Jumat, 15 Mei 2015

Perlukah Bioskop di Aceh?

Oleh Sayed Muhammmad Husen 

Jauh sebelum syariat Islam menjadi hukum positif di Aceh, paling tidak, ada tiga bioskop yang beroperasi di Banda Aceh sebagai tempat masyarakat mencari hiburan dalam bentuk film: Teater Gajah, PAS 21 dan Garuda. Justru cukup menarik, di tingkat kecamatan pun ada bioskop.  Misalnya di Leungputu (1980) dan Lamno (1987). Cuma tak ada data otentik kapan era bioskop berakhir di Aceh.

Fungsi bioskop kemudian di geser oleh televisi, VCD dan internet. Masyarakat dengan mudah dapat mengakses berbagai tontonan yang diinginkan. Termasuk film terbaru. Di kamar tidur pun mereka dapat nonton bersama pasangannya (baca: suami-isteri). Anak-anak di bawah umur juga dengan bebas dapat menikmati tontonan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.

Kita diingatkan kembali terhadap perlu tidaknya bioskop di Aceh, setelah baru-baru ini populernya film layar lebar Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertastih. Kedua film ini dianggap film dakwah dan dapat memotivasi masyarakat dalam mengembangkan budaya yang relegius-islami. Film Laskar Pelangi pun dapat dikatakan sebagai “dukungan” terhadap sekolah berbasis agama.

Hal menarik yang kita temui dalam masyarakat, mereka tak begitu mempersoalkan betapa bebasnya kaum muda memilih tontotan yang kadang kala masih jauh dari nilai-nilai Islam. Misalnya, tema yang menganjurkan hidup bebas, sekularisme dan mengedepankan kepuasan materi semata-mata. Mereka dengan bebas bisa nonton di televisi, VCD dan juga internet.

Namun, di sisi lain, masyarakat seakan masih sangat antipati terhadap keberadaan bioskop. Masyararakat Aceh menganggap bioskop sebagai biang maksiat, tempat khalwat, bercampur-aduknya antara laki-laki dan perempuan. Menonton adalah pekerjaan sia-sia. Film yang diputar pun umumnya tema “maksiat”.

Jika kita mau jujur, sebenarnya, lebih mudah mengontrol/mengawasi  masyarakat yang menonton film di bioskop daripada mengontrol penonton film di tempat masing-masing melalui televisi, VCD dan internet. Tapi kita juga belum menemukan alasan, mengapa MPU belum merekomendir bioskop dapat dibuka kembali di Aceh?

Kita tidak bermaksud mendorong bioskop dapat beroperasi kembali di Aceh, hanya saja patut dipikirkan, pertama, bagaimana mengawasi tontonan masyarakat melalui televisi, VCD dan internet, sehingga sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Kedua, bagaimana memberi akses kepada masyarakar untuk dapat menonton film-film dakwah (relegius).

Untuk itu, kita memberi apresiasi kepada sekelompok kaum muda yang mengorganisir nonton bareng film KCB baru-baru ini di Gedung Sosial, Banda Aceh. Walaupun bukan di bioskop, masyarakat --terutama remaja dan mahasiswa --cukup antusias menjadi penonton. Sebagian di antara mereka malah mengatakan,” Andai bioskop ada di Banda Aceh.” Pakiban Teungku?  

Sumber:  Gema Baiturrahman, Juli 2009


Sabtu, 02 Mei 2015

Membeli, Membaca dan Mewaqafkan Buku

Oleh Sayed Muhammad Husen 


“Membaca adalah jendela dunia.” Demikian ungkapan populer untuk memotivasi anak-anak supaya suka membaca. Dengan membaca, dipastikan akan dapat mengetahui kondisi berbagai perjuru dunia, tanpa harus mengunjungi satu negeri. Membaca adalah membuka wawasan dan mengetahui perkembangan bangsa-bangsa dan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Membaca meningkatkan ketaqwaan kepadaNya.

Masalah sekarang, kita merasakan motivasi membaca tidak terlalu baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator antara lain: pertumbuhan jumlah perpustakaan yang lamban, jumlah pengunjung perpustakaan, jumlah pembeli buku, jumlah penerbit buku, hingga masyarakat tidak cukup sering membicarakan tema buku. Satu indikator lain: komponen masyarakat yang mengisiasi gerakan waqaf buku juga cukup statis. Sedekah buku atau kampanye suka membaca tidak membaik.

Saya mencatat, tahun 80-an keberadaan perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi sangat penting. Ketika itu, lahir banyak kelompok studi mendiskusikan buku dengan tema tertentu secara rutin, adanya resensi buku di media, seminar atau bedah buku, dan menjadikan buku sebagai kado/hadiah pernikahan (walimahan). Bahkan, sebagian aktivis Islam dengan bangga mempublikasikan jumlah buku yang dikoleksinya. Kondisi itu agak berbeda sekarang ini, mungkin karena masyarakat dengan mudah mendapatkan bacaan dari internet. 

Karena itu, saya masih menganggap penting upaya menggerakkan masyarakat supaya suka membaca, sebab dengan membaca dapat mempercepat terbangunnnya masyarakat yang sadar hak dan kewajibannya sebagai warga bangsa. Masyarakat suka membaca lebih cepat terjadi perubahan dan lebih mampu mengahadapi tantangan zaman. Tentu saja, tak semuanya harus dengan membaca buku, boleh saja dengan cara mendapatkan data dan informasi melalui dunia maya (intrenet).

Saya mengapresiasi Bandar Publishing, Institute Peradaban Aceh, RUMAN dan beberapa perpustakaan masjid yang dengan gigihnya melahirkan masyarakat pembaca. Inisiatif ini, perlu terus ditingkatkan dengan mengagalang masyarakat supaya menyisisihkan sebagian pengahasilannya untuk membeli buku dan berpartisipasi dalam gerakan waqaf buku. Membeli dan mewaqafkan buku adalah kualitas terbaik masyarakat yang sadar terdadap bangkitnya kembali semangat intelektualitas dan spritualitas masyarakat.

Gerakan membaca, membeli dan mewaqafkan buku akan lebih sempurna jika mendapatkan dukungan negara melalui regulasi yang memungkinkan harga kertas dan biaya penerbitan buku menjadi lebih murah.  Dengan begitu, masyarakat bisa memperoleh buku dengan harga yang lebih murah.*   


Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...