Oleh: Sayed Muhammad Husen
Setelah training LBT di Balohan (1981) dan Mental Training di Aneuk Laot
(1982) dibentuklah secara resmi Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Sabang yang diketuai T Zakaria Al-Bahri. Saya
sendiri diamanahi jabatan Wakil Ketua Departemen Humas. Sebelumnya, tak
diketahui apakah pernah ada PD PII atau tidak, yang pasti terdapat
beberapa senior alumni atau Keluarga Besar (KB) PII di sana seperti T
Darwin, Soni Ishak, Ramli Yus, Sanusi Harun, Burhan Husin, Baihaqi Juned, dan
lain-lain.
Ketika awal aktif dan mengikuti rapat-rapat PD PII Sabang yang berkantor di
Bakaran Batu, saya masih kelas I SMA yang datang jauh-jauh dari Balohan
(sekitar 10 kilometer dengan transportasi yang kurang lancar). Jadi tak selalu
bisa hadir rapat, kecuali ada agenda penting seperti menjadi panitia aneka
lomba dalam rangka peringatan Hari Bangkit (HARBA), peringatan hari-hari besar
Islam, dan pelaksanaan training PII pada setiap bulan Ramadhan.
Selain T Zakaria Al-Bahri, beberapa personalia PD PII yang masih saya ingat
cukup aktif misalnya Johan S, Tarmizi, Bahagia, dan Zainuddin. Banyak nama tak
saya ingat lagi. Saya akan melengkapi data tulisan ini dengan mewawancarai
beberapa sahabat PII di Sabang, sebelum tulisan ini menjadi buku. Tentu saja
sebagian sahabat telah lebih awal mendapat panggilan dari Allah Swt, termasuk
Johan S yang ketika itu bekerja di Kejaksaan Sabang.
Kegiatan PD PII Sabang yang cukup menonjol adalah pelaksanaan training PII
tingkat dasar dan mental. Berturut-turut training berlangsung (1981-1984),
yaitu di Balohan, Aneuk Laot, Paya Seunara, dan Bakaran Baru. Tidak kurang 500
kader telah dibai’at melalui training ini, walaupun yang sampai menjadi PW PII
Aceh hanya saya sendiri. Banyak kader PII terampil bekerja di sektor
pemerintahan, politik, dan wiraswasta, namun ada juga yang menjadi mustadh’afin
(fakir dan miskin).
PD PII Sabang sukses menyelenggarakan peringatan HARBA setiap tahun melalui
aneka lomba, seperti lomba pidato, puitisasi Al-Quran, tilawatil Quran, deklamasi,
drama, dan lain-lain. Saya sendiri tak pernah absen mengikuti lomba pidato dan
memperoleh juara satu tingkat Kota Sabang, semetara juara dua dan tiga adalah
Abdul Latif (sekarang panitia banding pada Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Bustamam
(meninggal dalam tsunami tahun 20004). Salah satu faktor bisa juara pidato
karena banyak bacaan dan referensi. Ketika itu, saya berlangganan Majalah Panji
Masyarakat (Panjimas), juga mendapat dukungan pelatih seperti Ustaz Saleh
Syamaun dan Ramli Yus.
Satu hal cukup berkesan dan menegangkan PD PII Sabang adalah adanya rencana
pembangunan gereja baru di sekitaran Tektok, dengan cara membeli rumah dan
menjadikannya sebagai tempat ibadah. Sementara dari lokasi yang tidak berjauhan
telah ada dua gereja besar yang dibangun sejak masa kolonial Belanda. Kami
segera melakukan rapat dan sepakat menyampaikan protes kepada Walikota Husein
Main, disertai ancaman jika tak digubris akan ada pengerahan massa. Ternyata,
walikota merespon positif saran PII.
PD PII Sabang mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Hal ini dilihat
dari dukungan terhadap pelaksanaan training, mendaftarkan anak sebagai peserta,
menyediakan konsumsi training, serta menampung peserta di rumah-rumah mereka.
Masyarakat Sabang yang dapat dikatakan makmur, seringkali menyumbang (infak)
untuk seksesnya berbagai kegiatan PII di dalam dan luar kota, misalnya biaya
transportasi menghadiri undangan PII pada tingkat provinsi dan nasional.
Masyarakat Sabang merasakan manfaat PII, sebab berhasil mendidik anak-anak
mereka dekat dengan agama, taat beribadah, dan terampil dalam
bermasyarakat.
Dukungan Walikota Yusuf Walad dan pengusaha sekaligus politisi Golkar T
Darwin cukup optimal. Hampir setiap kegiatan, panitia pelaksana pasti tersisa utang, karena
itu, tempat yang paling tepat mengadu dan memohon untuk melunasi utang-utang
panitia adalah Walikota dan KB PII, T Darwin. Begitulah PII sebagai anak
umat, sukanya bikin kegiatan, sementara biayanya dari kantong umat.
Komisariat FKIP
Saya tak sempat menyelesaikan kepengurusan di PD PII Sabang, sebab harus
melanjutkan studi pada Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling (BK) FKIP USK
(1985). Saya diterima sebagai mahasiswa FKIP melalui jalur PMDK (Penelusuran
Minat dan Kemampuan), tanpa melalui test masuk. Semangat untuk kuliah dan
menempuh pendidikan yang lebih tinggi tentu saja salah satu motivasi yang kami
peroleh dari instruktur dan pengurus PII.
Mahasiswa FKIP yang terdiri dari belasan prodi banyak juga yang pernah
mengikuti training PII seperti Amrul Syah, Muhammad Yamin (korban konflik Aceh
di Kandang Lhokseumawe), Siti Aminah, Malawati, dan lain-lain. Melalui rapat di
Musallah FKIP Jalan Inong Balee (1986), kami sepakat membentuk Pengurus
Komisariat PII FKIP dengan ketua sahabat Amrul Syah (mahasiswa Prodi Bahasa
Inggris). Banyak sahabat PII memanggilnya Dek Am, asal Samadua, Aceh Selatan.
Saya mendapat jabatan sebagai Ketua Bidang Ekstern.
Langkah awal yang kami lakukan adalah mendata kawan-kawan PII di FKIP dan legalitas
dari PD PII Perguruan Tinggi. Selain
itu, membangun komunikasi dan silaturahmi dengan KB PII yang ada di kampus, USK
(Unsyiah) dan UIN (IAIN) Ar-Raniry. Beberapa dosen berasal dari kader PII,
misalnya T Syarif Alamuddin, Hasballah Saad, Zulkifli Amin, M Munir Azis,
Azhari Murtadha, Husaini Ismail, dan Rusjdi Ali Muhammad.
Berikutnya, kami menyelenggarakan Seminar Sehari Tentang Pendidikan di Aula
Balatkop Jalan P Nayak Makam, yang dibuka langsung oleh Rektor USK Prof dr Abdullah
Ali. Saya dipercayakan sebagai ketua panitia pelaksana. Yang membuat agak “sedih”,
hari itu saya meninggalkan ayah di rumah kost di Jeulingke, yang datang
jauh-jauh dari Sabang. Begitulah aktivis, yang harus mengutamakan tanggungjawab
bersama dibandingkan kepentingan pribadi dan keluarga.
PK PII FKIP juga menyelenggarakan LBT sebagai sarana rekrutmen kader.
Ketika itu, saya belum banyak kenal KB PII, kantor pemerintah, dan perusahaan
swasta untuk menyampaikan proposal permohonan dana untuk membiayai training.
Beruntung sekali, Dek Am, memang sudah duluan “merantau” dan banyak
relasi di Banda Aceh. Atas jasa Dek Am pula saya sering diajak menjumpai
donatur (munfik) dan memperkenalkan tokoh dan pengurus PII di Banda Aceh.
Hampir dua tahun saya “didampingi” Dek Am keliling kota.
Dalam rentang waktu dua tahun, PK PII FKIP berkembang pesat. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah mahasiswa yang mengikuti training, perhatian dosen, dan
popularitas PII dikalangan organisasi lainnya seperti HMI, Senat Mahasiswa, dan
LDK FOSMA. Kader PII FKIP sering terlibat dalam berbagai kegiatan PD PII Perguruan
Tinggi dan PW PII Aceh. Bahkan, lebih dominan PII FKIP ketika menghadiri peringatan
HARBA dan pelantikan pengurus PII di Anjong Mon Mata, misalnya.
PD PII Perguruan Tinggi
Setelah menyelesaikan amanah kepemimpinan di PK PII FKIP, saya berkesempatan
menjadi PD PII Perguruan Tinggi (PD PT) periode 1987-1988, dengan jabatan Ketua
Bidang Ekstern. Kemudian setelah reshuffle kepengurusan, saya menjadi Ketua
Bidang Pembinaan Masyarakat Pelajar (PMP). Ketuanya Edwar M Dahlan
(mahasiswa FT USK, hilang dalam tsunami tahun 2004) dan Sekretaris Zaki Fuad
Chalil (mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry). Wilayah
kerja PD PT mencakup seluruh perguruan tinggi di Banda Aceh.
PD PT adalah satu-satunya PD PII di Indonesia yang anggotanya mahasiswa dan
berbasis kampus, sementara PD PII lain seluruhnya berbasiswa pelajar. Ini
adalah ijtihad Aceh, yang menurut M Munir Azis (almarhum mantan anggota DPRA
dan Ketua DPW Syarikat Islam Aceh), memiliki pertimbangan tersendiri. Menurut
dia, PD PT tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melatih dan membina
mahasiswa, hanya perlu waktu empat tahun. Setelah itu mereka akan bekerja, lalu
menjadi donatur atau “pembela” Islam di tempat kerja masing-masing.
Sementara pembinaan pelajar dilakukan dari masa calon anggota (Maprata)
tingkat SD hingga selesai kuliah S1 memerlukan waktu lebih 10 tahun baru
memasuki dunia kerja. Demikian pula, menjadikan mahasiswa sebagai peserta
training PII akan lebih efektif dalam penyerapan materi-materi pengkaderan. Dari
hasil evaluasi training, diakui fanatisme dan militansi kader yang masuk PII
sejak tingkat pelajar akan lebih baik dibandingkan mahasiswa.
Prioritas program PD PT adalah menyelenggarakan training tingkat dasar dan
mental. Bahkan, untuk meningkatkan kuantitas peserta training, PD PT membuat
kebijakan training hanya berlangsung malam hari saja sampai waktu Subuh. Siang
hari bisa digunakan waktu untuk kuliah. Kebijakan ini sempat menjadi perdebatan
di kalangan instruktur dan PW PII Aceh, sebab dianggap tidak efektif dalam membentuk
sikap dan prilaku peserta training. Kader dengan pola ini diyakini hanya cerdas
intelektualitas, semantara kecerdasan emosional kurang terbentuk.
PD PT juga menggerakkan pengajian Sabtuan di Musalla KIP di bawah “payung”
Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA). FOSMA dibentuk oleh beberapa senior
PII tahun 1985 seperti Saleh Miftahussalam, Farid Wajdi Ibrahim, dan Saifuddin
A Rasyid dan lain-lain. Tahun 1987 FOSMA dihentikan kegiatannya oleh Rektor USK
Ali Basyah Amin, karena ada peserta pengajian yang mengkritik rektor telah
membuat mahasiswa USK syirik, akibat kurikulumnya yang tidak sesuai aqidah
Islam. Akhirnya melalui rapat pleno PD PT saya dan sahabat M Adli Abdullah
ditunjuk untuk meneruskan pengelolaan FOSMA.
Pada umumnya personalia PD PII PT dan KB PII menjadi instruktur,
narasumber, dan pemakalah pada seminar-seminar yang diselenggarakan oleh PII
dan organisasi lain. Banyak juga yang menjadi khatib, penceramah, dan bahkan
menjadi dosen di USK dan UIN. Biasanya lepasan PD PT lebih siap menjadi calon
ketua PW PII Aceh. Begitulah dampak dari PII yang intensif meningkatkan
kapasitas SDM dan mendorong para kader menempuh pendidikan lebih tinggi.
Sebagai aktivis PT PT yang sering datang ke Sekretariat PW PII Aceh, saya
berkesempatan belajar informal dengan Kanda Mawardi Jamaluddin Tami (Sekum PW
PII Aceh, hilang dalam tsunami Aceh tahun 2004) tentang administrasi PII
dan dengan beberapa senior lainnya. Sempat juga membantu beberapa kegiatan PW
PII misalnya kegiatan seminar dengan narasumber Dr Muslim Ibrahim dan Drs Tgk H
A Rahman Kaoy (1988). Sungguh berkesan saya mendapat “perintah” dari Kanda
Saifuddin A Rasyid malam itu, “Sayed silakan tidur cepat, tak perlu kerja lagi,
harus siap jadi moderator seminar besok.” Tentu saja kader harus siap menerima
perintah ini.
Menggawangi Kaderisasi PII
Saya mengikuti Musyawarah Wilayah (Muswil) PII Aceh tahun 1988 dengan
cara sembunyi-sembunyi di rumah kanda Abdullah Amin di kawasan Keutapang Dua,
Aceh Besar, sebagai peserta utusan PD PT. Ketika itu, terpilih Farid Wajdi Ibrahim sebagai ketua dan
saya terpilih sebagai anggota formatur. Sebagai formatur tentu saja boleh
memilih jabatan ketua bidang (pengurus harian) yang diharapkan. Namun sahabat
formatur lebih melihat saya tepat pada posisi Ketua Bidang Kaderisasi.
Sejak Muswil itu PII di Aceh sudah merasakan kegiatannya dilarang, namun
organisasinya tidak dibubarkan oleh pemerintah, sehingga strategi yang dipilih
semua kegiatan “dakwah” PII tidak lagi menggunakan label PII. Salah satu
“cover” yang digunakan adalah Yayasan Kesejahteraan Pelajar Daerah Aceh
(Yakpida), yang dipimpin Zulkarnaen Gamal.
Sebenarnya tahun 1987 adalah batas akhir PII menyesuaikan diri dengan UU
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan, sampai akhirnya PII dan Ikatan Pemuda
Marhaen (IPM) tidak mendaftar di Kementerian Dalam Negeri sebagai ormas
kepemudaan yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Karena itu, periode PW PII Aceh yang dipimpin Farid Wajdi Ibrahim praktis
tak ada lagi pelantikan, seremonial, dan publikasi. Semua peran dan kiprah PII
berlangsung di “bawah tanah”. Artinya, bisa saja kontennya PII, namun
penyelengara program dan kegiatan bukan lagi PII, bisa saja Yakpida, Rohis
(Studia Islamica, TPCA, Remaja Dakwah, Forum Komunikasi Remaja Muslim dan
lain-lain), organisasi mahasiswa, paguyuban daerah, dan yang lebih dominan
adalah Remaja Masjid.
Ketika menjabat sebagai Kabider PW PII Aceh, saya sudah bertempat tinggal
di Sekretariat PW PII Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 1 Banda Aceh. Hal ini pula
yang memudahkan saya berinteraksi dan konsultasi dengan lebih banyak KB, yang
dipandu oleh sahabat Amrul Syah dan anggota PW PII Aceh lainnya seperti Lukman,
Zainal Ariffin, Murtadha Hadi, dan lain-lain.
Pada periode ini, secara informal saya belajar banyak dari tokoh-tokoh PII
seperti Kanda Miswar Sulaiman, Muhammad Yus, Alfian Husein Hitam, Zaini Zakaria
Alwy, M Munir Azis, Mawardi Jamaluddin Tami, Zulkarnaen Gamal, Bismi Syamaun,
Hasanuddin Yusuf Adan, A Malik Raden, AR Rasyidi, Ali Sabi, Ismaiel Syah, A
Wahab Musa, Darwis SH, Iskandar Usman, Ameer Hamzah, Zulkifli Amin,
Saifuddin A Rasyid, M Nur Rasyid, dan lain-lain.
Juga dengan deretan KB PII yang tinggal di Lambaro Skep seperti M Jakfar
Puter, Jafaruddin Husin, Nazaruddin A Wahid, dan M Hasbi Amiruddin. Bahkan,
ketika kekurangan beras di Sekretariat PII kami sering mendatangi mereka untuk
meminta bantuan beras. Pada masa tertentu, rata-rata delapan hingga 13 orang
juga sahabat PII makan siang di Sekretariat.
Walaupun dalam tekanan penguasa, PII tetap menyelenggarakan training dan
pembinaan pelajar, remaja, dan mahasiswa dengan berbagai cara. PW PII yang
didukung PD PII Kota Banda Aceh dan PD PT masih dapat menyelenggarakan LBT,
Mental Training, dan LAT tentu saja dengan jumlah peserta yang terbatas. PB PII
masih bisa datang dari Jakarta dan memandu LAT, misalnya saya masih sempat
mendampingi PB PII Abdul Baqir Zein dan Azwar Hasan.
Setiap bulan Ramadhan dan liburan sekolah, saya harus “cuti kuliah” sebab
lebih memilih tanggung jawab mengelola training dan pembinaan pelajar.
Semangatnya ketika itu adalah, seperti kata Kanda M Munir Azis, PII boleh tidak
ada tapi dakwah tak boleh berhenti. Saya menafsirkan dakwah yang dimaksud
adalah kaderisasi harus tetap berlangsung walaupun dengan menggunakan nama
lembaga lain.
Dengan jabatan yang penting dan strategis di PW PII itu, saya berupaya
maksimal menggawangi dan mengawal kaderisasi PII supaya tetap berlangsung dalam
sistem yang telah disepakati secara nasional. Sehingga, saya sering berbeda
pendapat dengan beberapa sahabat instruktur yang berupaya menambahkan muatan
lokal secara berlebihan.
Demikian juga saya sempat mengingatkan peserta SDPN Nasional (1990) di
Jakarta, hendaknya kembali pada rumusan kaderisasi nasional. Tidak memaksakan
konten militansi kader yang dicontohkan gerakan lain di luar PII. Saya
menghadiri SDPN berdua sahabat Zainal Arifin (mantan Wakil Walokota Banda Aceh),
dengan fasilitas transportasi dan konsumsi gratis dari Kanda Darwis SH
(PMTOH).
Sungguh periode ini adalah puncak aktualisasi kekaderan di PII. Peran itu
saya jalani dalam bentuk merancang, merencanakan, dan mengelola banyak training
kader dan pembinaan masyarakat pelajar. Sesekali terpikir juga ingin tampil dan
dikenal seperti aktivis organisasi lain, tapi itulah pilihan hidup, risiko
menjadi aktivis bawah tanah seperti
PII.
Ditangkap Laksus Lampineung
Bagian ini tak mudah menulis sejarahnya, sebab keterbatasan informasi dan
“kepentingan eksternal” yang tak terbaca. Apalagi ketika itu (1992) kondisi
sosial politik Aceh yang menakutkan akibat pemberlakuan DOM dan keberadaan PII
yang secara formal dihentikan kegiatannya oleh pemerintah. Sementara pada sisi
lain, PW PII Aceh dan PD PII masih menyelenggarakan training pengkaderan dan
pembinaan masyarakat pelajar.
Setelah menyelesaikan amanah periode PW PII Aceh di bawah kepemimpinan
Farid Wajdi Ibrahim 1988-1990, saya menghadiri Muswil PII Aceh di Aula Iskandar
Abdul Jalil, Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 1 Banda Aceh. Saya satu-satunya calon
ketua yang bersaing dengan Saiful Bahri dalam Muswil yang dihadiri hanya
belasan peserta itu. Akhirnya Saiful terpilih sebagai Ketua PW PII Aceh, sebab
mendapat dukungan suara dari sahabat PII dengan latar belakang kuliah di UIN
Ar-Raniry. Saiful sendiri mahasiswa PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN.
Dalam kabinet Saiful, saya dipercayakan sebagai Ketua Bidang Ekstern dan
Hubungan Masyarakat (Humas). Humas adalah nomenklatur baru pada jenjang
kepengurusan PW PII, yang sebelumnya hanya dikenal Bidang Ekstern saja. Mungkin
maksudnya supaya PII lebih banyak berinteraksi dengan berbagai komponen
masyarakat dan bangsa, sementara dari segi publikasi media memang tak mungkin dilakukan
lagi. Tak boleh ada berita tentang PII. Satu-satu media yang masih memuat
berita PII: Majalah Suara Hidayatullah.
Seperti periode sebelumnya, PW PII menyelenggarakan training dengan skala
terbatas. Yang lebih sering, training formal berlangsung di Sekretariat PW PII.
Selain itu, sahabat PW PII dan instruktur mengisi berbagai training informal dan
kajian mingguan melalui berbagai kelompok pelajar yang dibentuk di
sekolah-sekolah menengah atas di Banda Aceh. PII juga terus mengadakan Pesantren
Kilat melalui organisasi Remaja Masjid.
Pada periode ini, mulai intensif pelaksanaan shalat berjamaah di Sekretariat
PW PII Aceh disertai kuliah tujuh menit (Kultum), shalat sunat rawatib, dan kajian
Islam. Saya merasakan adanya peningkatan spiritualitas yang lebih baik
dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini bisa terjadi sebab, Saiful dan Ilyas A
Gani (Sekretaris Umum PW PII, hilang dalam tsunami di penjara militer Lhonga)
adalah khatib dan guru pengajian yang dapat diandalkan oleh PII. Demikian juga
dari segi interaksi PII Wati dengan PII Wan mulai lebih dibatasi, walaupun
belum menggunakan konsep hijab (pembatas laki-laki dan perempuan).
PW PII Aceh memiliki hubungan yang baik dengan DDII Aceh dibawah
pimpinan H Ali Sabi SH, sehingga beberapa sahabat PII mendapat fasilitas
mengikuti training dakwah DDII di Brastagi, Sumatera Utara. Demikian juga PW
PII dan DDII banyak merekomendir sahabat PII yang melanjutkan studi S2 ke UIA
Malaysia melalui fasilitas beasiswa. Yang menarik, PII tak diakui keberadaannya
di dalam negeri, justru rekomendasi PII masih berlaku di luar negeri
(Malaysia).
Di tengah kesibukan PII Aceh menyelenggarakan berbagai kegiatan, saya
mendapat “undangan” yang diantar langusng oleh orang yang tak kami kenal.
Ketika itu, 11 Agutus 1992 waktu Ashar, saya baru pulang dari kampus dan
sedang membuka sepatu untuk shalat ashar berjamaah di mushalla PW PII. Lalu
undangan disodorkan, namun tak boleh dibuka dan katanya nanti nanti saja dibaca.
Saya digiring ke dalam mobil jip yang telah parkir di halaman PW PII
Aceh.
Saya berpikir, ini penangkapan, sebab surat undangan tadi tak dibolehkan saya
baca. Mereka tiga orang dengan sopir mengkonfirmasi dimana Saiful dan Ilyas.
Tak bertanya lebih lanjut, mereka mendatangi tempat tinggal Saiful di Komplek
Masjid Kopelma Darussalam yang sedang dibangun. Kebetulan Ilyas juga sedang ada
di sana. Kami pun kemudian diangkut ke Laksus Lampineung, sekitar 5 kilometer
dari Kopelma Darussalam.
Setiba di komplek Laksus, saya minta izin untuk shalat Ashar. Selatah itu, kami
dimasukkan ke dalam sel seukuran 3 kali 4 meter. Sel itu berdebu, pertanda lama
tak digunakan. Di lantai ada alas seperti papan tulis yang tak digunakan lagi.
Tak begitu terlihat sebab gelap, tanpa lampu. Kami shalat Maghrib, Isya dan
Shubuh berjamaah dengan tanpa air untuk wudhu. Kami harus tayamum. Inilah
pengalaman pertama tayamum dan khusuknya shalat di “penjara”.
Empat hari empat malam kami berada di Laksus Lampineung. Tak ada yang
berani menanyakan dan mengunjungi kami di sana. Dengan satu baju di badan, kami
menjalani pemeriksaan dan sebagian waktu untuk bersih-bersih lingkungan,
mencabut rumput, dan membuang sampah. Kami dipindahkan ke ruang yang tak
terkunci, seperti ruang sekolah. Kami istirahat di sana, disertai gigitan
nyamuk. Banyak sekali nyamuknya.
Kami “diperiksa” secara terpisah. Saya ditanyakan oleh intel Laksus Surya
tentang aktivitas sehari-hari, jabatan, tanggungjawab di PII, kepengurusan PW
PII, struktur organisasi, mekanisme pengambilan keputusan, pergaulan
(pertemanan), serta pandangan tentang Pancasila. Semuanya saya jawab
dengan sopan dan rasional. Beberapa bagian Surya meminta saya menulisnya.
Setelah empat hari di Laksus, tepatnya 15 Agustus 1992, kami dibenarkan
pulang dan “diperintahkan” mengikuti upacaya peringatan HUT Kemerdekaan RI di
Blang Padang. Kami pikir yang paling penting bukan mengikuti upacaya, tapi
mencari dan menemui Surya, Anton atau Komandannya (Justus Saleh) untuk
membuktikan bahwa kami telah melaksanakan perintah mereka. Syukur kami bisa
berjumpa.
Setelah itu, seluruh anggota PW PII Aceh dan pengurus Yakpida dipanggil ke
Laksus Lampineung, namun tidak sampai malam hari. Beberapa hari berlangung seperti
itu, kami datang diwawancarai lalu pulang lagi. Dilanjutkan dengan wajib lapor
setiap hari ke Korem T Umar di Jalan Ratu Safiatuddin (ketika itu belum
terbentuk Kodam Iskandar Muda). Pembicaraan kasus ini dikalangan aktivis PII
dan KB PII semakin menegangkan, mengingat kepemimpinan Orba Soeharto yang
otoriter.
Dalam pemanggilan lanjutan ke Laksus, saya sempat “diwawancarai” ulang oleh
Komandan Justus Saleh. Dia menggali pandangan saya tentang Pancasila, satu hal
yang agak mudah saya menjelaskannya, sebab tahun 1984 kami group SMAN 1 Sabang
juara II Cerdas Cermat P4 tingkat pelajar se Aceh, tahun 1985 saya mengikuti
Penataran P4 Pola 100 Jam di USK, dan tahun berikutnya mengikuti mata kuliah
Pancasila dengan nilai lulus A. Saya merasa cukup memahami Pancasila.
Justus Saleh sempat marah-marah dan pukul meja ketika saya katakan, “Bahwa
penyelewengan pemahaman Pancasila yang dilakukan oleh Soekarno menjadi Nasakom,
justru yang meluruskannya adalah PII dan Angkatan Darat.” “Apa kamu
bilang?” hentak Justus. Saya katakan, “Itu sejarah yang mencatat.” Hari
itu saya tak dibolehkan pulang sampai malam. Saya sempat khawatir dan takut
juga. Akhirnya saya pulang berdua Justus. Dia menanyakan saya pulang ke mana.
Saya bilang, “Di Masjid Raya
Baiturrahman.” Saya tak sebut lagi di Sekretariat PW PII.
Suatu hari dalam “pembinaan” di Korem T Umar, saya, Saiful, Ilyas dan
Imrana A Samad (Korwil PII Wati) dipanggil ke ruang Kasi Intel Ampi Rantanujiwa.
Dia meminta kami menghentikan segala kegiatan PII. Bahkan, ketika itu dia
mengatakan, “Kalian lebih baik saya tangkap selama saya dalam jabatan
ini. Saya pernah HMI. Saya tidak tahu bagaimana jika orang lain pada
posisi saya.”
Selama dalam pembinaan dan wajib lapor setiap hari di Korem selama dua
bulan, kami diharuskan beraudiensi dengan KNPI, AMPI, dan FKPPI. Kami masih
belum tahu, apa yang terjadi, mengapa kami harus berurusan dengan Laksus,
mengapa pula ditanyai mendalam tentang Pancasila, dan mengapa harus mendengar
ceramah kawan-kawan di OKP lain. Semantara kami adalah juga OKP yang punya hak
konstitusional di Indonesia.
Dalam situasi tertekan seperti tempo hari, tentu saja tak ada diskusi. Tak
ada informasi dan analisis. Kami menyadari sedang berada pada era tanpa
demokrasi dan kebebasan, apalagi Aceh yang sedang menyandang status DOM.
Beberapa kawan dan kenalan malah ditangkap dan tak diketahui keberadaannya.
Saya katakan pada Saiful ketika itu, “Kita sedang hadapi masalah dengan lawan,
kita harus solid. Jangan bahas dulu hal-hal yang tidak penting.”
Dalam perjalanan ke kantor KNPI di Jambo Tape, Saiful sempat menanyakan
kepada saya, siapa penyelusup dan pengkhianat di PII. Siapa yang membocorkan
dokumen dan foto-foto aktivitas PII. Untuk ini, saya minta Saiful tak
membahasnya, fokus saja saja pada masalah yang sedang kita hadapi. Pada waktu
yang tepat kita bisa pelajari dan meminta kawan-kawan bersumpah. Hal yang sama
saya sampaikan pada Kanda Zulkarnaen Gamal dengan lebih tegas, “Cek Jol jangan
ikut sebarkan fitnah. Tak ada pengkhianat di PII. Sebagai senior dan instruktur
yang saya kagumi Cek Jol jangan termakan fitnah.” Kami berbicara empat mata di
teras Masjid Raya Baiturrahman.
Selanjutnya, PW PII Aceh benar-benar vakum, tak ada lagi kegiatan. Saya masih tinggal di Sekretariat PW PII Aceh
bersama sahabat Zulkarnaen Zamzami. Ada juga Ridwan Amiruddin. Sampai
sekarang, saya belum pernah konfirmasi ke Saiful dan Ilyas apakah mereka pernah
menyerahkan stempel PW PII ke Kasi Intel Korem atau dia simpan dimana.
Setelah dua bulan berurusan dengan Laksus dan wajib lapor di Korem,
kami pun belum dapat menganalisis mengapa kami semua ditangkap? Kami pun hanya menduga-duga
saja. Tak ada lagi rapat PW PII dan KB PII untuk membahas kasus ini. Saya hanya
sempat mendengar komentar Pak Ampi yang didengar Kanda M Jakfar Puteh (ketika
audiensi PB Inshafuddin), bahwa “anak-anak itu, pinter-pinter, tapi entah
kenapa mereka ikut PII.” Begitupun kata kandar Miswar Sulaiman mengatakan,
“Menurut analisa intelijen, PII harus dihentikan, jika tidak, kader-kader PII akan
turut mempercepat besarnya GAM.”
Bisa jadi informasi yang Kanda Miswar dengar ada benarnya, sebab penangkapan
aktivis PII tidak terjadi pada PW PII lain di seluruh Indonesia, termasuk di
Yogyakarta sebagai tempat berdirinya PII, 4 Mei 1947. Fakta memaang
menunjukkan, bahwa banyak kader PII di
seluruh Aceh, sesuatu yang tak bisa dihindari, sebab dari segi jumlah anggota
PII di Aceh lebih banyak dibandingkan daerah lain. Beberapa tokoh GAM pun PII
seperti Hasan Muhammad di Tiro, Zaini Abdullah, Abdullah Syafi’i, dan Muzakir
Manaf.
Sebagai aktivis PII sejak PD PII di Sabang, saya berpikir PW PII dan PII
sudah berakhir, karena itu sejak akhir tahun 1992 saya memutuskan bergabung
dengan OKP lain, Pemuda Muhammadiyah, yang kantornya hanya berjarak 100 meter
dari PW PII Aceh. Dengan demikian jenjang kepengurusan saya di PII pun harus
berakhir, tak sempat lagi melanjutkan ke jenjang yang paling tinggi: PB PII di
Jakarta.
Sumber: mediaaceh.com