Jejak langkah intelektual dan aktivisme Sayed Muhammad Husen dimulai ketika menapaki bangku kuliah di Universitas Syiah Kuala. Sayed memilih untuk bergabung dengan UKM FOSMA tahun 1985. Kemudian, dua tahun setelahnya, dia menjadi ketua organisasi kajian keislaman kemahasiswaan itu. Saat itu, lembaga yang dipimpinya melakukan kajian setiap Sabtu di salah satu mushalla di kampus tersebut. Pengajian-pengajian di UKM FOSMA di tahun-tahun itu, diampu oleh ormas Pelajar Islam Indonesia (PII), HMI dan dosen-dosen dari IAIN AR Raniry.
Salah satu topik yang dibicarakan di FOSMA mengenai peta potensi zakat di Aceh oleh Dr Iskandar Daoed, yang lalu dimuat di Harian Serambi Indonesia. Sejak saat itu, Sayed mulai menekuni isu zakat dan berinteraksi dengan teman-temannya yang bekerja di BAZIS. Lalu ikut training BMT (Baitul Mal wat Tamwil), yang konsepnya dipraktikkan pada Baitul Qiradh. Setelah tiga tahun di Baitul Qiradh, Sayed semakin serius mempelajari konsep zakat dan infak, dan mulai berpikir lebih fokus mengurusi pekerjaan sosial tersebut. Oleh karena itu, dia berkeinginan bekerja di lembaga Baitul Mal yang sedang dalam fase transisi dari BAZIS di Aceh (2002). Harapannya terkabul. Sejak tahun 2004 Sayed semakin mencurahkan perhatian, baik dengan membaca dan menulis isu-isu zakat dan infak di lembaga itu.
Dalam lima tahun terakhir ini, ASN pada Baitul Mal Aceh ini hendak memulai tantangan baru, setelah dua dekade lebih dia bekerja pada isu zakat dan infak, dengan mencoba mempelajari konsep wakaf. Sayed, atas nama pengalamannya, melihat kalau zakat selama ini lebih banyak penyalurannya untuk charity. Pemberdayaan yang diharapkan dari penyaluran zakat belum terlaksana dengan baik, karena masyarakat masih membutuhkan charity guna memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Sementara konsep wakaf membuka kesempatan yang luas untuk pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan aset wakaf harus abadi, lestari, dan tidak boleh dijadikan agunan, sebab yang disalurkan adalah hasil dari wakaf itu.
Sayed dengan sepenuh hati meyakin potensi wakaf di Aceh. Dia selalu menjadikan kisah wakaf sumur Ustman bin Affan dan Baitul Aisyi sebagai inspirasi jalan filantropinya. Namun, dia masih menemukan pemahaman yang terbatas tentang wakaf di Aceh: yang masih berkisar tentang tanah untuk masjid, sawah, kuburan dan madrasah. Padahal perundang-undangan sekarang membuka peluang untuk memaksimalkan potensi wakaf. Salah satunya dengan diaturnya cash waqf.
Potensi yang besar ini, dilihat oleh Sayed dapat dimaksimakan ketika adanya edukasi kepada masyarakat dengan menujukkan fakta yang ada. Sayed menyadari hal tersebut karena perjalanannya yang lama bekerja di Baitul Mal Aceh. Dia melihat, potensi umat belum diurus secara maksimal. Dalam bayangannya, wakaf harus dikelola dengan modern dan canggih. Wakaf yang dipadukan dengan zakat diyakinya dapat menyelesaikan persoalan umat yang lebih besar.
Melalui wakaf, Sayed berkeyakinan akan tercapai keadilan sosial ekonomi. Oleh karena itu, wakaf harus dikelola secara modern melalui penataan manajemen, seperti memaksimalkan pengelolaan wakaf uang, kemudian memberi edukasi marketing dan manajemen agar uang itu bisa abadi. Oleh karenanya, perlu SDM yang unggul dalam pengelolaan dana, komunikasi dan mendayagunakan uang tersebut untuk memberdayakan ekonomi, sehingga orang miskin bisa keluar dari kemiskinannya. (Muhammad Alkaf)