Oleh Sayed Muhammmad Husen
Jauh sebelum syariat Islam menjadi hukum positif di Aceh, paling tidak, ada
tiga bioskop yang beroperasi di Banda Aceh sebagai tempat masyarakat mencari
hiburan dalam bentuk film: Teater Gajah, PAS 21 dan Garuda. Justru cukup
menarik, di tingkat kecamatan pun ada bioskop.
Misalnya di Leungputu (1980) dan Lamno (1987). Cuma tak ada data otentik
kapan era bioskop berakhir di Aceh.
Fungsi bioskop kemudian di geser oleh televisi, VCD dan internet. Masyarakat
dengan mudah dapat mengakses berbagai tontonan yang diinginkan. Termasuk film
terbaru. Di kamar tidur pun mereka dapat nonton bersama pasangannya (baca:
suami-isteri). Anak-anak di bawah umur juga dengan bebas dapat menikmati
tontonan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Kita diingatkan kembali terhadap perlu tidaknya bioskop di Aceh, setelah
baru-baru ini populernya film layar lebar Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta
Bertastih. Kedua film ini dianggap film dakwah dan dapat memotivasi masyarakat
dalam mengembangkan budaya yang relegius-islami. Film Laskar Pelangi pun dapat
dikatakan sebagai “dukungan” terhadap sekolah berbasis agama.
Hal menarik yang kita temui dalam masyarakat, mereka tak begitu
mempersoalkan betapa bebasnya kaum muda memilih tontotan yang kadang kala masih
jauh dari nilai-nilai Islam. Misalnya, tema yang menganjurkan hidup bebas,
sekularisme dan mengedepankan kepuasan materi semata-mata. Mereka dengan bebas
bisa nonton di televisi, VCD dan juga internet.
Namun, di sisi lain, masyarakat seakan masih sangat antipati terhadap
keberadaan bioskop. Masyararakat Aceh menganggap bioskop sebagai biang maksiat,
tempat khalwat, bercampur-aduknya antara laki-laki dan perempuan. Menonton
adalah pekerjaan sia-sia. Film yang diputar pun umumnya tema “maksiat”.
Jika kita mau jujur, sebenarnya, lebih mudah mengontrol/mengawasi masyarakat yang menonton film di bioskop
daripada mengontrol penonton film di tempat masing-masing melalui televisi, VCD
dan internet. Tapi kita juga belum menemukan alasan, mengapa MPU belum
merekomendir bioskop dapat dibuka kembali di Aceh?
Kita tidak bermaksud mendorong bioskop dapat beroperasi kembali di Aceh,
hanya saja patut dipikirkan, pertama, bagaimana mengawasi tontonan masyarakat
melalui televisi, VCD dan internet, sehingga sesuai dengan tuntunan syariat
Islam. Kedua, bagaimana memberi akses kepada masyarakar untuk dapat menonton
film-film dakwah (relegius).
Untuk itu, kita memberi apresiasi kepada sekelompok kaum muda yang mengorganisir
nonton bareng film KCB baru-baru ini di Gedung Sosial, Banda Aceh. Walaupun
bukan di bioskop, masyarakat --terutama remaja dan mahasiswa --cukup antusias
menjadi penonton. Sebagian di antara mereka malah mengatakan,” Andai bioskop
ada di Banda Aceh.” Pakiban Teungku?
Sumber: Gema Baiturrahman, Juli 2009