA, dosen Fakultas Teknik Sipil Unsyiah, Ketua PW Pemuda Muhammadiyah dan salah seorang anggota Keluarga Besar Soufyan Hamzah yang sangat ia senangi. “Saya melihat Zardan punya potensi menjadi intelektual muslim yang sukses, dia dosen, mau belajar agama dan sekaligus wirausaha,” katanya.

Selanjutnya, saya melakukan silaturrahmi dengan Soufyan Hamzah. Beliau mengarahkan supaya saya mengkoordinasikan segala sesuatu yang diperlukan dengan Sekretaris Masjid Raya Baiturrahman, Drs H Ridwan Johan. Bersama dengan Ridwan Johan saya mempersiapkan acara rapat pembetukan BQB. Para aghnia kami undang untuk mengikuti rapat dan presentasi konsep BQ sebagai miniatur bank Islam.  Di atas kertas malam itu kerkumpul dana Rp 16 juta, Rp 10 juta di antaranya dari kas Masjid Raya Baiturrahman.  

Rapat juga berhasil menyepakati formatur pembentukan BQB yang terdiri dari Camat Baiturrahman, mewakili pengusaha warung nasi, wakil pengusaha toko emas, Ridwan Johan dan Sayed Muhammad Husen.  Selanjutnya kami menyusun komposisi Pengurus dan Pengelola BQB periode empat tahun pertama:

Pengurus
Ketua               : Ir. H. M. Zardan Arabi, BA
Wakil               : Drs. H. Ridwan Johan
Sekretaris         : Ir. H. Basri A. Bakar, Msi
Wakil               : Murizal Hamzah
Bendahara        : Drs. Mahlil Idham

Pengelola
Manajer Utama            : Sayed Muhammad Husen
Staf                              : Nora Faulina Murdani, SE
                                       Aiyub Syah, SE (tidak aktif)
                                       Maulida Lailiana, SE. Ak

Mulai Operasional

Pada 8 Juli 1995 Menristek Prof DR BJ Habibie meresmikan BQB bersamaan 49 BQ lainnya di seluruh Aceh. Habbie menyerahkan modal usaha Rp 1 juta tiap BQ. Peresmian itu bertepatan dengan berlangsungnya Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh. Dengan uang cash Rp 2 juta, kami memberanikan diri memulai operasi BQB pada 2 Oktober 1995. Bulan pertama operasinal kami hanya memasarkan produk simpanan, baru pada bulan kedua kami dapat menyalurkan pembiayaan.

Adupun produk Simpanan yang kami pasarkan yaitu: Simpanan Mudharabah, Simpanan Pendidikan, Simpanan Qurban, Simpanan Idul Fitri, Simpanan Walimah, dan Simpanan Haji. Produk Pembiayaan: Pembiayaan Murabahah, Pembiayan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah dan Pembiayaan Al-Ijarah. Hingga tahun 2000 asset BQB mencapai Rp 250 juta.

Dukungan utama operasional BQB kami peroleh dari jamaah Masjid Raya Baiturrahman. Karena lokasi yang strategis di pusat kota dan berdekatan dengan pusat pasar, sangat mudah bagi jamaah untuk menyimpan atau meminjam dana untuk modal usaha.  Dalam hal sosialiasi, kami peroleh dari Tabloid Gema Baiturrahman (media masjid) dan penceramah halaqah maghrib dan subuh di Masjid Raya Baiturrahman yang  disiarkan langsung oleh Radio Baiturrahman. Para penceramah menyampaikan konsep-konsep ekonomi syariah dan anjuran menjadi nasabah/anggota BQB.

Dua tahu pertama operasional BQB, saya  mengintensifkan silaturrahmi dan komunikasi dengan para tokoh, aktivis, mahasiswa, media, pengusaha, da’i, Ormas dan OKP Islam, anggota DPRA/DPRK, parpol, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan mendukungan terhadap keberadaan BQB. Hampir seluruh aktivis LDK (lembaga dakwah kampus) membuka rekening di BQB. Kami juga mendapat suntikan modal  dari tiga BUMN: PT Taspen, Pertamina dan PLN, mencapai Rp 110 juta.

Pada 2001 BQB telah berbadan hukum koperasi syariah, sebelumnya hanya mengandalkan izin operasional dari Pinbuk. Badan hukum ini kami urus karena dorongan dari tokoh ICMI yang menjadi Menteri Koprasi dan UKM, Adi Sasono. Tahun  itu  pula saya mengundurkan diri sebagai Manajer Utama dalam rapat besar periode pertama. Saya minta posisi sebagai konsultan, tapi akhirnya saya diberi amanah menjabat sebagai Wakil Sekretaris. Jabatan Manajer Utama diserakan kepada Nora Faulina Murdani. “Ia mundur saat yang tepat,” kata Sayuti.

Hinga menjelang tsunami 26 Desember 2004 BQB dapat membukukan asset Rp 350 juta. Pengelola empat orang: Nora Faulina SE (perbankan), Maulida Lailiana SE (akuntan), Dra Nurmi Hasan (syariah) dan Nur Fajri Fahmi (perbankan). Simpanan anggota Rp 155 juta (1.316 orang), pembiayaan Rp 109 juta (350 orang). Rupanya Allah SWT menguji hamba-Nya dengan tsunami, akibatnya semua inventaris dan adminstrasi BQB tenggelam dan hancur. Uang di brankas Rp 10,5 juta dijarah. 60% nasabah pembiayaan hilang. Sementara asset yang selamat di rekening bank Rp 32,3 juta.

Bangkit PascaTsunami

Menurut Nora Fauilina, pada Januari 2005 pihaknya hanya dapat menjalin komunikasi telepon antara pengelola dan pengurus, sebab pada umumnya mereka mengungsi sampai ke Medan. Bulan Januari Masjid Raya Baiturrahman juga belum menyelenggarakan shalat Jumat. Baru pada minggu ketiga Januari, mulai ada komunikasi tentang upaya menghidupkan kembali BQB dengan PNM Medan dan Pinbuk Pusat.

Pada minggu kedua Pebruari 2005, PNM menghubungkan BQB dengan BAZNAS untuk ikut serta dalam program revitalisasi ekonomi Aceh pasca tsunami. Minggu terakhir Pebruari, BAZNAS menyatakan komitmen untuk menyertakan modal pada BQB Rp 605 juta.

Selanjutnya, Nora Faulina dari BQB bersama dua  BQ lainnya dari Aceh mengikuti pelatihan dan magang BMT di Jakarta. Minggu pertama Maret 2005 dapat dilakukan renovasi kantor BQB atas fasilitasi BAZNAS. Pada 10 Maret 2005 BQB dapat beroperasi kembali secara normal dan 17 Maret 2004 Hj Mufida Jusuf Kalla meresmikan kembali BQB.

Menurut Ketua Pengurus BQB, M Zardan Araby, hal-hal yang mendukung kelancaran operasional kembali BQB, pertama kerena semua pengurus dan pengelola masih ada (tidak hilang dalam tsunami). Tidak terjadi rush dan malah simpanan terus bertambah.  Juga, karena keunggulan lokasi kantor yaitu di komplek masjid kebanggaan rakyat Aceh. “Masalah juga ada, masyarakat menganggap penyertaan dana BAZNAS sebagai hibah, sehingga menyulitkan kita dalam penagihan,” katanya.

Beberapa kegiatan kemitraan dalam upaya memperkuat kelembagaan BQB pasca tsunami, yaitu: menjadi salah satu pilot proyek microfinance BRR; ikut serta dalam Program Pembiayaan Produktif PKPS BBM Kementrian Koperasi 2005; adanya penyertaan modal kerja dan pembukaan tiga kantor cabang oleh ILO (International Labour Organitation); mendapatkan pinjaman tanpa bagi hasil dari ICED dan ARF (NGO lokal); penempatan deposito PT. BISMA dan membuka loket resmi pembayaran rekening listrik PLN Cabang Banda Aceh.

Selain itu, BQB meneriman penempatan dana BRR Rp 3 milyar; PKPS BBM Rp 500 juta; ICED dan ARF Rp 250 juta; ILO Rp 545,9 juta dan deposito PT Bisma Rp 325 juta. “Untuk tahun 2009 kita memang tak bisa mengandalkan lagi dana murah dan hibah, kami harus proaktif mencari dana komersial,” kata Nora Faulina.

Sebagai upaya penguatan kelembagaan dan SDM BQB melakukan pelatihan dan pemegangan staf dengan kerjama kemitraan antara lain, Juni 2006 ILO memfasilitasi empat orang karyawan magang pada Kospin Jasa Pekalongan selama satu  bulan. Agustus 2006  Training Loan Officer dan Training Manajemen Kredit Bermasalah oleh MercyCorps. Pada Oktober 2006: Training Analisa Keuangan untuk Lembaga Keuangan Mikro oleh MercyCorps.

Selanjutnya Nopember 2006: BQB mengikuti Training Analisa Kredit untuk LKM oleh MercyCorps. Maret 2007: Training Penyelesaian Kredit Bermasalah oleh MercyCorps. Maret 2007 Pelatihan Calestial Manajemen oleh Bank Muamalat. Juli 2007: Workshop Gender dan Koperasi bagi seluruh karyawan BQB oleh ILO dan Oktober 2007 Workshop Bisplan BQB oleh ILO.

Dari data April 2008, BQB telah membukukan asset Rp 9,7 milyar dengan tenaga pengelola/karyawan 15 orang, pengurus 3 orang, pengawas 2 orang, simpanan nasabah/anggota Rp 3 milyar (2.719 orang), pembiayaan Rp 4,9 milyar (675 orang) dengan  satu kantor pusat di Masjid Raya Baiturrahman dan tiga kantor cabang masing-masing cabang  Meuraxa (diresmikan 2 Pebruari 2006), cabang Ulee Kareng (diresmikan 2 Juli 2006)  dan  cabang Jeulingke (diresmikan 28 Juli 2006).

Demikianlah sejarah, perkembangan dan kebangkitan BQB pasca tsunami. Semoga memasuki usia tahun ke 14 lembaga keuangan mikro syariah ini, dapat menghadapi tantangan yang lebih berat. Para pendiri, pengurus, pengawas,  dan pengelola seharusnya tetap kreatif dalam merespon berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul, teruma dalam meningkatkan jumlah modal sendiri, memantapkan kelembagaan, penguatan SDM dan terus berupaya untuk menambah asset. “Kami juga ditantang untuk punya sektor ril dan gedung sendiri,” kata Ridwan Johan.

Demikian pula, Pengurus Masjid Raya Baiturrahman sebagai “pemegang saham mayoritas” sepatutnya lebih konkret lagi memberi dukungan, misalnya,  dengan menempatkan sebagian kas masjid di rekening BQB. Semoga semua kita ikut bangga, bahwa masjid kebanggan rakyat Aceh telah memiliki satu lembaga keuangan syariah yang mapan. Percayalah BQB akan menjadi inspirasi bagi masjid lain di bumi ini. Amien.

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...