Senin, 15 Mei 2023

Dari Latihan Mental Hingga Tawaran Revolusi

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Mengapa harus ikut training PII? Awalnya saya diajak menjadi peserta Leadership Basic Training Pelajar Islam Indonesia (LBT PII)  di Balohan, Sabang tahun 1981 oleh guru pengajian Al-Quran HIQQAH, Ustaz Abdullah Kaoy.

Karena guru pengajian yang mengajak, saya tak berani metolak.  Apalagi trainingnya berlangsung di kampung tempat saya tinggal. Saya mendaftar berdua sahabat dekat, Usman Hasyim (sekarang bekerja di Kemenag Sabang).

Ketika itu, Ustaz Abdullah mengatakan, training PII adalah latihan mental. Dia mengartikan dengan latihan keberanian. Saya pikir bagus juga, karena ketika itu sebagai  pelajar kelas 3 SMP saya belum berani-berani amat.

Ternyata,  ada benarnya juga LBT PII itu adalah latihan mental,  sebab di penghujung training seorang istruktur, Zaini Zakaria Alwy (almarhun terakhir Sekretaris Partai Ummat Islam Aceh) memaksa saya mengaku telah berbuat serong ketika pulang shalat berjamaah di masjid. Teman perempuan yang “dituduh” mengaku melakukanya dan bersedia dikeluarkan dari training. Zaini mengancam saya akan dikeluarkan dari training jika tak mengaku.

Saya masih ingat kalimat Ustaz Abdullah: PII untuk latihan mental. Saya pikir, inilah latihan mental atau keberanian saya sedang diuji. Saya harus berani mangatakan yang benar adalah benar.

Akhirnya sang instuktur memuji didikannya, karena tetap mempertahankan kejujuran. Tak pernah mengakui berbuat serong, sebab memang tak melakukannya. Sampai di sini, saya lupa nama sahabat perempuan yang mentalnya berhasil “dikalahkan” Kanda Zaini . Yang saya ingat terakhir dia tinggal di Ie Meule, Sabang.

Saya merasakan, dari hasil binaan PII melalui training yang dikenal unggul itu, saya berhasil menjadi Ketua OSIS SMAN 1 Sabang, sekaligus menjabat Wakil Ketua Departemen Humas Pengurus Daerah (PD)  PII Sabang, yang diketuai T Zakaria Al Bahri.

Beberapa instruktur LBT yang masih saya ingat di hari Harba PII KE 76 (4 Mei 1947 - 4 Mei 2023) adalah  A Wahab Musa, Mustafa Gelanggang, Cut Maneh, Surya Sulaiman, serta Zaini Zakaria Alwy. Merekalah guru-guru kami yang cukup berjasa di PII.

Simulasi Proses Peradilan

Setelah mengikuti LBT di Balohan 1981, saya melanjutkan ikut Mental Training (MT) di Aneuk Laot, Sabang, tahun 1982. Saya merasakan lebih banyak menyerap materi pada jenjang training ini, sebab telah menduduki jenjang pendidikan tingkat SLTA.

Dua instruktur utama kami ketika itu Darwis SH dan Iskandar Usman. Hadir  juga A Malik Raden dan Musdaruddin MS.

Satu hal yang tak kami sangka sebelumnya, Kanda Darwis SH "menggugat" panitia pelaksana training dan minta training dibubarkan. Dia menyampaikan berbagai alasan yang menguatkan training harus dibubarkan.

Tentu saja peserta keberatan dan mengajukan argumen supaya training dapat dilanjutkan. Namanya "anak training" tetap saja kalah logika dengan instruktur sekaliber Darwis SH.

Akhirnya atas protes peserta terhadap Kanda Darwis, dia sedikit mengalah dengan meminta pembelaan dari PD PII Sabang. Didatangkanlah panitia ke ruang training untuk menyampaikan alasan-alasan penolakan training dibubarkan.

Akibat debat panjang malam itu, seorang peserta pikirannya mulai agak kacau. Dia tak bisa lagi berpikir rasional.  Hebatnya, sahabat ini (Abdul Muthalib) belakangan menjadi gubernur GAM Sabang.  Terakhir almarhum menjadi Keuchik Balohan.  

Kanda Darwis menerima pembelaan PD PII dan diputuskan training dilanjutkan hingga akhir. Yang menarik, kami benar-benar tak tahu bahwa itu memang drama peradilan yang diciptakan oleh tim instuktur.

Mental training kali ini dianggap cukup bebobot, sebab dipandu oleh Kanda Iskandar Usman. Kesan kami, dia banyak membaca dan pengetahuan keislamannya cukup luas.

Selama training, saya tinggal di rumah warga, Tgk Ali, dekat sekali dengan mesin PLN. Saya tak bisa tidur sama sekali selama training akibat bisingnya suara mesin PLN. Besar sekali suaranya.

Setelah mental training, saya menjadi lebih percaya diri, lebih banyak lagi membaca, dan setiap lomba pidato dalam rangka Harba PII bisa menjadi juara.

Ikatan dan silaturrahmi kami dengan warga Aneuk Laot tetap terjalin pasca training. Salah satu buktinya, setiap kegiatan PII di Sabang dan luar daerah, kami mendapat sumbangan warga. Ada yang menyumbang berupa uang, ada juga dalam bentuk bunga cengkeh kering, lalu kami jual.

Begitulah training PII yang tidak hanya menambah ilmu, tapi juga memberi pengalaman proses peradilan  dan meningkatkan kekuargaan dengan warga desa.

Tentu saja setiap hari milad PII, kita mendambakan anak-anak kita juga sempat merasakan pembinaan mental oleh PII.

Training Tanpa Izin

Setelah mengikuti LBT dan Mental Training dua tahun berturut-turut, saya bertekad mengikuti jenjang training berikutnya, yaitu Leadership Advande Training (LAT) di Jeunieb tahun 1983.

PD PII Sabang  mengirimkan empat kader untuk mengikti LAT. Prosesnya harus mengikuti test dan ternyata kami tak lulus. Kami hendak segera kembali ke Sabang dengan rasa kecewa.

Namun atas bujukan Cek Jol (Zulkarnaen Gamal) dan instruktur lainnya kami bersedia mengikuti Mental Training sekali lagi. Cek Jol berjanji, kami akan mendapat perluan sebagai peserta istimewa, tanpa penjelasan apanya yang istimewa.

Saya ditempatkan oleh panitia pelaksana di rumah masyarakat di Desa Dayah Baro, Kecamatan Jeunieb, yang harus jalan kaki hampir dua kilometer ke lokasi training. Setiap malam setelah shalat tarawih kami diharuskan menyampaikan ceramah di meunasah.

Yang menarik, masyarakat Jeunieb sejak awal mengetahui  bahwa training PII se Sumatera itu tidak mendapat izin dari pemerintah. Kami mendapat kabar, sebagai bentuk protes warga, para keuchik berani menyerahkan stempel kepada camat, sebagai bentuk lebih mementingkan sukses training dibandingkan jabatan keuchik.

Saya benar-benar merasakan betapa militannya masyarakat Jeunieb. Kami pun menyampaikan ceramah Ramadhan lebih kritis dan oposan terhadap pemerintah. Seakan mendorong masyarakat untuk memperjuangkan kebenaran dan berlakunya Islam sebagai pandangan hidup (way of life) dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara dari segi penguasaan materi training, bagi kami beberapa peserta tidak menjadi fokus lagi, sebab terjadi pengulangan materi Mental Training sebelumnya. Namun kami mengakui, bahwa Mental Training kali ini lebih berbobot dibandingkan training sebelumnya di Sabang. Bisa jadi karena daya serap kami yang lebih baik, sebab sudah kelas 2 SMA dan referensi pun sudah lebih banyak.

Saya mencatat, instruktur ketika itu rata-rata memiliki jenggot kecil seperti Cek Jol, Maimun Juli, Abdulllah Athiby, beberapa yang lain. Dari merekalah saya mendapat motivasi untuk mempertahan jenggot hingga sekarang. Ketika itu, jenggot baru saja tumbuh satu-satu. Hanya dua kali saya sempat mencukur jenggot, yaitu ketika menikah tahun 1997 dan 2006 (pasca tsunami).

Akhirnya training PII se Sumatera di Jeunieb berlangsung sukses tanpa izin, walapun berlangsung dalam suasana was-was apakah akan dibubarkan oleh aparat atau Panitia Pelaksana ditangkap seperti Nazaruddin AW,  Darwis SH, Iskandar Usman, serta Mustafa A Glanggang.*  

Menjadi Instruktur Karbitan

Sebenarnya ingin cepat-cepat ikut LAT di Jeunieb tempo hari supaya bisa ikut Coaching Instruktur (CI). Menjadi instruktur adalah idaman kader PII sejak setelah mengikuti LBT. Instruktur adalah “pekerjaan” bergensi, sebab bisa melatih kader dan membina mereka komited terhadap Islam dan siap memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Saya mendambakan jadi instruktur, sebab sosok instruktur adalah orang-orang taqwa, cerdas, orang pilihan, serta intelek. Mereka taat beribadah, banyak membaca, berbicara dengan disertai banyak istilah ilmiah, dan tentu saja terampil berbicara di depan kelas dan di depan umum. 

Dengan tanpa diduga dan kehendak Allah Swt jua, pekan training PII di Bakaran Batu, Sabang, tahun 1984, kekurangan instruktur. Sementara instruktur yang dikirim oleh PW PII Aceh hanya satu dua orang saja dan yang bertahan hingga training berakhir adalah kanda T Hasanuddin Yusuf (TH). Sementara peserta training membludak dari tingkat Maprata hingga Mental Training.

Menghadapi kondisi training “tak normal” itu, kanda TH harus menyiapkan banyak instruktur secepat kilat. Kami yang telah mengukuti Mental Training setiap habis Ashar dicouching supaya siap menjadi instruktur. Begitulah berlangsung setiap hari, disertai meeting instruktur, dan evaluasi harian. Kami dibekali keterampilan mengelola lokal (kelas) dan menyajikan materi-materi dasar LBT.

Jika peserta punya waktu istirahat 2-3 jam setiap hari, namun bagi kami sama sekali tak punya waktu istirahat. Benar-benar mendapat tugas “dakwah” yang cukup padat. Harus disiplin waktu sambil membekali diri supaya mampu memenuhi target LBT. Akhirnya “tumbang” juga di malam bai’at, malam penutupan training. Saya merasa seakan baru kembali pulang memenangkan perjuangan menegakkan ajaran Islam bersama seluruh peserta training.

Alhamdulillah ketika training di Bakaran Batu, saya berhasil “mempengaruhi” ayah supaya mengirim adik perempuan (Nurmawati M Husen) sebagai peserta. Targetnya sederhana saja, supaya dia mengamalkan ajaran Islam dengan menutup aurat secara sempurna (berjibab) dan tidak meninggal shalat lima waktu. Dia tinggal sepekan di rumah Tgk Abdurrahman (ayahnya Albina). Sementara saya tinggal di rumah Ustaz Adam di Komplek LANAL.

Ada hal yang cukup berkesan selama tinggal rumah Ustaz Adam adalah, setiap hari di rumahnya berbuka puasa dengan kolak. Hal lain yang khas dari Ustaz Adam asal Aceh Tengah itu, dia bisa ceramah dalam format cerita bersambung (cerbung). Dia berkisah ibarat novel islami dengan menyelipkan pesan-pesan agama. Jamaah Meunasah Bakaran Batu benar-benar menunggu cerbung itu hingga tamat pada akhir Ramadhan.

Mengelola training dan ber-PII memang tak terpisah dari ikhtiar membangun ukhuwah islamiah, karena itu hingga sekarang masih terjalin silaturrahim dengan anak-anak Ustaz Adam, anaknya Tgk Abdurrahman (Albina, sebelumnya dengan Almarhum Takdir dan almarhumah Malahayati), dan pernah sama-sama dengan Kanda Dr T Hasanuddin dalam kepengurusan DPW BKPRMI Aceh.

Demikianlah kisah menjadi instruktur karbitan, namun dengan ilmu, dan pengalaman seorang kader seperti Kanda TH, training yang diikuti ratusan peserta itu bisa sukses. Bagitulah kader PII harus siap tandang ke gelanggang meski seorang.

CI Rasa Mental Training

Setelah mengikuti berbagai jenjang training, menjabat Wakil Ketua Departemen Humas PD PII Sabang, dan merasakan nikmatnya terlibat dalam berbagai program PII, saya hijrah ke banda Aceh tahun 1985. Tahun pertama di kuliah di Program Studi BK FKIP USK, atas saran senior, saya tak melibatkan diri dalam organisasi. Sebab harus beradaptasi dengan perbedaan pola belajar ketika di SMA dengan di perguruan tinggi.

Namun, sejak mengawali kuliah dengan kewajiban mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalam Pancasila (P4) Pola 100 Jam, sudah mulai terdeteksi kawan-kawan potensial yang memiliki latar belakang organisasi. Beberapa sahabat PII dari daerah memang unggul dalam dialog, diskusi, dan kerja kolompok menyelesaikan tugas-tugas penataran P4 itu.

Kegiatan training pertama yang saya ikuti selama di Banda Aceh adalah Coaching Instruktur (CI) di SD Lamnyong tahun 1987. Ketika itu, dibolehkan alumni Mental Training mengikuti CI, tak harus melewati LAT. Saat mengikuti CI saya sudah menjabat Ketua Bidang Ekstern Pengurus Komisariat (PK)  PII FKIP USK, yang diketuai sahabat Amrul Syah.

Seorang instruktur CI yang cukup populer dan “mendominasi” forum CI adalah M Nur Adami (Abu Nu).  Selama CI, kami lebih banyak membahas tentang aqidah, dinul Islam, dan ideologi Pancasila dibandingkan metodelogi training. Itu pula yang mengesankan CI rasa Mental Training.

Memang ada materi tentang filosofi training, tujuan, penjenjanjangan, pemahaman silabus, metoda, serta aplikasi dinamika kelompok dalam CI. Namun hampir setiap hari tetap saja muncul isu-isu keislaman aktual, sampai membahas perjuangan tokoh-tokoh Masyumi.

Terus terang setelah CI, saya belum bisa memutuskan bagaimana pandangan PII tentang Pancasila, walaupun Abu Nu seakan “menggiring” peserta anti Pancasila. Saya masih belum bisa menerima argumentasi yang membandingkan Islam dengan Pancasila secara ideologis.

Akhirnya saya mendiskusikan hal itu dengan tokoh PII Muhammad Yus (Abu Yus) dan KB PII lain. Ternyata PII tidak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai konsensus nasional. Yang menjadi masalah bagi PII adalah penguasa ketika itu menjadikan Pancasila sebagai way of life, seakan "agama" kedua setelah Islam.

Dengan memiliki pandangan seperti ini akan menjadi patron bagi calon instruktur yang telah mengikuti CI. Instruktur harus siap menghadapi jika ada peserta training yang pernah mengikuti training organisasi lain dan mendebatkan sikap kritis PII terhadap asas tunggal Pancasila.

Dengan telah mengikuti CI, saya semakin aktif di PII dan pada banyak kesempatan menjadi instruktur. Tentu saja target berikutnya, adalah bisa mendapat amanah sebagai koordinator instruktur (kordin) dalam suatu training.

Satu hal menjadi beban mental bagi alumni CI adalah diserahkan daftar bacaan wajib bagi seorang instruktur. Karena itu, saya harus banyak membaca, mengunjungi perpustakaan, dan menabung untuk bisa beli buku.

Jadilah instruktur yang taqwa, cerdas, intelek, serta mampu berdebat jika ditantang oleh lawan debat.

LAT Keumangan dan Kejutan Jubah Putih

Pada tahun yang sama (1987), setelah mengikuti CI, saya berkesempatan mengukuti LAT di Keumangan, Kabupaten Pidie. Inilah jenjang training yang ditungu-tunggu oleh banyak kader PII. Dengan selesai LAT dianggap telah diakui sebagai kader yang sempurna dari segi jenjang pengkaderan. Paling tidak dengan mengikuti LAT mendapat “peuneutoh” atau ijazah sebagai kader.   

Diantara peserta LAT yang saya ingat adalah Kak Nining (istri Prof Farid Wajdi Ibrahim) dan T Mursalin SH (sekarang notaris di Kabupaten Nagan Raya). Kami ditempatkan oleh panitia di rumah-rumah masyarakat yang lumayan jauh dari lokasi training, harus jalan kaki lebih dua kilometer.

Hal yang mengejutkan ketika training berlangsung dalam suasana tekanan penguasa untuk menerima asas tunggal adalah munculnya parade Jubah Putih di Sigli. Ketika itu, kami saling menerka dan membahas apa yang terjadi. Apakah ada kaitannya dengan kekuasaan rezim yang otoriter atau hanya protes terhadap maksiat dalam masyarakat. Jangan-jangan berdampak terhadap penghentian training PII.

Training PII terus berlangsung tanpa diskusi lebih lanjut tentang Jubah Putih. Bisa jadi hal ini terjadi karena kelihaian panitia dan instrusktur yang mengondisikan peserta supaya tetap konsentrasi mengikuti LAT dan training lainnya yang diselenggarakan terpadu. Kami tetap fokus mengikuti presentasi, diskusi, dan “debat” yang pada umumnya materinya terkait ideologi, politik, dan perjuangan umat Islam.

Saya terkesan sekali ketika materi dipandu oleh Kanda Miswar Sulaiman tentang Strategi Perjuangan Ideologi. Kami berdiskusi semalaman tanpa kata putus. Yang sangat alot adalah pilihan strategi, apakah memperjuangkan Islam dengan strategi evolusi atau revolusi. Kanda Miswar cukup sabar memandu debat itu, tanpa memihak sedikit pun. Sementara saya ketika itu menawarkan perlu dilakukan revolusi untuk memperjuangkan tegaknya Islam secara kaffah di Indonesia. Peserta lain menawarkan pendekatan evolusi.

LAT pun berakhir tanpa kendala dan mendapatkan dukungan masyarakat yang luar biasa. Begitulah training-training PII di tempat lain di seluruh Aceh: di Sabang dan di Jeunieb yang saya ikuti. Para peserta bisa tinggal di rumah-rumah masyarakat,  konsumsi dari masyarakat, dan mendapat “perlindungan” umat sepenuhnya. Karena itu, sebagai kader PII yang telah menyelesaikan jenjang LAT akan merasakan benar sebagai anak umat. Kata Kanda M Munir Azis, seorang kader tahu apa yang harus dia lakukan dan kerjakan dalam situasi apapun.  

Paksa PII Terima Asas Tunggal

Hal yang tak terlupakan setiap milad PII adalah pemaksaan asas tunggal oleh Orba Soeharto terhadap PII, termasuk PD PII Sabang.  

Ketika peringatan Sumpah Pemuda  tahun 1986 misalnya, Ketua Umum KNPI Pusat (yang terkoptasi kekuasaan)  sukses memaksakan asas tunggal terhadap PD PII Aceh Timur.

Apel serupa dilakukan di Sabang dengan target KB PII dan PD PII Sabang menerima asas tunggal. Peryataan dibuat tanpa stempel PD PII.  PW PII pun kemudian membekukan PD PII Sabang dan beberapa daerah lain.

Mantan PB PII,  Bismi Syamaun, memberi kesaksian, bahwa sehari sebelum PD PII Sabang meneken terima asas tunggal tahun 1987, sebagai  utusan PW PII Aceh dia diteror oleh oknum KB PII Sabang. 

Bismi Syamaun, dalam tugasnya PII ke Sabang,  malam-malam dipaksa pulang balik ke Banda Aceh dengan menggunakan bot, sebab kapal penyeberangan Balohan - Ulee Lheu baru ada pagi hari. Mereka tak menjamin keamanan dan keselamatan Bismi Syamaun dari penguasa ketika itu.

"Alhamdulillah dengan keberanian dan kesiapan mental Allah yarham Tgk Muhammad Husen Puteh, saya bisa istirahat malam itu di rumahnya. Pagi esok hari saya pulang ke Banda Aceh dengan membawa stempel PD PII  Sabang yang telah dibekukan," kata Bismi.

Apel Sumpah Pemuda di Sabang dan daerah lain dibarengi pernyataan penerima asas tunggal berlangsung sepihak. Demikian pula langkah pembekuan beberapa PD PII se Aceh dilakukan oleh PW PII Aceh, telah mengurangi tekanan rezim terhadap PII ketika itu.

Demikian contoh peran seorang kader yang telah ditempa PII, sejak dari training LBT hingga LAT, dari kepemimpinan pada tingkat paling bawah, Komisariat PII hingga PB PII di Jakarta. Kita mendambakan lebih banyak lagi kader PII yang siap berjuang menegakkan ideologi Islam dalam kehidupan pribadi, berbangsa dan bernegara.

Sumber: mediaaceh.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...