Kamis, 27 Juli 2023

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima manfaat program tahfidz 10 juz  pada 24 dayah, ma'had tahfidz, dan rumah Alquran lainnya.  Tugas tim memastikan 59 calon mustahik telah sesuai kriteria yang ditetapkan BMA. 

Tim Abes BMA yang terdiri dari Agus Mulyadi ST, Dina Setia Ningsih AMa, Muliana SSi, dan saya sendiri,  setelah mengikuti rapat pembekalan pada Senin 17 Juli 2023, langsung melaksanakan tugas tanggal 21-25 Juli 2023. Tim Abes bergerak bersamaan dengan tim lainnya yang bertugas ke Subulussalam,  Singkil, dan Aceh Barat.

Ada juga tim verifikasi yang ditugaskan ke , dan Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Pidie, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, serta Simeulue.    

Menurut Plt Kepala Sekretariat BMA, Didi Setiadi, BMA melakukan verifikasi terhadap 349 santri penghafal Al-Qur'an di seluruh Aceh.  Program ini untuk meringankan beban para santri penghafal Al-Qur'an yang berasal dari keluarga miskin.

“Melalui program ini, BMA berupaya memberikan dukungan finansial kepada para calon mustahik dengan membantu dana beasiswa sebesar Rp 1 juta setiap bulan selama 12 bulan. Beasiswa tersebut akan diberikan kepada calon mustahik yang telah lulus verifikasi,” ujar Didi seperti dilansir baitulmal.acehprov.go.id, (24/7/2023).

Dalam pembekalan tim disampaikan kriteria mustahik yang telah ditetapkan BMA, yaitu terdaftar sebagai santri aktif pada dayah, pesantren, sekolah, atau LPTQ dalam wilayah Aceh; santri yang sedang menjalani program tahfidz Alquran; ber-KTP dan berdomisili di wilayah Aceh. 

Kriteria lainnya adalah, santri yang berstatus keluarga miskin, yang berpenghasilan  di bawah Rp 2,3 juta; setoran hafalan minimal 10 juz; satu keluarga maksimal mengajukan dua pemohonan; umur maksimal 20 tahun; serta bukan penerima bantuan yang sama dari BMA pada tahun 2022.   

Tim Abes memulai tugas dengan memilih lokasi kunjungan yang telah kami sepakati bersama dan merencanakan rute perjalanan hari pertama hingga hari terakhir. Kami memastikan bahwa calon mustahik memenuhi kelengkapan administrasi yang diperlukan, berasal dari keluarga kurang mampu, dan benar sedang menghafal Alquran 10 juz.  

Kami pun berbagi tugas, yang diawali dengan pemeriksaan berkas yang telah dikirimkan secara online dan wawancara tentang status ekonomi keluarga oleh Dina dan Nana. Setelah itu, saya dan Agus “mendengarkan” hafalan santri pada awal surat, pertengahan surat, dan hafalan acakan. Tak lupa kami mendokumentasikan proses tersebut. Begitu seterusnya teknik kerja pada lokasi-lokasi lainnya.       

Dalam “dinas luar” kali ini, kami mengunjungi ma'had, pesantren, dayah, atau rumah tahfidz yang lebih beragam dilihat dari karakteristik program dan latar belakang pengelolanya. Secara umum program tahfidz dapat dikelompokkan sebagai ma'had tahfidz, tahfidz intensif, kurikulum tahfidz, ekstrakurikuler tahfidz, rumah tahfidz, serta tahfidz mandiri.

Demikian juga dari segi latar belakang pengelola yang bervariasi, misalnya Jamaah Tabligh, salafi, dayah terpadu, dayah tahfidz, Islam terpadu, serya dayah tradisional. Justru yang cukup menarik, santri tahfidz juga terdapat di dayah tradisional seperti di Lubok Sukon,  Gampong Meulayo, dan Kuta Baro. 

Sebagai data dan informasi berikut nama-nama ma'had, pesantren, dayah, atau rumah tahfidz yang kami kunjungi dan telah mengirimkan data santri tahfidz melalui Baitul Mal Kab/Kota (BMK) Banda Aceh dan Aceh Besar: Ma’had Tahfidzul Quran Daarut Tibyaan, MAK Imam Annawawi, dan Dayah Tahfidz Al Misk. 

Berikutnya, Dayah Al Fathani Darussalam, MIT Daarut Tahfizh Al Ikhlas, Pondok Tahfidz Ihyaul Quran, Al-Athiyah Tahfizh Al-Quran, Dayah Darul Fikri/Nurul Fikri Aceh, Dayah Dar Maryam Binti Ibrahim, Dayah Insan Qurani, Pesantren Tgk Chik Eumpe Awe, Yayasan Dayah Bustanul Ulum, SDIT Al Fityan School Aceh, Pondok Tahfidz Istambul, serta Dayah Darul Aman. 

Kemudian, Ma’had Assunnah, Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa, Dayah Tahfidz Quran Ubay Bin Ka’ab, Ma’had Daarut Tahfidz Al-Ikhlas, Dayah Terpadu Al-Manar, Dayah Darul Muta’allimin,  Dayah Daruzzahidin, Rumah Hafalan Mahasiswa, serta Madrasah Ulumul Quran.     

Di sela-sela tugas sebagai verifikator, saya berkesempatan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pengelola tahfidz untuk memahami dinamika dan karakteristik pengelolaan tahfidz di Banda Aceh dan Aceh Besar. Sebelumnya, dalam tugas serupa tahun-tahun sebelumnya, saya pernah mendapat data dan informasi tahfidz di Pidie, Pidie Jaya, Lhokseumawe, serta Aceh Utara.     

Dari  informasi yang kami himpun, ternyata tidak semua calon mustahik adalah santri ma'had tahfidz dan rumah Alquran, namun ada juga santri di pesantren terpadu dan dayah tradisional, dengan program tahfidz yang berbeda.  Tentu saja masing-masing program tahfidz memiliki kelebihan dan kekurangannya. 

Misalnya, program tahfidz intensif yang hanya menghafal Al-Quran saja selama dua hingga tiga tahun, sementara untuk mendapatkan ijazah sekolah cukup mengikuti ujian penyetaraan. Program seperti ini tersedia di Ma’had Assunnah, Daarut Tibyaan, Al-Ikhlas, Dar Maryam, Ubay bin Ka’ab, serta Bustanul Ulum Cot Goh.  

Ada juga ma'had tahfidz tingkat SLTP dan SLTA yang memadukan sekolah/madrasah/dayah hingga santri menamatkan hafalan 30 juz, seperti Insan Qurani dan Al-Ikhlas.  Sebagian lagi mempraktikkan kurikulum tahfidz 5 sampai 6 juz selama tiga tahun. Bahkan ada pesantren terpadu yang menambah kegiatan ekstrakurikuler tahfidz bagi santri yang berminat. 

Kami juga mendapatkan informasi rumah tahfidz dan tahfidz mandiri. Kedua lembaga tahfidz ini lebih mengandalkan inisiatif santri untuk bergabung di rumah tahfidz atau belajar menghafal Al-Quran secara mandiri di dayah tradisional, yang tentu saja tetap dibimbing oleh teungku/ustaz atau ustazah.   

Dilihat dari jumlah santri, program tahfidz di Banda Aceh dan Aceh Besar berkisar 12 hingga 1.200 santri. Jumlah terkecil adalah Rumah Hafalan di Tanjung Selamat dan jumlah santri tertinggi di Al-Ikhlas yang memiliki tiga kampus.

Kemudian dari segi biaya bulanan Rumah Hafalan hanya membayar biaya air dan listrik, demikian juga Dayah Darul Aman Lubok Sukon, sementara SPP tertinggi adalah tahfidz yang memadukan kurikulum sekolah, Islam Terpadu (IT), dan dayah,  yang mencapai Rp 1,9 juta perbulan.    

Dalam melaksanakan tugas amil zakat ini, secara pribadi saya merasa bersyukur karena sekalian dapat mengunjungi beberapa pesantren dan lembaga tahfidz yang telah lama saya “niatkan” seperti Pesantren Eumpe Awe, Darul Fikri/Nurul Fikri, Daruzzahidin, Al Fityan, Darul Muta’allimin, dan Madrasatul Quran.

Sesuatu yang Allah Swt takdirkan juga, sambil melaksanakan tugas saya bisa berjumpa ananda yang sedang nyantri yaitu Cut Zahara di Darul Muta’allimin (anak Dek Ton Sabang), Zahid di Pesantren Al-Manar (anak Ahmad Arfiza), dan ananda tersayang Rafidah Assa’adah di Dayah Insan Qurani.

Yang paling berkesan juga, baru kali ini Tim Abes mendapat kesempatan dinas luar satu tim, yang berkesempatan bekerja sama dan saling memahami dalam melaksanakan tugas. Tersedia juga waktu yang cukup di sela-sela dinas kami berbagi cerita tentang pilihan makanan, minuman, harapan-harapan, tentang keluarga, bahkan tentang jodoh. 

Satu catatan penting di akhir tulisan ini, kami mendapat “permohonan’ dari Daarut Tibyaan yang mengasuh sekitar 80 santri putra dan putri. Mereka menumpang dan menyewa tiga rumah di kawasan Jeulingke Banda Aceh. Adalah harapan besar pengelolanya kiranya mendapatkan tanah wakaf untuk membangun ma’had tahfidz yang representatif. 

Harapan lain  kiranya BMA terus menambah jumlah santri yang mendapatkan bantuan tahfidz dan ikut merencanakan program manajemen pasca tahfidz 30 juz. Tak cukup rasanya bekal ilmu yang diperoleh seorang hafidz yang hanya menghafal Al-Quran 30 juz. Mereka masih memerlukan bekal lain,  berupa penguasaan bahasa Arab dan pendalaman ilmu-ilmu Islam lainnya.

Tugas terakhir Tim Abes adalah membuat laporan dan membahas siapa saja santri yang lulus verifikasi dan mendapat beasiswa tahfidz BMA tahun 2023. Tidak berlebihan kiranya jika kami pun sempat menitipkan pesan kepada santri supaya rutin murajaah dan merawat hafalan.

Sebab kami menemukan fakta, hampir 30% santri yang kami verifikasi kurang lancar hafalannya akibat baru liburan dan memacu hafalan baru, sementara hafalan yang ada kurang diulang-ulang kembali.*

 

Sabtu, 22 Juli 2023

Sambil Wisata Sempatkan Menulis Berita

Oleh: Sayed Muhammad Husen  

Perjalanan ke Sabang kali ini niatnya memang untuk liburan. Selama liburan panjang bulan Juni dan Juli 2023, Rafidah,  belum kemana-mana, kecuali menjenguk Michik Syaribanun yang dirawat pada malam Hari Raya Idul Adha di Puskesman Trienggadeng. Tentu saja pulang kampung ini sekalian silaturrahmi Idul Adha. Saya mencari waktu yang tepat ke Sabang, sebab sebelumnya agak padat juga pekerjaan di kantor Baitul Mal Aceh (BMA), yang sedang mempersiapkan workshop pengelolaan wakaf se Aceh. 

Setelah mendapat izin tidak masuk kantor selama dua hari, Senin (17/7/2023) dengan menumpangi kapal Aceh Hebat (AH) 2 kami bertiga (Rafidah dan Ummi Rafidah)  menuju Sabang. Kabarnya, hari itu lautan Sabang sedang bergelombang besar, namun faktanya gelombangnya biasa-biasa saja. Kami menikmati perjalanan laut dengan mengambil tempat di lantai paling atas, berdekatan dengan kantin AH. Lama perjalanan laut sekitar dua jam.

Dari awal, kami sudah sampaikan kepada Macut Nurhayati di Balohan, bahwa malam pertama di Sabang kami tidak bermalam di rumahnya. Besoknya baru ke Balohan. Kami memilih penginapan yang agak spesial di  Bungalow Mata Ie Resort. Dengan diantar taxi dari Balohan, kami tiba di penginapan sekitar pukul 16.00 WIB. Biaya taxi Rp 50 ribu dan tarif kamar Rp 500 ribu. Biaya tiket kapal AH dari Ulee Lheu - Balohan Rp 35 ribu per orang.

Tak ada agenda khusus sore hingga malam hari. Kami hanya mengisinya dengan shalat berjamaah, ngobrol, membaca, foto-foto, dan menikmati indahnya suasana pinggir pantai. Saya termasuk orang yang menyukai suara deru ombak, itu pula yang menjadi alasan memilih tempat ini. Sebelumya,  dalam dinas ke Sabang dua tahun  lalu bersama Shafwan dan Hayatullah, kami memilih menginap di tempat ini. “Kita akan ulangi lagi bersama keluarga ke sini,” kata Shafwan, ketika itu.

Kami mendapat kabar, bahwa pagi hari itu Pj Gubernur Achmad Marzuki menghadiri Rapat Kerja (Raker) Bank Aceh di Mata Ie Resort. Saya pun mencari informasi dari Humas Setda Aceh sebagai data untuk menulis berita Raker tersebut. Saya mengirimkannya ke redaksi juangnews.com di Bireuen. Judul beritanya begini: “Penjabat Gubernur Minta Bank Aceh Jadi Motor Penggerak Pembangunan”. 

Saya kutip di sini sebagian berita itu: “Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, meminta segenap pimpinan Bank Aceh menjadikan bank milik pemerintah Aceh tersebut menjadi motor penggerak utama pembangunan.  Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Kerja Bank Aceh Triwulan ke II Tahun 2023, yang dilangsungkan di Sabang, Senin, (17/07/2023).

Saat ini, kata Achmad Marzuki masih banyak masyarakat, utamanya yang tinggal di perkampungan yang tidak mengenal Bank Aceh. Tak salah jika kemudian sebagian masyarakat terjerat pinjaman online atau pinjol.  Untuk itu, keberadaan Bank Aceh harus menyentuh ke seluruh pelosok daerah.”

Adalah hal yang “menyenangkan” juga ternyata rombongan Bank Aceh masih makan malam di restoran bungalow yang disertai live musik. Kami ikut menikmati musik gratis tersebut dari jarak sekitar 100 meter saja. Saya katakan pada Rafidah dan istri, andai saja tak ada agenda Bank Aceh, maka suasananya cukup sepi, sebab masa liburan dan ramainya Sabang sudah berakhir hari Ahad kemarin.

Malam itu, saya sama sekali belum berpikir bahwa ada tamu yang tidak suka dengan suara musik. Dari identitas penampilan tamu di sebelah kami, saya bilang pada istri, kemungkinan besar adalah beraliran Salafi. Saya melihat mereka shalat berjamaah Ashar dan Maghrib di teras bungalow. Ternyata benar adanya, besok pagi saya tahu benar tamu Salafi, yaitu ketika saya berjumpa dengan Ustaz Harits Abu Naufal. Katanya,  ada pengajian dua hari dengan syeikh dari Jakarta. 

Pagi hari, setelah shalat subuh berjamaah, kami merencanakan untuk menanti terbitnya matahari, mengabadikannya, sambil ngobrol, serta membicarakan hal-hal yang menguatkan keluarga dan masa depan pendidikan Rafidah. Termasuk membicarakan rencana jadwal dan rute perjalanan wisata dan silaturrahim hari itu. Saya pun mengontak sahabat M Thahir Abdulllah (Ketua MPC PPP Sabang dan Bustamin (jurnalis).     

Ada hal yang agak mengejutkan ketika sarapan pagi Selasa 18/7/2023 pukul 07.30 WIB di restoran hotel, saya berjumpa dengan Prof Al Yasa Abubakar, berikutnya dengan Prof Dr Syahrizal Abbas dan Dr M Yasir Yusuf. Mereka bertiga adalah Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) Bank Aceh. Padahal malamnya saya sama sekali tak terpikir mereka ikut menghadiri Raker Bank Aceh. 

Saya mengenal Prof Al Yasa sejak baru pulang dari menyelesaikan S3 di UIN Yogyakarta tahun 1988. Beliau salah seorang narasumber kami di LDK Forum Silaturrahmi Mahasiswa (Fosma) USK, selanjutnya kami satu organisasi di Muhammadiyah Aceh, dan sejak 2004 bersama-sama di Baitul Mal Aceh (BMA). Beliau menjabat sebagai Ketua DPS BMA sejak 2004 hingga sekarang.

Demikian juga saya mengenal Prof Syahrizal sebagai narasumber tentang hukum Islam, sama-sama bergabung di MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) dan terakhir di LEPADSI (Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam). Ketika menjabat Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, kami pernah berkonsultasi dengan beliau tentang pengelolaan dan pengembangan wakaf. Saya ingat pesan beliau ketika itu, “Selain penting melakukan pendataan wakaf, lakukan juga pemetaan potensi ekonomi apa yang dapat dikembangkan pada setiap tanah wakaf itu.”

Saya mengenal Dr M Yasir sebagai aktivis dakwah dan pernah menjadi Ketua Iskada (Ikatan Siswa Kader Dakwah)  yang sekretariatnya ketika itu di kompleks Masjid Raya Baiturrahman. Saya sendiri pernah mengikuti kursus pidato Iskada tahun 1986. Yasir juga Ketua DPS KSPPS Baitul Qiradh Baiturrahman, sementara saya anggota pengawas. Yasir kemudian juga menjadi penceramah tetap di Masjid Raya Baiturrahman tentang ekonomi Islam.    

Setelah sarapan pagi, kami melihat-lihat lingkungan Mata Ie Resort, namun Rafidah tak berniat mandi di kolam renang. Kami lebih memilih mandi laut di pantai depan bungalow, yang berjarak sekitar 300 meter dari hotel. Kebetulan sekali air laut sedang pasang naik, sehingga sangat cocok untuk mandi. Namun tak bisa lama-lama kami mandi, sebab hujan pun turun, disertai angin yang agak kencang. 

Sambil menunggu jemputan oleh Mudarris, kami menghabiskan waktu untuk ngobrol, membaca, menikmati makanan ringan, serta masing-masing mengakses internet. HP telah membuat kami “cukup sibuk” juga berkomunikasi dengan lawan bicara yang jauh, mengakses media sosial, dan merespon relasi melalui WhatsApp. Kadang kala mitra komunikasi “yang terdekat” terabaikan. Jadwal jemputan bergeser satu jam dari yang kami rencanakan pukul 11.00 WIB. 

Mudarris menjemput kami sekitar pukul 12.00 WIB. Kami pun memulai perjalanan melewati kota membeli oleh-oleh Sabang untuk teman Rafidah di dayah IQ (pesanan), untuk Syila, dan Muhammad. Lalu melanjutkan perjalanan silaturrahmi ke rumah Dek Ni di Pasiran. Kami “dipaksa” makan siang di sana, padahal sebelumnya kami merencanakan makan siang di pinggiran Danau Aneuk Laot. Saya ingin menikmati ikan mujair dari danau itu. Tapi barakallah, semoga Allah memberi berkah atas kenduri makan siang di rumah Dek Ni.

Selanjutnya kami menuju rumah Dek Bit di Aneuk Laot. Disana kami disajikan buah jamblang yang dipetik dari kebun di belakang rumahnya, yang disertai bumbu racikan sendiri. Nikmat sekali. Kami pun memesan buah jamblang dan bumbunya untuk dibawa pulang ke Lampanah, Indrapuri. Tidak berlama-lama di sini, kami menuju Jaboi dengan melawati jalan  Paya Seunara, Cot Klah, Paya Keunekai, Keunekai, Beurawang, hingga sampai di Jaboi di rumah Dek Mas.  

Cukup lama juga saya tak pernah melewati rute ini, padahal ketika tinggal di Sabang (1970-1985) termasuk sering ke Jaboi, Beurawang, dan Keunekai. Pernah juga membantu ayah bekerja di proyek pembangunan jalan di Paya Seunara dan mengikuti perkemahan Pramuka di Beurawang. Beberapa kawan SMP tinggal di sana. Saya masih ingat Mukhtar, Mahdi dan Sabari. Sementara bagi Rafidah dan istri justru baru pertama kali melewati keliling Sabang melalui pantai barat ini.

Dalam perjalanan ini, saya sempatkan singgah di Pantai Pasir Putih, Paya Keunekai. Pantai ini cukup terkenal pada tahun 80-an dan tahun-tahun selanjutnya. Ramai dikunjungi wisatawan karena pantainya yang indah dan pasir putih yang lembut. Saya bersama Kanda H Miswar Sulaiman pernah menjadi juru kampanye Partai Ummat Islam (PUI) di pinggir pantai ini tahun 1999. Hari itu, saya ingin melihat kembali dari dekat potensi wisata pantai Pasir Putih, serta  peluang pengembangannya. 

Menurut informasi Bustamin yang bertemu di lokasi pantai, pada musim liburan baru-baru ini, pantai Pasir Putih ramai didatangi pengunjung dari berbagai daerah. Namun saya menyaksikan fasilitas wisata yang ada saatnya direnovasi. Untuk ini,  tak bisa diharapkan semata-mata inisiatif warga setempat, sebab penghasilan mereka juga terbatas. Tak punya cukup uang membangun fasilitas baru. Perlu dukungan Pemko Sabang atau BPKS.     

Sekitar 20 menit kami berada di Pasir Putih, sambil minum kopi (sementara Rafidah dan Umminya memesan rujak Aceh), saya mendapatkan informasi, bahwa sikap masyarakat juga belum begitu siap dalam melayani wisatawan. Masih diperlukan sosialisasi dan edukasi wisata rakyat (syariah) sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat. Sementara dari segi potensi lokasi cukup menarik untuk dipasarkan (dipromosikan).

Pada kesempatan itu, saya juga menggunakan kesempatan berbicara dengan Bustamin tentang media, sebab dia seorang wartawan media online, yang sebelumnya saya kenal ketika kampanye PUI tahun 1999, lalu dia bergabung dengan GAM, dan berjumpa kembali setelah Aceh damai tahun 2005. Saya katakan, sebagai wartawan harus terus belajar dan menjaga integritas. Jangan meminta berita dibayar, namun boleh mengajak mitra memasang iklan atau pariwara. 

Sesampai di Jaboi, selain silaturrahmi dengan keluarga Dek Mas, menjelang sore dan akan meneruskan perjalanan ke Balohan sekitar empat kilometer lagi, kami masih sempat mandi air panas dan mengunjungi keluarga Bang Adnan yang juga di Jaboi. Kami juga memesan kue bakpia Sabang yang diproduksi di Jaboi. Silaturrahmi ke Jaboi memang sudah sejak lama kami niatkan, namun setelah 12 tahun Dek Mas tinggal Jaboi baru sempat mengunjunginya. Demikian juga dengan Bang Adnan yang pernah ada yang sakit, ada undangan pesta, dan ada yang meninggal, baru sempat takziah kali ini. 

Sementara itu, kemajuan sektor wisata di Jaboi adalah beroperasinya pemandian air panas, yang sebelumnya pemandian serupa cukup terkenal di Keunekai. Menurut Bustamin, lokasi mandi air panas di Keunekai tak beroperasi lagi, sebab sumber airnya sudah digunakan untuk konsumsi rumah tangga, tentu saja setelah proses penyaringan. Saya menyempatkan mandi air panas di Jaboi. Biaya masuk lokasi dan parkir cukup murah, hanya Rp 5 ribu. Namun sore itu kami mendapat fasilitas gratis, sebab masuk komplek pemandian bersama Dek Ton, “asoe lhok” Jaboi. Kami juga menikmati mie siap saji di kantin komplek pemandian.     

Sekitar pukul 18.00 WIB kami tiba di rumah Macut Nurhayati di Jrong,  Balohan. Agenda utama malam hari adalah panggang ikan. Ikannya sudah dibeli Mudarris sejak pagi hari. Kami rencana membakarnya bersama-sama pada malamnya, namun karena pertimbangan akan hujan lagi, Macut berinisiatif membakar ikan lebih awal. Akhirnya kami hanya “meuramin” atau makan malam bersama dengan ikan bakar yang siap disajikan.

Tak ada agenda lain pada malam itu. Kami hanya membicarakan hal-hal ringan tentang sejarah hidup keluarga besar Tgk M Husein Puteh di Sabang tahun 70-an, tentang Macut yang telah bercucu di Sabang, dan rencana pernikahan Mudaris dan Masrul bin Jafaruddin di Lhokseumawe dalam waktu dekat. Saya juga mengabarkan sahabat M Thahir Abdullah bahwa mungkin lagi jumpa dan ngopi malam itu.    

Rabu 19/7/2023  pukul 12.00 WIB kami kembali ke Banda Aceh dengan kapal BRR. Sebelum berangkat,  kami masih sempat memesan salak Balohan melalui Maimun bin Lidan. Kami juga masih ada sisa waktu berjumpa lagi di Balohan dengan Dek Mas yang datang dari Jaboi, Dek Bit dari Aneuk Laot, dan keluarga Samsul yang tinggal berdekatan dengan Macut. Yang tak sempat jumpa kali ini adalah Dek Ton di Iboh dan Rahmawati. 

Sebagai kenangan, saya titipkan novel sejarah Presiden Syafruddin untuk anak Dek Bit, yang mulai masuk SMA. Saya jadi teringat masa-masa di Sabang yang tidak mudah membeli buku, harus memesannya di Banda Aceh. Semoga cucu-cucu Macut suka membaca, walaupun jumlah bacaannya terbatas. Hanya dengan membaca generasi masa depan akan lebih berkualitas. 

Alhamdulillah sekitar pukul 16.00 WIB kami tiba kembali di Lampanah.  Semoga liburan dan silaturrahmi ke Sabang menjadi energi baru dalam mengisi hari-hari produktif selanjutnya. Semoga pula Rafidah tambah semangat belajar sebagai santri dayah IQ.

Terima kasih untuk Macut Nurahayati, Mudarris A Rahman, dan semuanya di Sabang yang telah menerima dengan hangat kehadiran kami. Mohan doa, semoga dalam waktu yang tak terlalu lama, kami bisa kembali lagi ke Sabang, tentu dengan agenda yang berbeda.*

 

Sabtu, 27 Mei 2023

Catatan Takziah ke Sabang

Mengunjungi Rumah Mantan Gubernur GAM, Ternyata Anaknya Inong Balee

Oleh: Sayed Muhammad Husen 

Saya bersama istri melakukan perjalanan takziah ke Sabang dengan menggunakan transportasi laut Aceh Hebat 2, Jumat (18/5/2023). Saya katakan perjalanan takziah, sebab sudah cukup lama menyimpan rencana mengunjungi atau takziah beberapa keluarga dan sahabat dekat yang telah lama meninggal. Bahkan, ada yang meninggal tahun 2020. Dalam rentang waktu itu hingga hingga sekarang memang saya sempat tiga kali ke Sabang dalam rangka tugas dan liburan sekolah, namun tak cukup waktu untuk takziah.

Untuk memudahkan bergerak di sana, sekaligus menguji “kekuatan fisik”, saya menggunakan sepeda motor. Biaya tiket penyeberangan sepeda motor ditambah dua penumpang Rp 103 ribu. Dengan perjalanan tidak sampai dua jam dan laut yang tenang, kami tiba di rumah Macut Nurhayati (Cut Ti) di Balohan, sekitar pukul 14.15 WIB. Di sana, kami merencanakan rute dan rumah-rumah yang akan kami kunjungi satu persatu.

Di rumah Cut Ti kebetulan sedang berkumpul anak-anaknya: Rahmawati, Dek Bit, Dek Ni, dan Dek Mas. Ada juga Mudarris yang memang tinggal bersama Cut Ti, dan Samsul beserta istrinya yang tinggal bersebelahan rumah. Mereka sedang mengadakan syukuran makan siang bersama atas kelancaran perjalanan Cut Ti pulang kampung ke Trienggadeng baru-baru ini. Kami pun ikut menikmati kenduri siang itu.    

Setelah shalat Ashar, kami memulai takziah ke rumah almarhum Tgk Abdurrahman bin Abdullah di Blang Tunong Balohan. Kami berjumpa dengan istri dan dua anaknya (salah satunya bernama Rahmad), serta ziarah ke kuburan almarhum di samping rumahnya. Tgk Badurrahman adalah adik lating sekolah, sedangkan ayahnya Tgk Abdullah sahabat seperjuangan ayah ketika pertama kali datang berkebun di Sabang tahun 60-an. Ketika itu, ayah masih usia remaja. Rahmad mengatakan, sehari-hari dia bekerja melanjutkan usaha ternak ayam yang dirintis ayahnya, sebab usaha itu sudah mapan dan mendapat pelanggan khusus. Lagi pula tak ada pesaing bisnis serupa.

Kami melanjutkan silaturahim  ke rumah Macut (istri Abu Cut Lidan), Idris, Idrus, dan Maimun yang juga beralamat di Blang Tunong. Masih di lokasi yang tidak berjauhan, kami takziah ke rumah almarhumah Cut Rohana yang meninggal tahun 2020. Anaknya, Cut Agam dan M Ikhbal, juga baru meninggal. Kami berjumpa dengan anak Cut Rohana yang perempuan (Sri), karyawan kantor Camat Sukajaya di Balohan, yang sedang jualan bakso di Mata Ie. Sementara anak Cut Rohana yang satu lagi (Yus) sedang mengantar anak berobat ke dokter gigi. Kami kembali ke rumah Cut Ti menjelang Maghrib. Tak ada kegiatan khusus pada malam hari.

Hubungan kami dengan keluarga Cut Rohana hampir seperti saudara. Selain suaminya, Hasbi Kadir, sama-sama asal Trienggadeng, tetanga dekat di Balohan, saya juga beberapa tahun bermalam di rumahnya sepulang dari pengajian. Saya tidur satu kamar dengan kerabat Hasbi Kadir yang tinggal di sana, yaitu Usman. Kadang-kadang malam hari kami nonton televisi di rumahnya. Akibat begitu sering di rumah, sehinga dengan anak-anaknya, M Ikhbal, Ferry, dan Dek Yus, kami sudah seperti kakak beradik.    

Sementara agenda Jumat (19/5/2023) sejak pagi kami bersilaturrahim ke rumah Bang Ali dan istrinya (Salma) di sebelah rumah Cut Ti. Bang Ali sudah lama berobat akibat strok.  Sehari-hari dia harus menggunakan kursi roda. Istrinya juga tak bisa kemana-mana lagi, sebab mengalami gangguan ingatan, sementara fisiknya tetap sehat. Kami lanjutkan takziah dengan jalan kaki ke rumah almarhum Zakaria, yang berjarak 400 meter dari rumah Cut Ti. Zakaria adalah abang leting sekolah, tetangga dekat, dan teman sepergaulan ketika sekolah di Balohan.

Kemudian, kami mengunjungi sahabat Usman Hasyim di Mata Ie yang sakit beberapa waktu lalu. Dia baru saja dirawat di RS selama delapan  hari dengan keluhan kurang sehat lambung dan tingginya kolestrol. Istrinya juga sering kurang sehat. Usman bekerja sebagai PNS pada KUA Sukajaya, Balohan, tidak jauh dari rumahnya. Dulu, kami satu kelas sekolah sejak SD, sama-sama ikut training PII  dan pengajian tilawah Al-Quran di Masjid Babussalam selama tiga tahun. Cukup lama juga saya menginap di rumah Usman di Mata Ie sepulang dari pengajian (malam). Setelah Shubuh baru pulang ke rumah, sebab lokasi pengajian yang berjauhan dengan tempat tinggal kami di Jrong, Balohan.   

Berikutnya, kami melakukan perjalanan takziah ke rumah Abu Thaleb (Abdul Muthalib), keuchik Balohan dan mantan gubernur GAM Sabang. Kami sama-sama pernah mengikuti training PII di Balohan tahun 1981 dan Mental Training di Aneuk Laot 1982. Dia lama bekerja sebagai PNS pada Kantor Camat Sukajaya dan kantor Lurah Jaboi. Di rumahnya di dusun Ulee Krueng (dekat kantor camat lama), kami berjumpa dengan anaknya, Maulida Rahmi, yang juga baru kami tahu pernah ikut pelatihan Inong Balee di kawasan Siron. Ada juga anak almarhum, Rahmat, tamat SMK dan penah kuliah di teknik informatika.

Saya sempat menanyakan pada Maulida, apakah diajak ayahnya ikut bergabung dengan GAM? Benar, katanya. Namun dia tak memberitahukan ibunya. Dia menyebut, pernah latihan di wilayah  Siron, Aceh Besar,  hanya saja tak sempat selesai sebab konflik Aceh mulai memuncak. Mereka harus berpencar. Saya tanyai lagi, apakah sekarang bergabung dengan PA? “Saya tak minat lagi. Sudah capek berjuang. Ternyata akhirnya tak sama-masa merasakan hasilnya. Sebagian sudah kaya, sebagian lagi hidup tak dapat apa-apa,” ujarnya.  

Hari Terakhir

Ini adalah hari terakhir kami di Sabang, sebab besok Sabtu siang harus kembali ke Indrapuri, Aceh Besar. Walaupun  belum seluruhnya bisa dikunjungi akibat sakit atau keluarga yang meninggal, kami perlu juga menyempatkan diri untuk “wisata” dan menikmatai indahnya alam Kota sabang. Jadi pilihannya, sore hari hingga malam kami agendakan shalat Maghrib di Masjid Babussalam, menikmati sunset di Paradiso, makan malam di pinggir laut, serta ngopi di The Sagoe. Dalam perjalanan  ke kota kami sempatkan takziah ke rumah almarhum Ridwan di Alue Tho, Balohan, yang berjarak hampir satu kilometer dari rumah Cut Ti.   

Dalam agenda terakhir di The Sagoe ikut bergabung teman sekolah (Imran), host TVRI yang kebetulan sedang di Sabang (Musyu) dan anak Abucut Lidan, Maimun dan istrinya, yang masih bulan madu. Malam itu, kami lebih banyak membahas Sabang masa-masa  freeport (1970-1985) dan membandingkannya dengan kondisi sekarang. Masing-masing era tentu saja ada plus minus, peluang dan tantangannya.    

Sekitar pukul 23.00 kami kembali ke rumah Cut Ti di Balohan. Sepanjang jalan dari Jalan O Surapati ke Jrong Balohan terlihat beberapa tempat lampu penerang jalan tidak menyala. Bahkan dari pendakian Cot Abeuk hingga tanjakan semen Balohan terasa gelap sekali. Sungguh tak mendukung Sabang sebagai kota wisata. Bagi saya yang mengidap phobia gelap, keadaan ini cukup “menakutkan”, tak akan berani saya pulang sendirian malam-malam begini.  Saya katakan pada istri, bukankah pembayaran biaya lampu jalan sudah ditanggung oleh warga setiap bulan.

Sabtu pagi, (20/5/2023) kami masih menyempatkan diri mengunjungi senior Pelajar Islam Indonesia (PII) Kanda Hanafiah di Balohah, yang kondisinya juga kurang sehat. Silaturrahim ini menyegarkan kembali ingatan kami pada masa-masa training PII di Sabang (1981-1984) dan pembentukan pertama kali kepengurusan Remaja Masjid Babussalam Balohan (sekarang Masjid Syuhada), yang diketuai Azhari Usman. Sebagai formaturnya adalah Lurah Ismail Taher, Ketua Komisariat PII Balohan Hanafiah, Pegawai kantor Camat Ridwan, dan saya sendiri. 

Selain takziah dan silaturrahim sempat juga berjumpa dengan senior Abbas Jafar sekalian saya menyerahkan hadiah buku Khatib News, berjumpa kawan PII Ibrahim Daud, dan Istri Bang Yan Kana. Sempat juga silaturrahin dengan teman sekolah Yuswar, Iskandar A Rahman, M Ali (sekarang jualan ikan), dan Wak Yan (Wayan) Alue Tho. Di rumah Wayan, duku kami sering bermain bersama kawan-kawan sekolah dan panen buah kedondong.

Sementara waktu luang di rumah Cut Ti kami mendengarkan kisah hidup masa-masa sulit di Balohan, seperti pernah mengalami banjir bandang tahun 70-an, makan sering tanpa ikan, dan bekerja sebagai tukang panen cengkeh. Ada juga obrolan tentang kekuasaan Allah membuktikan bahwa kehidupan ini tak selama pahit, yang penting rajin berusaha dan yakin Allah Maha Pemberi Rezeki.

Kami kembali ke Ulee Lheu dengan kapal BRR yang berangkat pukul 12.00 WIB. Yang menarik, ketika sampai di pelabuhan Balohan, dihampiri seseorang yang menanyakan apakah kami sudah punya tiket kapal. Saya tanyakan berapa harganya. Dia sebut angka Rp 103 ribu. Sama persis dengan harga tiket ketika dari Ulee Lheu ke Balohan. Saya setuju dan saya serahkan uang Rp 105 ribu. Dia bilang tak ada kembalian Rp 2 ribu. Saya ikhlas, sebab saya pikir akan bantu membeli tiket kapal.

Ketika waktunya dipersilakan memasuki pelabuhan untuk menaiki kapal, dia katakan, bahwa  nanti di pintu pemeriksaaan sebut saja nama dia (bukan nama lengkap). Baru saya sadari,  ternyata dia tak beli tiket. Saya ikhlas dan yakin saja lancar. Begitu melewati petugas, saya menyebut nama tadi, kami diperbolehkan masuk. Saya bilang pada istri, itulah bangsa ini yang belum tertib. Kita tak tahu uang itu mengelir kemana saja, walaupun jumlahnya tak seberapa. Dan memang di dalam kapal pun tak ada pemeriksaan tiket.

Kami tiba di Ulee Lheu pukul 14.00 dengan kondisi laut yang cukup tenang, lalu shalat Dhuhur di Masjid Baiturrahim Ulee Lheu, makan siang di warung nasi Lampaseh Aceh, dan masih sempat beli cendol di halaman BSI (eks BNI 46). Alhamdulillah kami  sampai di rumah Lampanah setelah Ashar. Tak lupa mengabarkan ke Cut Ti, bahwa kami sudah sampai di rumah dengan selamat.*

Selasa, 16 Mei 2023

Dari Protes Walikota Hingga Ditangkap Laksus

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Setelah training LBT di Balohan (1981) dan Mental Training di Aneuk Laot (1982) dibentuklah secara resmi Pengurus Daerah  Pelajar Islam Indonesia (PD PII)  Sabang yang diketuai T Zakaria Al-Bahri. Saya sendiri diamanahi jabatan Wakil Ketua Departemen Humas. Sebelumnya, tak diketahui apakah pernah ada PD PII  atau tidak, yang pasti terdapat beberapa senior alumni atau Keluarga Besar (KB)  PII di sana seperti T Darwin, Soni Ishak, Ramli Yus, Sanusi Harun, Burhan Husin, Baihaqi Juned, dan lain-lain. 

Ketika awal aktif dan mengikuti rapat-rapat PD PII Sabang yang berkantor di Bakaran Batu, saya masih kelas I SMA yang datang jauh-jauh dari Balohan (sekitar 10 kilometer dengan transportasi yang kurang lancar). Jadi tak selalu bisa hadir rapat, kecuali ada agenda penting seperti menjadi panitia aneka lomba dalam rangka peringatan Hari Bangkit (HARBA), peringatan hari-hari besar Islam, dan pelaksanaan training PII pada setiap bulan Ramadhan. 

Selain T Zakaria Al-Bahri, beberapa personalia PD PII yang masih saya ingat cukup aktif misalnya Johan S, Tarmizi, Bahagia, dan Zainuddin. Banyak nama tak saya ingat lagi. Saya akan melengkapi data tulisan ini dengan mewawancarai beberapa sahabat PII di Sabang, sebelum tulisan ini menjadi buku. Tentu saja sebagian sahabat telah lebih awal mendapat panggilan dari Allah Swt, termasuk Johan S yang ketika itu bekerja di Kejaksaan Sabang.   

Kegiatan PD PII Sabang yang cukup menonjol adalah pelaksanaan training PII tingkat dasar dan mental. Berturut-turut training berlangsung (1981-1984), yaitu di Balohan, Aneuk Laot, Paya Seunara, dan Bakaran Baru. Tidak kurang 500 kader telah dibai’at melalui training ini, walaupun yang sampai menjadi PW PII Aceh hanya saya sendiri. Banyak kader PII terampil bekerja di sektor pemerintahan, politik, dan wiraswasta, namun ada juga yang menjadi mustadh’afin (fakir dan miskin). 

PD PII Sabang sukses menyelenggarakan peringatan HARBA setiap tahun melalui aneka lomba, seperti lomba pidato, puitisasi Al-Quran, tilawatil Quran, deklamasi, drama, dan lain-lain. Saya sendiri tak pernah absen mengikuti lomba pidato dan memperoleh juara satu tingkat Kota Sabang, semetara juara dua dan tiga adalah Abdul Latif (sekarang panitia banding pada Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Bustamam (meninggal dalam tsunami tahun 20004).  Salah satu faktor bisa juara pidato karena banyak bacaan dan referensi. Ketika itu, saya berlangganan Majalah Panji Masyarakat (Panjimas), juga mendapat dukungan pelatih seperti Ustaz Saleh Syamaun dan Ramli Yus. 

Satu hal cukup berkesan dan menegangkan PD PII Sabang adalah adanya rencana pembangunan gereja baru di sekitaran Tektok, dengan cara membeli rumah dan menjadikannya sebagai tempat ibadah. Sementara dari lokasi yang tidak berjauhan telah ada dua gereja besar yang dibangun sejak masa kolonial Belanda. Kami segera melakukan rapat dan sepakat menyampaikan protes kepada Walikota Husein Main, disertai ancaman jika tak digubris akan ada pengerahan massa. Ternyata, walikota merespon positif saran PII.  

PD PII Sabang mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Hal ini dilihat dari dukungan terhadap pelaksanaan training, mendaftarkan anak sebagai peserta, menyediakan konsumsi training, serta menampung peserta di rumah-rumah mereka. Masyarakat Sabang yang dapat dikatakan makmur, seringkali menyumbang (infak) untuk seksesnya berbagai kegiatan PII di dalam dan luar kota, misalnya biaya transportasi menghadiri undangan PII pada tingkat provinsi dan nasional. Masyarakat Sabang merasakan manfaat PII, sebab berhasil mendidik anak-anak mereka dekat dengan agama, taat beribadah, dan terampil dalam bermasyarakat.   

Dukungan Walikota Yusuf Walad dan pengusaha sekaligus politisi Golkar T Darwin cukup optimal. Hampir setiap kegiatan,  panitia pelaksana pasti tersisa utang, karena itu, tempat yang paling tepat mengadu dan memohon untuk melunasi utang-utang panitia adalah Walikota dan KB PII, T Darwin.  Begitulah PII sebagai anak umat, sukanya bikin kegiatan, sementara biayanya dari kantong umat. 

Komisariat FKIP 

Saya tak sempat menyelesaikan kepengurusan di PD PII Sabang, sebab harus melanjutkan studi pada Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling (BK) FKIP USK (1985). Saya diterima sebagai mahasiswa FKIP melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), tanpa melalui test masuk. Semangat untuk kuliah dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi tentu saja salah satu motivasi yang kami peroleh dari instruktur dan pengurus PII. 

Mahasiswa FKIP yang terdiri dari belasan prodi banyak juga yang pernah mengikuti training PII seperti Amrul Syah, Muhammad Yamin (korban konflik Aceh di Kandang Lhokseumawe), Siti Aminah, Malawati, dan lain-lain. Melalui rapat di Musallah FKIP Jalan Inong Balee (1986), kami sepakat membentuk Pengurus Komisariat PII FKIP dengan ketua sahabat Amrul Syah (mahasiswa Prodi Bahasa Inggris). Banyak sahabat PII memanggilnya Dek Am, asal Samadua, Aceh Selatan. Saya mendapat jabatan sebagai Ketua Bidang Ekstern.

Langkah awal yang kami lakukan adalah mendata kawan-kawan PII di FKIP dan legalitas dari PD PII Perguruan Tinggi.  Selain itu, membangun komunikasi dan silaturahmi dengan KB PII yang ada di kampus, USK (Unsyiah) dan UIN (IAIN) Ar-Raniry. Beberapa dosen berasal dari kader PII, misalnya T Syarif Alamuddin, Hasballah Saad, Zulkifli Amin, M Munir Azis, Azhari Murtadha, Husaini Ismail, dan Rusjdi Ali Muhammad.

Berikutnya, kami menyelenggarakan Seminar Sehari Tentang Pendidikan di Aula Balatkop Jalan P Nayak Makam, yang dibuka langsung oleh Rektor USK Prof dr Abdullah Ali. Saya dipercayakan sebagai ketua panitia pelaksana. Yang membuat agak “sedih”, hari itu saya meninggalkan ayah di rumah kost di Jeulingke, yang datang jauh-jauh dari Sabang. Begitulah aktivis, yang harus mengutamakan tanggungjawab bersama dibandingkan kepentingan pribadi dan keluarga.

PK PII FKIP juga menyelenggarakan LBT sebagai sarana rekrutmen kader. Ketika itu, saya belum banyak kenal KB PII, kantor pemerintah, dan perusahaan swasta untuk menyampaikan proposal permohonan dana untuk membiayai training. Beruntung sekali, Dek  Am, memang sudah duluan “merantau” dan banyak relasi di Banda Aceh. Atas jasa Dek Am pula saya sering diajak menjumpai donatur (munfik) dan memperkenalkan tokoh dan pengurus PII di Banda Aceh. Hampir dua tahun saya “didampingi” Dek Am keliling kota.

Dalam rentang waktu dua tahun, PK PII FKIP berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mahasiswa yang mengikuti training, perhatian dosen, dan popularitas PII dikalangan organisasi lainnya seperti HMI, Senat Mahasiswa, dan LDK FOSMA. Kader PII FKIP sering terlibat dalam berbagai kegiatan PD PII Perguruan Tinggi dan PW PII Aceh. Bahkan, lebih dominan PII FKIP ketika menghadiri peringatan HARBA dan pelantikan pengurus PII di Anjong Mon Mata, misalnya.   

PD PII Perguruan Tinggi 

Setelah menyelesaikan amanah kepemimpinan di PK PII FKIP, saya berkesempatan menjadi PD PII Perguruan Tinggi (PD PT) periode 1987-1988, dengan jabatan Ketua Bidang Ekstern. Kemudian setelah reshuffle kepengurusan, saya menjadi Ketua Bidang Pembinaan Masyarakat Pelajar (PMP).  Ketuanya Edwar M Dahlan (mahasiswa FT USK, hilang dalam tsunami tahun 2004) dan Sekretaris Zaki Fuad Chalil (mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry).  Wilayah kerja PD PT mencakup seluruh perguruan tinggi di Banda Aceh. 

PD PT adalah satu-satunya PD PII di Indonesia yang anggotanya mahasiswa dan berbasis kampus, sementara PD PII lain seluruhnya berbasiswa pelajar.  Ini adalah ijtihad Aceh, yang menurut M Munir Azis (almarhum mantan anggota DPRA dan Ketua DPW Syarikat Islam Aceh), memiliki pertimbangan tersendiri. Menurut dia, PD PT tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melatih dan membina mahasiswa, hanya perlu waktu empat tahun. Setelah itu mereka akan bekerja, lalu menjadi donatur atau “pembela” Islam di tempat kerja masing-masing. 

Sementara pembinaan pelajar dilakukan dari masa calon anggota (Maprata) tingkat SD hingga selesai kuliah S1 memerlukan waktu lebih 10 tahun baru memasuki dunia kerja. Demikian pula, menjadikan mahasiswa sebagai peserta training PII akan lebih efektif dalam penyerapan materi-materi pengkaderan. Dari hasil evaluasi training, diakui fanatisme dan militansi kader yang masuk PII sejak tingkat pelajar akan lebih baik dibandingkan mahasiswa. 

Prioritas program PD PT adalah menyelenggarakan training tingkat dasar dan mental. Bahkan, untuk meningkatkan kuantitas peserta training, PD PT membuat kebijakan training hanya berlangsung malam hari saja sampai waktu Subuh. Siang hari bisa digunakan waktu untuk kuliah. Kebijakan ini sempat menjadi perdebatan di kalangan instruktur dan PW PII Aceh, sebab dianggap tidak efektif dalam membentuk sikap dan prilaku peserta training. Kader dengan pola ini diyakini hanya cerdas intelektualitas, semantara kecerdasan emosional kurang terbentuk. 

PD PT juga menggerakkan pengajian Sabtuan di Musalla KIP di bawah “payung” Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA). FOSMA dibentuk oleh beberapa senior PII tahun 1985 seperti Saleh Miftahussalam, Farid Wajdi Ibrahim, dan Saifuddin A Rasyid dan lain-lain. Tahun 1987 FOSMA dihentikan kegiatannya oleh Rektor USK Ali Basyah Amin, karena ada peserta pengajian yang mengkritik rektor telah membuat mahasiswa USK syirik, akibat kurikulumnya yang tidak sesuai aqidah Islam. Akhirnya melalui rapat pleno PD PT saya dan sahabat M Adli Abdullah ditunjuk untuk meneruskan pengelolaan FOSMA.

Pada umumnya personalia PD PII PT dan KB PII menjadi instruktur, narasumber, dan pemakalah pada seminar-seminar yang diselenggarakan oleh PII dan organisasi lain. Banyak juga yang menjadi khatib, penceramah, dan bahkan menjadi dosen di USK dan UIN. Biasanya lepasan PD PT lebih siap menjadi calon ketua PW PII Aceh. Begitulah dampak dari PII yang intensif meningkatkan kapasitas SDM dan mendorong para kader menempuh pendidikan lebih tinggi. 

Sebagai aktivis PT PT yang sering datang ke Sekretariat PW PII Aceh, saya berkesempatan belajar informal dengan Kanda Mawardi Jamaluddin Tami (Sekum PW PII Aceh, hilang dalam tsunami Aceh tahun 2004) tentang administrasi PII  dan dengan beberapa senior lainnya. Sempat juga membantu beberapa kegiatan PW PII misalnya kegiatan seminar dengan narasumber Dr Muslim Ibrahim dan Drs Tgk H A Rahman Kaoy (1988). Sungguh berkesan saya mendapat “perintah” dari Kanda Saifuddin A Rasyid malam itu, “Sayed silakan tidur cepat, tak perlu kerja lagi, harus siap jadi moderator seminar besok.” Tentu saja kader harus siap menerima perintah ini.     

Menggawangi Kaderisasi PII

Saya mengikuti Musyawarah Wilayah (Muswil)  PII Aceh tahun 1988 dengan cara sembunyi-sembunyi di rumah kanda Abdullah Amin di kawasan Keutapang Dua, Aceh Besar, sebagai peserta utusan PD PT. Ketika itu,  terpilih Farid Wajdi Ibrahim sebagai ketua dan saya terpilih sebagai anggota formatur. Sebagai formatur tentu saja boleh memilih jabatan ketua bidang (pengurus harian) yang diharapkan. Namun sahabat formatur lebih melihat saya tepat pada posisi Ketua Bidang Kaderisasi. 

Sejak Muswil itu PII di Aceh sudah merasakan kegiatannya dilarang, namun organisasinya tidak dibubarkan oleh pemerintah, sehingga strategi yang dipilih semua kegiatan “dakwah” PII tidak lagi menggunakan label PII. Salah satu “cover” yang digunakan adalah Yayasan Kesejahteraan Pelajar Daerah Aceh (Yakpida), yang dipimpin Zulkarnaen Gamal. 

Sebenarnya tahun 1987 adalah batas akhir PII menyesuaikan diri dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan, sampai akhirnya PII dan Ikatan Pemuda Marhaen (IPM) tidak mendaftar di Kementerian Dalam Negeri sebagai ormas kepemudaan yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. 

Karena itu, periode PW PII Aceh yang dipimpin Farid Wajdi Ibrahim praktis tak ada lagi pelantikan, seremonial, dan publikasi. Semua peran dan kiprah PII berlangsung di “bawah tanah”. Artinya, bisa saja kontennya PII, namun penyelengara program dan kegiatan bukan lagi PII, bisa saja Yakpida, Rohis (Studia Islamica, TPCA, Remaja Dakwah, Forum Komunikasi Remaja Muslim dan lain-lain), organisasi mahasiswa, paguyuban daerah, dan yang lebih dominan adalah Remaja Masjid. 

Ketika menjabat sebagai Kabider PW PII Aceh, saya sudah bertempat tinggal di Sekretariat PW PII Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 1 Banda Aceh. Hal ini pula yang memudahkan saya berinteraksi dan konsultasi dengan lebih banyak KB, yang dipandu oleh sahabat Amrul Syah dan anggota PW PII Aceh lainnya seperti Lukman, Zainal Ariffin, Murtadha Hadi, dan lain-lain. 

Pada periode ini, secara informal saya belajar banyak dari tokoh-tokoh PII seperti Kanda Miswar Sulaiman, Muhammad Yus, Alfian Husein Hitam, Zaini Zakaria Alwy, M Munir Azis, Mawardi Jamaluddin Tami, Zulkarnaen Gamal, Bismi Syamaun, Hasanuddin Yusuf Adan, A Malik Raden, AR Rasyidi, Ali Sabi, Ismaiel Syah, A Wahab Musa, Darwis SH, Iskandar Usman, Ameer Hamzah, Zulkifli Amin,  Saifuddin A Rasyid, M Nur Rasyid, dan lain-lain.  

Juga dengan deretan KB PII yang tinggal di Lambaro Skep seperti M Jakfar Puter, Jafaruddin Husin, Nazaruddin A Wahid, dan M Hasbi Amiruddin. Bahkan, ketika kekurangan beras di Sekretariat PII kami sering mendatangi mereka untuk meminta bantuan beras. Pada masa tertentu, rata-rata delapan hingga 13 orang juga sahabat PII makan siang di Sekretariat.    

Walaupun dalam tekanan penguasa, PII tetap menyelenggarakan training dan pembinaan pelajar, remaja, dan mahasiswa dengan berbagai cara. PW PII yang didukung PD PII Kota Banda Aceh dan PD PT masih dapat menyelenggarakan LBT, Mental Training, dan LAT tentu saja dengan jumlah peserta yang terbatas. PB PII masih bisa datang dari Jakarta dan memandu LAT, misalnya saya masih sempat mendampingi PB PII Abdul Baqir Zein dan Azwar Hasan. 

Setiap bulan Ramadhan dan liburan sekolah, saya harus “cuti kuliah” sebab lebih memilih tanggung jawab mengelola training dan pembinaan pelajar. Semangatnya ketika itu adalah, seperti kata Kanda M Munir Azis, PII boleh tidak ada tapi dakwah tak boleh berhenti. Saya menafsirkan dakwah yang dimaksud adalah kaderisasi harus tetap berlangsung walaupun dengan menggunakan nama lembaga lain. 

Dengan jabatan yang penting dan strategis di PW PII itu, saya berupaya maksimal menggawangi dan mengawal kaderisasi PII supaya tetap berlangsung dalam sistem yang telah disepakati secara nasional. Sehingga, saya sering berbeda pendapat dengan beberapa sahabat instruktur yang berupaya menambahkan muatan lokal secara berlebihan. 

Demikian juga saya sempat mengingatkan peserta SDPN Nasional (1990) di Jakarta, hendaknya kembali pada rumusan kaderisasi nasional. Tidak memaksakan konten militansi kader  yang dicontohkan gerakan lain di luar PII. Saya menghadiri SDPN berdua sahabat Zainal Arifin (mantan Wakil Walokota Banda Aceh), dengan fasilitas transportasi dan konsumsi gratis dari Kanda Darwis SH (PMTOH).  

Sungguh periode ini adalah puncak aktualisasi kekaderan di PII. Peran itu saya jalani dalam bentuk merancang, merencanakan, dan mengelola banyak training kader dan pembinaan masyarakat pelajar. Sesekali terpikir juga ingin tampil dan dikenal seperti aktivis organisasi lain, tapi itulah pilihan hidup, risiko menjadi aktivis bawah tanah seperti PII.                    

Ditangkap Laksus Lampineung

Bagian ini tak mudah menulis sejarahnya, sebab keterbatasan informasi dan “kepentingan eksternal” yang tak terbaca. Apalagi ketika itu (1992) kondisi sosial politik Aceh yang menakutkan akibat pemberlakuan DOM dan keberadaan PII yang secara formal dihentikan kegiatannya oleh pemerintah. Sementara pada sisi lain, PW PII Aceh dan PD PII masih menyelenggarakan training pengkaderan dan pembinaan masyarakat pelajar. 

Setelah menyelesaikan amanah periode PW PII Aceh di bawah kepemimpinan Farid Wajdi Ibrahim 1988-1990, saya menghadiri Muswil PII Aceh di Aula Iskandar Abdul Jalil, Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 1 Banda Aceh. Saya satu-satunya calon ketua yang bersaing dengan Saiful Bahri dalam Muswil yang dihadiri hanya belasan peserta itu. Akhirnya Saiful terpilih sebagai Ketua PW PII Aceh, sebab mendapat dukungan suara dari sahabat PII dengan latar belakang kuliah di UIN Ar-Raniry. Saiful sendiri mahasiswa PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN. 

Dalam kabinet Saiful, saya dipercayakan sebagai Ketua Bidang Ekstern dan Hubungan Masyarakat (Humas). Humas adalah nomenklatur baru pada jenjang kepengurusan PW PII, yang sebelumnya hanya dikenal Bidang Ekstern saja. Mungkin maksudnya supaya PII lebih banyak berinteraksi dengan berbagai komponen masyarakat dan bangsa, sementara dari segi publikasi media memang tak mungkin dilakukan lagi. Tak boleh ada berita tentang PII. Satu-satu media yang masih memuat berita PII: Majalah Suara Hidayatullah.   

Seperti periode sebelumnya, PW PII menyelenggarakan training dengan skala terbatas. Yang lebih sering, training formal berlangsung di Sekretariat PW PII. Selain itu, sahabat PW PII dan instruktur mengisi berbagai training informal dan kajian mingguan melalui berbagai kelompok pelajar yang dibentuk di sekolah-sekolah menengah atas di Banda Aceh. PII juga terus mengadakan Pesantren Kilat melalui organisasi Remaja Masjid.

Pada periode ini, mulai intensif pelaksanaan shalat berjamaah di Sekretariat PW PII Aceh disertai kuliah tujuh menit (Kultum), shalat sunat rawatib, dan kajian Islam. Saya merasakan adanya peningkatan spiritualitas yang lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini bisa terjadi sebab, Saiful dan Ilyas A Gani (Sekretaris Umum PW PII, hilang dalam tsunami di penjara militer Lhonga) adalah khatib dan guru pengajian yang dapat diandalkan oleh PII. Demikian juga dari segi interaksi PII Wati dengan PII Wan mulai lebih dibatasi, walaupun belum menggunakan konsep hijab (pembatas laki-laki dan perempuan).

PW PII Aceh memiliki hubungan yang baik dengan DDII Aceh dibawah pimpinan  H Ali Sabi SH, sehingga beberapa sahabat PII mendapat fasilitas mengikuti training dakwah DDII di Brastagi, Sumatera Utara. Demikian juga PW PII dan DDII banyak merekomendir sahabat PII yang melanjutkan studi S2 ke UIA Malaysia melalui fasilitas beasiswa. Yang menarik, PII tak diakui keberadaannya di dalam negeri, justru rekomendasi PII masih berlaku di luar negeri (Malaysia).

Di tengah kesibukan PII Aceh menyelenggarakan berbagai kegiatan, saya mendapat “undangan” yang diantar langusng oleh orang yang tak kami kenal. Ketika itu, 11 Agutus 1992 waktu Ashar,  saya baru pulang dari kampus dan sedang membuka sepatu untuk shalat ashar berjamaah di mushalla PW PII. Lalu undangan disodorkan, namun tak boleh dibuka dan katanya nanti nanti saja dibaca. Saya digiring ke dalam mobil jip yang telah parkir di halaman PW PII Aceh. 

Saya berpikir, ini penangkapan, sebab surat undangan tadi tak dibolehkan saya baca. Mereka tiga orang dengan sopir mengkonfirmasi dimana Saiful dan Ilyas. Tak bertanya lebih lanjut, mereka mendatangi tempat tinggal Saiful di Komplek Masjid Kopelma Darussalam yang sedang dibangun. Kebetulan Ilyas juga sedang ada di sana. Kami pun kemudian diangkut ke Laksus Lampineung, sekitar 5 kilometer dari Kopelma Darussalam.

Setiba di komplek Laksus, saya minta izin untuk shalat Ashar. Selatah itu, kami dimasukkan ke dalam sel seukuran 3 kali 4 meter. Sel itu berdebu, pertanda lama tak digunakan. Di lantai ada alas seperti papan tulis yang tak digunakan lagi. Tak begitu terlihat sebab gelap, tanpa lampu. Kami shalat Maghrib, Isya dan Shubuh berjamaah dengan tanpa air untuk wudhu. Kami harus tayamum. Inilah pengalaman pertama tayamum dan khusuknya shalat di “penjara”.  

Empat hari empat malam kami berada di Laksus Lampineung. Tak ada yang berani menanyakan dan mengunjungi kami di sana. Dengan satu baju di badan, kami menjalani pemeriksaan dan sebagian waktu untuk bersih-bersih lingkungan, mencabut rumput, dan membuang sampah. Kami dipindahkan ke ruang yang tak terkunci, seperti ruang sekolah. Kami istirahat di sana, disertai gigitan nyamuk. Banyak sekali nyamuknya. 

Kami “diperiksa” secara terpisah. Saya ditanyakan oleh intel Laksus Surya tentang aktivitas sehari-hari, jabatan, tanggungjawab di PII, kepengurusan PW PII, struktur organisasi, mekanisme pengambilan keputusan, pergaulan (pertemanan),  serta pandangan tentang Pancasila. Semuanya saya jawab dengan sopan dan rasional. Beberapa bagian Surya meminta saya menulisnya.

Setelah empat hari di Laksus, tepatnya 15 Agustus 1992, kami dibenarkan pulang dan “diperintahkan” mengikuti upacaya peringatan HUT Kemerdekaan RI di Blang Padang. Kami pikir yang paling penting bukan mengikuti upacaya, tapi mencari dan menemui Surya, Anton atau Komandannya (Justus Saleh) untuk membuktikan bahwa kami telah melaksanakan perintah mereka. Syukur kami bisa berjumpa. 

Setelah itu, seluruh anggota PW PII Aceh dan pengurus Yakpida dipanggil ke Laksus Lampineung, namun tidak sampai malam hari. Beberapa hari berlangung seperti itu, kami datang diwawancarai lalu pulang lagi. Dilanjutkan dengan wajib lapor setiap hari ke Korem T Umar di Jalan Ratu Safiatuddin (ketika itu belum terbentuk Kodam Iskandar Muda). Pembicaraan kasus ini dikalangan aktivis PII dan KB PII semakin menegangkan, mengingat kepemimpinan Orba Soeharto yang otoriter. 

Dalam pemanggilan lanjutan ke Laksus, saya sempat “diwawancarai” ulang oleh Komandan Justus Saleh. Dia menggali pandangan saya tentang Pancasila, satu hal yang agak mudah saya menjelaskannya, sebab tahun 1984 kami group SMAN 1 Sabang juara II Cerdas Cermat P4 tingkat pelajar se Aceh, tahun 1985 saya mengikuti Penataran P4 Pola 100 Jam di USK, dan tahun berikutnya mengikuti mata kuliah Pancasila dengan nilai lulus A. Saya merasa cukup memahami Pancasila.

Justus Saleh sempat marah-marah dan pukul meja ketika saya katakan, “Bahwa penyelewengan pemahaman Pancasila yang dilakukan oleh Soekarno menjadi Nasakom, justru yang meluruskannya adalah PII dan Angkatan Darat.” “Apa kamu bilang?”  hentak Justus. Saya katakan, “Itu sejarah yang mencatat.” Hari itu saya tak dibolehkan pulang sampai malam. Saya sempat khawatir dan takut juga. Akhirnya saya pulang berdua Justus. Dia menanyakan saya pulang ke mana. Saya bilang,  “Di Masjid Raya Baiturrahman.” Saya tak sebut lagi di Sekretariat PW PII. 

Suatu hari dalam “pembinaan” di Korem T Umar, saya, Saiful, Ilyas dan Imrana A Samad (Korwil PII Wati) dipanggil ke ruang Kasi Intel Ampi Rantanujiwa. Dia meminta kami menghentikan segala kegiatan PII. Bahkan, ketika itu dia mengatakan, “Kalian lebih baik saya tangkap selama saya dalam jabatan ini.  Saya pernah HMI. Saya tidak tahu bagaimana jika orang lain pada posisi saya.” 

Selama dalam pembinaan dan wajib lapor setiap hari di Korem selama dua bulan, kami diharuskan beraudiensi dengan KNPI, AMPI, dan FKPPI. Kami masih belum tahu, apa yang terjadi, mengapa kami harus berurusan dengan Laksus, mengapa pula ditanyai mendalam tentang Pancasila, dan mengapa harus mendengar ceramah kawan-kawan di OKP lain. Semantara kami adalah juga OKP yang punya hak konstitusional di Indonesia. 

Dalam situasi tertekan seperti tempo hari, tentu saja tak ada diskusi. Tak ada informasi dan analisis. Kami menyadari sedang berada pada era tanpa demokrasi dan kebebasan, apalagi Aceh yang sedang menyandang status DOM. Beberapa kawan dan kenalan malah ditangkap dan tak diketahui keberadaannya. Saya katakan pada Saiful ketika itu, “Kita sedang hadapi masalah dengan lawan, kita harus solid. Jangan bahas dulu hal-hal yang tidak penting.”

Dalam perjalanan ke kantor KNPI di Jambo Tape, Saiful sempat menanyakan kepada saya, siapa penyelusup dan pengkhianat di PII. Siapa yang membocorkan dokumen dan foto-foto aktivitas PII.  Untuk ini, saya minta Saiful tak membahasnya, fokus saja saja pada masalah yang sedang kita hadapi. Pada waktu yang tepat kita bisa pelajari dan meminta kawan-kawan bersumpah. Hal yang sama saya sampaikan pada Kanda Zulkarnaen Gamal dengan lebih tegas, “Cek Jol jangan ikut sebarkan fitnah. Tak ada pengkhianat di PII. Sebagai senior dan instruktur yang saya kagumi Cek Jol jangan termakan fitnah.” Kami berbicara empat mata di teras Masjid Raya Baiturrahman. 

Selanjutnya, PW PII Aceh benar-benar vakum, tak ada lagi kegiatan.  Saya masih tinggal di Sekretariat PW PII Aceh bersama sahabat Zulkarnaen Zamzami.  Ada juga Ridwan Amiruddin. Sampai sekarang, saya belum pernah konfirmasi ke Saiful dan Ilyas apakah mereka pernah menyerahkan stempel PW PII ke Kasi Intel Korem atau dia simpan dimana. 

Setelah dua bulan  berurusan dengan Laksus dan wajib lapor di Korem, kami pun belum dapat menganalisis mengapa kami semua ditangkap? Kami pun hanya menduga-duga saja. Tak ada lagi rapat PW PII dan KB PII untuk membahas kasus ini. Saya hanya sempat mendengar komentar Pak Ampi yang didengar Kanda M Jakfar Puteh (ketika audiensi PB Inshafuddin), bahwa “anak-anak itu, pinter-pinter, tapi entah kenapa mereka ikut PII.” Begitupun kata kandar Miswar Sulaiman mengatakan, “Menurut analisa intelijen, PII harus dihentikan, jika tidak, kader-kader PII akan turut mempercepat besarnya GAM.”

Bisa jadi informasi yang Kanda Miswar dengar ada benarnya, sebab penangkapan aktivis PII tidak terjadi pada PW PII lain di seluruh Indonesia, termasuk di Yogyakarta sebagai tempat berdirinya PII, 4 Mei 1947. Fakta memaang menunjukkan, bahwa  banyak kader PII di seluruh Aceh, sesuatu yang tak bisa dihindari, sebab dari segi jumlah anggota PII di Aceh lebih banyak dibandingkan daerah lain. Beberapa tokoh GAM pun PII seperti Hasan Muhammad di Tiro, Zaini Abdullah, Abdullah Syafi’i, dan Muzakir Manaf.             

Sebagai aktivis PII sejak PD PII di Sabang, saya berpikir PW PII dan PII sudah berakhir, karena itu sejak akhir tahun 1992 saya memutuskan bergabung dengan OKP lain, Pemuda Muhammadiyah, yang kantornya hanya berjarak 100 meter dari PW PII Aceh. Dengan demikian jenjang kepengurusan saya di PII pun harus berakhir, tak sempat lagi melanjutkan ke jenjang yang paling tinggi: PB PII di Jakarta.

Sumber: mediaaceh.com

 

Senin, 15 Mei 2023

Dari Latihan Mental Hingga Tawaran Revolusi

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Mengapa harus ikut training PII? Awalnya saya diajak menjadi peserta Leadership Basic Training Pelajar Islam Indonesia (LBT PII)  di Balohan, Sabang tahun 1981 oleh guru pengajian Al-Quran HIQQAH, Ustaz Abdullah Kaoy.

Karena guru pengajian yang mengajak, saya tak berani metolak.  Apalagi trainingnya berlangsung di kampung tempat saya tinggal. Saya mendaftar berdua sahabat dekat, Usman Hasyim (sekarang bekerja di Kemenag Sabang).

Ketika itu, Ustaz Abdullah mengatakan, training PII adalah latihan mental. Dia mengartikan dengan latihan keberanian. Saya pikir bagus juga, karena ketika itu sebagai  pelajar kelas 3 SMP saya belum berani-berani amat.

Ternyata,  ada benarnya juga LBT PII itu adalah latihan mental,  sebab di penghujung training seorang istruktur, Zaini Zakaria Alwy (almarhun terakhir Sekretaris Partai Ummat Islam Aceh) memaksa saya mengaku telah berbuat serong ketika pulang shalat berjamaah di masjid. Teman perempuan yang “dituduh” mengaku melakukanya dan bersedia dikeluarkan dari training. Zaini mengancam saya akan dikeluarkan dari training jika tak mengaku.

Saya masih ingat kalimat Ustaz Abdullah: PII untuk latihan mental. Saya pikir, inilah latihan mental atau keberanian saya sedang diuji. Saya harus berani mangatakan yang benar adalah benar.

Akhirnya sang instuktur memuji didikannya, karena tetap mempertahankan kejujuran. Tak pernah mengakui berbuat serong, sebab memang tak melakukannya. Sampai di sini, saya lupa nama sahabat perempuan yang mentalnya berhasil “dikalahkan” Kanda Zaini . Yang saya ingat terakhir dia tinggal di Ie Meule, Sabang.

Saya merasakan, dari hasil binaan PII melalui training yang dikenal unggul itu, saya berhasil menjadi Ketua OSIS SMAN 1 Sabang, sekaligus menjabat Wakil Ketua Departemen Humas Pengurus Daerah (PD)  PII Sabang, yang diketuai T Zakaria Al Bahri.

Beberapa instruktur LBT yang masih saya ingat di hari Harba PII KE 76 (4 Mei 1947 - 4 Mei 2023) adalah  A Wahab Musa, Mustafa Gelanggang, Cut Maneh, Surya Sulaiman, serta Zaini Zakaria Alwy. Merekalah guru-guru kami yang cukup berjasa di PII.

Simulasi Proses Peradilan

Setelah mengikuti LBT di Balohan 1981, saya melanjutkan ikut Mental Training (MT) di Aneuk Laot, Sabang, tahun 1982. Saya merasakan lebih banyak menyerap materi pada jenjang training ini, sebab telah menduduki jenjang pendidikan tingkat SLTA.

Dua instruktur utama kami ketika itu Darwis SH dan Iskandar Usman. Hadir  juga A Malik Raden dan Musdaruddin MS.

Satu hal yang tak kami sangka sebelumnya, Kanda Darwis SH "menggugat" panitia pelaksana training dan minta training dibubarkan. Dia menyampaikan berbagai alasan yang menguatkan training harus dibubarkan.

Tentu saja peserta keberatan dan mengajukan argumen supaya training dapat dilanjutkan. Namanya "anak training" tetap saja kalah logika dengan instruktur sekaliber Darwis SH.

Akhirnya atas protes peserta terhadap Kanda Darwis, dia sedikit mengalah dengan meminta pembelaan dari PD PII Sabang. Didatangkanlah panitia ke ruang training untuk menyampaikan alasan-alasan penolakan training dibubarkan.

Akibat debat panjang malam itu, seorang peserta pikirannya mulai agak kacau. Dia tak bisa lagi berpikir rasional.  Hebatnya, sahabat ini (Abdul Muthalib) belakangan menjadi gubernur GAM Sabang.  Terakhir almarhum menjadi Keuchik Balohan.  

Kanda Darwis menerima pembelaan PD PII dan diputuskan training dilanjutkan hingga akhir. Yang menarik, kami benar-benar tak tahu bahwa itu memang drama peradilan yang diciptakan oleh tim instuktur.

Mental training kali ini dianggap cukup bebobot, sebab dipandu oleh Kanda Iskandar Usman. Kesan kami, dia banyak membaca dan pengetahuan keislamannya cukup luas.

Selama training, saya tinggal di rumah warga, Tgk Ali, dekat sekali dengan mesin PLN. Saya tak bisa tidur sama sekali selama training akibat bisingnya suara mesin PLN. Besar sekali suaranya.

Setelah mental training, saya menjadi lebih percaya diri, lebih banyak lagi membaca, dan setiap lomba pidato dalam rangka Harba PII bisa menjadi juara.

Ikatan dan silaturrahmi kami dengan warga Aneuk Laot tetap terjalin pasca training. Salah satu buktinya, setiap kegiatan PII di Sabang dan luar daerah, kami mendapat sumbangan warga. Ada yang menyumbang berupa uang, ada juga dalam bentuk bunga cengkeh kering, lalu kami jual.

Begitulah training PII yang tidak hanya menambah ilmu, tapi juga memberi pengalaman proses peradilan  dan meningkatkan kekuargaan dengan warga desa.

Tentu saja setiap hari milad PII, kita mendambakan anak-anak kita juga sempat merasakan pembinaan mental oleh PII.

Training Tanpa Izin

Setelah mengikuti LBT dan Mental Training dua tahun berturut-turut, saya bertekad mengikuti jenjang training berikutnya, yaitu Leadership Advande Training (LAT) di Jeunieb tahun 1983.

PD PII Sabang  mengirimkan empat kader untuk mengikti LAT. Prosesnya harus mengikuti test dan ternyata kami tak lulus. Kami hendak segera kembali ke Sabang dengan rasa kecewa.

Namun atas bujukan Cek Jol (Zulkarnaen Gamal) dan instruktur lainnya kami bersedia mengikuti Mental Training sekali lagi. Cek Jol berjanji, kami akan mendapat perluan sebagai peserta istimewa, tanpa penjelasan apanya yang istimewa.

Saya ditempatkan oleh panitia pelaksana di rumah masyarakat di Desa Dayah Baro, Kecamatan Jeunieb, yang harus jalan kaki hampir dua kilometer ke lokasi training. Setiap malam setelah shalat tarawih kami diharuskan menyampaikan ceramah di meunasah.

Yang menarik, masyarakat Jeunieb sejak awal mengetahui  bahwa training PII se Sumatera itu tidak mendapat izin dari pemerintah. Kami mendapat kabar, sebagai bentuk protes warga, para keuchik berani menyerahkan stempel kepada camat, sebagai bentuk lebih mementingkan sukses training dibandingkan jabatan keuchik.

Saya benar-benar merasakan betapa militannya masyarakat Jeunieb. Kami pun menyampaikan ceramah Ramadhan lebih kritis dan oposan terhadap pemerintah. Seakan mendorong masyarakat untuk memperjuangkan kebenaran dan berlakunya Islam sebagai pandangan hidup (way of life) dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara dari segi penguasaan materi training, bagi kami beberapa peserta tidak menjadi fokus lagi, sebab terjadi pengulangan materi Mental Training sebelumnya. Namun kami mengakui, bahwa Mental Training kali ini lebih berbobot dibandingkan training sebelumnya di Sabang. Bisa jadi karena daya serap kami yang lebih baik, sebab sudah kelas 2 SMA dan referensi pun sudah lebih banyak.

Saya mencatat, instruktur ketika itu rata-rata memiliki jenggot kecil seperti Cek Jol, Maimun Juli, Abdulllah Athiby, beberapa yang lain. Dari merekalah saya mendapat motivasi untuk mempertahan jenggot hingga sekarang. Ketika itu, jenggot baru saja tumbuh satu-satu. Hanya dua kali saya sempat mencukur jenggot, yaitu ketika menikah tahun 1997 dan 2006 (pasca tsunami).

Akhirnya training PII se Sumatera di Jeunieb berlangsung sukses tanpa izin, walapun berlangsung dalam suasana was-was apakah akan dibubarkan oleh aparat atau Panitia Pelaksana ditangkap seperti Nazaruddin AW,  Darwis SH, Iskandar Usman, serta Mustafa A Glanggang.*  

Menjadi Instruktur Karbitan

Sebenarnya ingin cepat-cepat ikut LAT di Jeunieb tempo hari supaya bisa ikut Coaching Instruktur (CI). Menjadi instruktur adalah idaman kader PII sejak setelah mengikuti LBT. Instruktur adalah “pekerjaan” bergensi, sebab bisa melatih kader dan membina mereka komited terhadap Islam dan siap memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Saya mendambakan jadi instruktur, sebab sosok instruktur adalah orang-orang taqwa, cerdas, orang pilihan, serta intelek. Mereka taat beribadah, banyak membaca, berbicara dengan disertai banyak istilah ilmiah, dan tentu saja terampil berbicara di depan kelas dan di depan umum. 

Dengan tanpa diduga dan kehendak Allah Swt jua, pekan training PII di Bakaran Batu, Sabang, tahun 1984, kekurangan instruktur. Sementara instruktur yang dikirim oleh PW PII Aceh hanya satu dua orang saja dan yang bertahan hingga training berakhir adalah kanda T Hasanuddin Yusuf (TH). Sementara peserta training membludak dari tingkat Maprata hingga Mental Training.

Menghadapi kondisi training “tak normal” itu, kanda TH harus menyiapkan banyak instruktur secepat kilat. Kami yang telah mengukuti Mental Training setiap habis Ashar dicouching supaya siap menjadi instruktur. Begitulah berlangsung setiap hari, disertai meeting instruktur, dan evaluasi harian. Kami dibekali keterampilan mengelola lokal (kelas) dan menyajikan materi-materi dasar LBT.

Jika peserta punya waktu istirahat 2-3 jam setiap hari, namun bagi kami sama sekali tak punya waktu istirahat. Benar-benar mendapat tugas “dakwah” yang cukup padat. Harus disiplin waktu sambil membekali diri supaya mampu memenuhi target LBT. Akhirnya “tumbang” juga di malam bai’at, malam penutupan training. Saya merasa seakan baru kembali pulang memenangkan perjuangan menegakkan ajaran Islam bersama seluruh peserta training.

Alhamdulillah ketika training di Bakaran Batu, saya berhasil “mempengaruhi” ayah supaya mengirim adik perempuan (Nurmawati M Husen) sebagai peserta. Targetnya sederhana saja, supaya dia mengamalkan ajaran Islam dengan menutup aurat secara sempurna (berjibab) dan tidak meninggal shalat lima waktu. Dia tinggal sepekan di rumah Tgk Abdurrahman (ayahnya Albina). Sementara saya tinggal di rumah Ustaz Adam di Komplek LANAL.

Ada hal yang cukup berkesan selama tinggal rumah Ustaz Adam adalah, setiap hari di rumahnya berbuka puasa dengan kolak. Hal lain yang khas dari Ustaz Adam asal Aceh Tengah itu, dia bisa ceramah dalam format cerita bersambung (cerbung). Dia berkisah ibarat novel islami dengan menyelipkan pesan-pesan agama. Jamaah Meunasah Bakaran Batu benar-benar menunggu cerbung itu hingga tamat pada akhir Ramadhan.

Mengelola training dan ber-PII memang tak terpisah dari ikhtiar membangun ukhuwah islamiah, karena itu hingga sekarang masih terjalin silaturrahim dengan anak-anak Ustaz Adam, anaknya Tgk Abdurrahman (Albina, sebelumnya dengan Almarhum Takdir dan almarhumah Malahayati), dan pernah sama-sama dengan Kanda Dr T Hasanuddin dalam kepengurusan DPW BKPRMI Aceh.

Demikianlah kisah menjadi instruktur karbitan, namun dengan ilmu, dan pengalaman seorang kader seperti Kanda TH, training yang diikuti ratusan peserta itu bisa sukses. Bagitulah kader PII harus siap tandang ke gelanggang meski seorang.

CI Rasa Mental Training

Setelah mengikuti berbagai jenjang training, menjabat Wakil Ketua Departemen Humas PD PII Sabang, dan merasakan nikmatnya terlibat dalam berbagai program PII, saya hijrah ke banda Aceh tahun 1985. Tahun pertama di kuliah di Program Studi BK FKIP USK, atas saran senior, saya tak melibatkan diri dalam organisasi. Sebab harus beradaptasi dengan perbedaan pola belajar ketika di SMA dengan di perguruan tinggi.

Namun, sejak mengawali kuliah dengan kewajiban mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila (P4) Pola 100 Jam, sudah mulai terdeteksi kawan-kawan potensial yang memiliki latar belakang organisasi. Beberapa sahabat PII dari daerah memang unggul dalam dialog, diskusi, dan kerja kolompok menyelesaikan tugas-tugas penataran P4 itu.

Kegiatan training pertama yang saya ikuti selama di Banda Aceh adalah Coaching Instruktur (CI) di SD Lamnyong tahun 1987. Ketika itu, dibolehkan alumni Mental Training mengikuti CI, tak harus melewati LAT. Saat mengikuti CI saya sudah menjabat Ketua Bidang Ekstern Pengurus Komisariat (PK)  PII FKIP USK, yang diketuai sahabat Amrul Syah.

Seorang instruktur CI yang cukup populer dan “mendominasi” forum CI adalah M Nur Adami (Abu Nu).  Selama CI, kami lebih banyak membahas tentang aqidah, dinul Islam, dan ideologi Pancasila dibandingkan metodelogi training. Itu pula yang mengesankan CI rasa Mental Training.

Memang ada materi tentang filosofi training, tujuan, penjenjanjangan, pemahaman silabus, metoda, serta aplikasi dinamika kelompok dalam CI. Namun hampir setiap hari tetap saja muncul isu-isu keislaman aktual, sampai membahas perjuangan tokoh-tokoh Masyumi.

Terus terang setelah CI, saya belum bisa memutuskan bagaimana pandangan PII tentang Pancasila, walaupun Abu Nu seakan “menggiring” peserta anti Pancasila. Saya masih belum bisa menerima argumentasi yang membandingkan Islam dengan Pancasila secara ideologis.

Akhirnya saya mendiskusikan hal itu dengan tokoh PII Muhammad Yus (Abu Yus) dan KB PII lain. Ternyata PII tidak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai konsensus nasional. Yang menjadi masalah bagi PII adalah penguasa ketika itu menjadikan Pancasila sebagai way of life, seakan "agama" kedua setelah Islam.

Dengan memiliki pandangan seperti ini akan menjadi patron bagi calon instruktur yang telah mengikuti CI. Instruktur harus siap menghadapi jika ada peserta training yang pernah mengikuti training organisasi lain dan mendebatkan sikap kritis PII terhadap asas tunggal Pancasila.

Dengan telah mengikuti CI, saya semakin aktif di PII dan pada banyak kesempatan menjadi instruktur. Tentu saja target berikutnya, adalah bisa mendapat amanah sebagai koordinator instruktur (kordin) dalam suatu training.

Satu hal menjadi beban mental bagi alumni CI adalah diserahkan daftar bacaan wajib bagi seorang instruktur. Karena itu, saya harus banyak membaca, mengunjungi perpustakaan, dan menabung untuk bisa beli buku.

Jadilah instruktur yang taqwa, cerdas, intelek, serta mampu berdebat jika ditantang oleh lawan debat.

LAT Keumangan dan Kejutan Jubah Putih

Pada tahun yang sama (1987), setelah mengikuti CI, saya berkesempatan mengukuti LAT di Keumangan, Kabupaten Pidie. Inilah jenjang training yang ditungu-tunggu oleh banyak kader PII. Dengan selesai LAT dianggap telah diakui sebagai kader yang sempurna dari segi jenjang pengkaderan. Paling tidak dengan mengikuti LAT mendapat “peuneutoh” atau ijazah sebagai kader.   

Diantara peserta LAT yang saya ingat adalah Kak Nining (istri Prof Farid Wajdi Ibrahim) dan T Mursalin SH (sekarang notaris di Kabupaten Nagan Raya). Kami ditempatkan oleh panitia di rumah-rumah masyarakat yang lumayan jauh dari lokasi training, harus jalan kaki lebih dua kilometer.

Hal yang mengejutkan ketika training berlangsung dalam suasana tekanan penguasa untuk menerima asas tunggal adalah munculnya parade Jubah Putih di Sigli. Ketika itu, kami saling menerka dan membahas apa yang terjadi. Apakah ada kaitannya dengan kekuasaan rezim yang otoriter atau hanya protes terhadap maksiat dalam masyarakat. Jangan-jangan berdampak terhadap penghentian training PII.

Training PII terus berlangsung tanpa diskusi lebih lanjut tentang Jubah Putih. Bisa jadi hal ini terjadi karena kelihaian panitia dan instrusktur yang mengondisikan peserta supaya tetap konsentrasi mengikuti LAT dan training lainnya yang diselenggarakan terpadu. Kami tetap fokus mengikuti presentasi, diskusi, dan “debat” yang pada umumnya materinya terkait ideologi, politik, dan perjuangan umat Islam.

Saya terkesan sekali ketika materi dipandu oleh Kanda Miswar Sulaiman tentang Strategi Perjuangan Ideologi. Kami berdiskusi semalaman tanpa kata putus. Yang sangat alot adalah pilihan strategi, apakah memperjuangkan Islam dengan strategi evolusi atau revolusi. Kanda Miswar cukup sabar memandu debat itu, tanpa memihak sedikit pun. Sementara saya ketika itu menawarkan perlu dilakukan revolusi untuk memperjuangkan tegaknya Islam secara kaffah di Indonesia. Peserta lain menawarkan pendekatan evolusi.

LAT pun berakhir tanpa kendala dan mendapatkan dukungan masyarakat yang luar biasa. Begitulah training-training PII di tempat lain di seluruh Aceh: di Sabang dan di Jeunieb yang saya ikuti. Para peserta bisa tinggal di rumah-rumah masyarakat,  konsumsi dari masyarakat, dan mendapat “perlindungan” umat sepenuhnya. Karena itu, sebagai kader PII yang telah menyelesaikan jenjang LAT akan merasakan benar sebagai anak umat. Kata Kanda M Munir Azis, seorang kader tahu apa yang harus dia lakukan dan kerjakan dalam situasi apapun.  

Paksa PII Terima Asas Tunggal

Hal yang tak terlupakan setiap milad PII adalah pemaksaan asas tunggal oleh Orba Soeharto terhadap PII, termasuk PD PII Sabang.  

Ketika peringatan Sumpah Pemuda  tahun 1986 misalnya, Ketua Umum KNPI Pusat (yang terkoptasi kekuasaan)  sukses memaksakan asas tunggal terhadap PD PII Aceh Timur.

Apel serupa dilakukan di Sabang dengan target KB PII dan PD PII Sabang menerima asas tunggal. Peryataan dibuat tanpa stempel PD PII.  PW PII pun kemudian membekukan PD PII Sabang dan beberapa daerah lain.

Mantan PB PII,  Bismi Syamaun, memberi kesaksian, bahwa sehari sebelum PD PII Sabang meneken terima asas tunggal tahun 1987, sebagai  utusan PW PII Aceh dia diteror oleh oknum KB PII Sabang. 

Bismi Syamaun, dalam tugasnya PII ke Sabang,  malam-malam dipaksa pulang balik ke Banda Aceh dengan menggunakan bot, sebab kapal penyeberangan Balohan - Ulee Lheu baru ada pagi hari. Mereka tak menjamin keamanan dan keselamatan Bismi Syamaun dari penguasa ketika itu.

"Alhamdulillah dengan keberanian dan kesiapan mental Allah yarham Tgk Muhammad Husen Puteh, saya bisa istirahat malam itu di rumahnya. Pagi esok hari saya pulang ke Banda Aceh dengan membawa stempel PD PII  Sabang yang telah dibekukan," kata Bismi.

Apel Sumpah Pemuda di Sabang dan daerah lain dibarengi pernyataan penerima asas tunggal berlangsung sepihak. Demikian pula langkah pembekuan beberapa PD PII se Aceh dilakukan oleh PW PII Aceh, telah mengurangi tekanan rezim terhadap PII ketika itu.

Demikian contoh peran seorang kader yang telah ditempa PII, sejak dari training LBT hingga LAT, dari kepemimpinan pada tingkat paling bawah, Komisariat PII hingga PB PII di Jakarta. Kita mendambakan lebih banyak lagi kader PII yang siap berjuang menegakkan ideologi Islam dalam kehidupan pribadi, berbangsa dan bernegara.

Sumber: mediaaceh.com

 

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...