Oleh Sayed Muhammad Husen
Apakah benar selama ini
pengelola masjid hanya “menerima” dari jamaah, sementara pihak masjid kurang “memberi”
kepada jamaah? Tentu saja tidak seluruhnya benar. Namun demikianlah peserta
diskusi terfokus BKPRMI Aceh berharap pengelola masjid supaya lebih banyak “memberi”.
Memberi dalam bentuk pelayanan dan kegiatan. Diskusi berlangsung, Kamis, 7
September 2017 dengan topik “Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Masjid” di Aula
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Selama ini, pengelola masjid
telah memberi yang terbaik kepada jamaah dalam bentuk penyediaan fasilitas
ibadah, air yang cukup, listrik yang memadai, lantai masjid yang bersih, imam
yang hafidz, muazin bersuara merdu, serta khatib yang berbobot. Pengelola
masjid juga menyediakan fasilitas pengajian, TPA, peringatan hari-hari besar
Islam, bahkan mengorganisir qurban.
Lebih hebat lagi, misalnya, Masjid Al-Furqan Beurawe, memberi jamaah
dengan kegiatan tambahan berupa pengelolaan ZIS, simpan pinjam Baitul Qiradh,
hingga pelayanan anak yatim berkelanjutan. Tentu saja tak sebanding dengan
Pengurus Masjid Raya Baiturrahman yang memberi cukup banyak kepada jamaah dalam
bentuk fasilitas yang dapat dianggap mewah, program siaran radio, halaqah
maghrib dan shubuh, lembaga pendidikan Darussyariah, kuliah gratis Bahasa Arab,
tempat pernikahan, dan berbagai bentuk pelayanan lainnya.
Namun, tetap saja peserta diskusi
terfokus BKPRMI Aceh menuntut supaya pengelola
masjid memberi lebih banyak kepada jamaah. Misalnya, pengelola masjid hendaknya
memfasilitasi berbagai kegiatan ramaja masjid, pengembangan wirausaha
pemuda/remaja dan mengurus jamaah masjid yang fakir dan miskin. Mereka meminta
pengelola masjid “berani” membuat kebijakan anggaran dengan mendukung dan membiayai berbagai kegiatan di
lingkungan masjid. Tidak terbatas dalam konteks pemakmuran masjid, tapi juga
pemakmuran jamaah.
Pemakmuran jamaah yang
direkomendikan peserta diskusi misalnya membuka usaha produktif , menyediakan
modal usaha tanpa bunga dan melakukan pemberdayaan masyarakat miskin di
lingkungan masjid. Hal ini dipastikan dapat dilakukan oleh pengelola masjid, karena
hampir seluruh masjid tersisa anggaran dalam jumlah banyak. Rata-rata masjid di
Banda Aceh memiliki saldo kas bulanan hingga Rp 50 juta.
Masalahnya adalah,
diperlukan keberanian pengelola masjid dan edukasi jamaah, sehingga dana masjid
boleh juga digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan peningkatan
kepasitas dan kesejahteraan jamaah. Diperlukan juga perubahan paradigma
pengelola masjid tentang pemanfatan dana masjid yang beroriensi pada pelayanan
jamaah. Tidak hanya mementingkan pembangunan fisik masjid.
Dalam hal penanggulangan
kemiskinan, pengelola masjid bisa bersinergi dengan pemerintah, swasta dan
masyarakat. Diperkirakan sekitar 10% dari jamaah masjid yang fakir miskin membutuhkan perhatian khusus, pelayanan dan
pendampingan. Bisa jadi sebagian mereka telah dilayani oleh pemerintah gampong
atau instansi terkait, namun terdapat fakta bahwa sebagian jamaah/masyarakat
belum memiliki akses atau fasilitasi untuk keluar dari kemiskinan. Disinilah
diperlukan sinergi.
Untuk merealisasikan gagasan
ini, perlu juga peningkatan kapasitas pengelola masjid, sehingga mampu
menjalankan fungsi tambahan penanggulangan kemiskinan dan memenuhi harapan peserta diskusi terfokus
supaya mampu memberi lebih banyak kepada jamaah. Pengelola masjid harus terampil
merancang program dan kegiatan yang berorientasi pelayanan jamaah, penggalangan
dana dan melakukan kemitraan dengan berbagai pihak. Harus pula melakukan sosialisasi
kepada jamaah, sehingga mereka memahami bahwa kemakmuran masjid juga mencakup kemakmuran jamaah.
BKPRMI Aceh, melalui diskusi
terfokus, telah membuka ruang lebih luas terhadap optimalisasi fungsi masjid
sebagai pusat ibadah dan aktivitas ummat. Kita berharap, hasil diskusi tersebut
dapat dikomunikasikan dan mendapat sambutan positif dari berbagai pihak,
termasuk Pemerintah Aceh, yang juga memprioritaskan penanggulangan kemiskinan
dan pengangguran.
Seorang peserta diskusi menyarankan,
hendaknya BKPRMI Aceh menyampaikan hasil
diskusi tersebut kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Mungkin saja gubernur dan
instansi terkait akan merespon dalam bentuk kegiatan percontohan penanggulangan
kemiskinan berbasis masjid. Tentu saja peserta diskusi juga akan
menindaklanjutinya di masjid tempat tinggal masing-masing, minimal menyebarkan
hasil diskusi terfukus itu.
Sumber: Gema Baiturrahman, 8
September 2017