Sabtu, 27 Mei 2023

Catatan Takziah ke Sabang

Mengunjungi Rumah Mantan Gubernur GAM, Ternyata Anaknya Inong Balee

Oleh: Sayed Muhammad Husen 

Saya bersama istri melakukan perjalanan takziah ke Sabang dengan menggunakan transportasi laut Aceh Hebat 2, Jumat (18/5/2023). Saya katakan perjalanan takziah, sebab sudah cukup lama menyimpan rencana mengunjungi atau takziah beberapa keluarga dan sahabat dekat yang telah lama meninggal. Bahkan, ada yang meninggal tahun 2020. Dalam rentang waktu itu hingga hingga sekarang memang saya sempat tiga kali ke Sabang dalam rangka tugas dan liburan sekolah, namun tak cukup waktu untuk takziah.

Untuk memudahkan bergerak di sana, sekaligus menguji “kekuatan fisik”, saya menggunakan sepeda motor. Biaya tiket penyeberangan sepeda motor ditambah dua penumpang Rp 103 ribu. Dengan perjalanan tidak sampai dua jam dan laut yang tenang, kami tiba di rumah Macut Nurhayati (Cut Ti) di Balohan, sekitar pukul 14.15 WIB. Di sana, kami merencanakan rute dan rumah-rumah yang akan kami kunjungi satu persatu.

Di rumah Cut Ti kebetulan sedang berkumpul anak-anaknya: Rahmawati, Dek Bit, Dek Ni, dan Dek Mas. Ada juga Mudarris yang memang tinggal bersama Cut Ti, dan Samsul beserta istrinya yang tinggal bersebelahan rumah. Mereka sedang mengadakan syukuran makan siang bersama atas kelancaran perjalanan Cut Ti pulang kampung ke Trienggadeng baru-baru ini. Kami pun ikut menikmati kenduri siang itu.    

Setelah shalat Ashar, kami memulai takziah ke rumah almarhum Tgk Abdurrahman bin Abdullah di Blang Tunong Balohan. Kami berjumpa dengan istri dan dua anaknya (salah satunya bernama Rahmad), serta ziarah ke kuburan almarhum di samping rumahnya. Tgk Badurrahman adalah adik lating sekolah, sedangkan ayahnya Tgk Abdullah sahabat seperjuangan ayah ketika pertama kali datang berkebun di Sabang tahun 60-an. Ketika itu, ayah masih usia remaja. Rahmad mengatakan, sehari-hari dia bekerja melanjutkan usaha ternak ayam yang dirintis ayahnya, sebab usaha itu sudah mapan dan mendapat pelanggan khusus. Lagi pula tak ada pesaing bisnis serupa.

Kami melanjutkan silaturahim  ke rumah Macut (istri Abu Cut Lidan), Idris, Idrus, dan Maimun yang juga beralamat di Blang Tunong. Masih di lokasi yang tidak berjauhan, kami takziah ke rumah almarhumah Cut Rohana yang meninggal tahun 2020. Anaknya, Cut Agam dan M Ikhbal, juga baru meninggal. Kami berjumpa dengan anak Cut Rohana yang perempuan (Sri), karyawan kantor Camat Sukajaya di Balohan, yang sedang jualan bakso di Mata Ie. Sementara anak Cut Rohana yang satu lagi (Yus) sedang mengantar anak berobat ke dokter gigi. Kami kembali ke rumah Cut Ti menjelang Maghrib. Tak ada kegiatan khusus pada malam hari.

Hubungan kami dengan keluarga Cut Rohana hampir seperti saudara. Selain suaminya, Hasbi Kadir, sama-sama asal Trienggadeng, tetanga dekat di Balohan, saya juga beberapa tahun bermalam di rumahnya sepulang dari pengajian. Saya tidur satu kamar dengan kerabat Hasbi Kadir yang tinggal di sana, yaitu Usman. Kadang-kadang malam hari kami nonton televisi di rumahnya. Akibat begitu sering di rumah, sehinga dengan anak-anaknya, M Ikhbal, Ferry, dan Dek Yus, kami sudah seperti kakak beradik.    

Sementara agenda Jumat (19/5/2023) sejak pagi kami bersilaturrahim ke rumah Bang Ali dan istrinya (Salma) di sebelah rumah Cut Ti. Bang Ali sudah lama berobat akibat strok.  Sehari-hari dia harus menggunakan kursi roda. Istrinya juga tak bisa kemana-mana lagi, sebab mengalami gangguan ingatan, sementara fisiknya tetap sehat. Kami lanjutkan takziah dengan jalan kaki ke rumah almarhum Zakaria, yang berjarak 400 meter dari rumah Cut Ti. Zakaria adalah abang leting sekolah, tetangga dekat, dan teman sepergaulan ketika sekolah di Balohan.

Kemudian, kami mengunjungi sahabat Usman Hasyim di Mata Ie yang sakit beberapa waktu lalu. Dia baru saja dirawat di RS selama delapan  hari dengan keluhan kurang sehat lambung dan tingginya kolestrol. Istrinya juga sering kurang sehat. Usman bekerja sebagai PNS pada KUA Sukajaya, Balohan, tidak jauh dari rumahnya. Dulu, kami satu kelas sekolah sejak SD, sama-sama ikut training PII  dan pengajian tilawah Al-Quran di Masjid Babussalam selama tiga tahun. Cukup lama juga saya menginap di rumah Usman di Mata Ie sepulang dari pengajian (malam). Setelah Shubuh baru pulang ke rumah, sebab lokasi pengajian yang berjauhan dengan tempat tinggal kami di Jrong, Balohan.   

Berikutnya, kami melakukan perjalanan takziah ke rumah Abu Thaleb (Abdul Muthalib), keuchik Balohan dan mantan gubernur GAM Sabang. Kami sama-sama pernah mengikuti training PII di Balohan tahun 1981 dan Mental Training di Aneuk Laot 1982. Dia lama bekerja sebagai PNS pada Kantor Camat Sukajaya dan kantor Lurah Jaboi. Di rumahnya di dusun Ulee Krueng (dekat kantor camat lama), kami berjumpa dengan anaknya, Maulida Rahmi, yang juga baru kami tahu pernah ikut pelatihan Inong Balee di kawasan Siron. Ada juga anak almarhum, Rahmat, tamat SMK dan penah kuliah di teknik informatika.

Saya sempat menanyakan pada Maulida, apakah diajak ayahnya ikut bergabung dengan GAM? Benar, katanya. Namun dia tak memberitahukan ibunya. Dia menyebut, pernah latihan di wilayah  Siron, Aceh Besar,  hanya saja tak sempat selesai sebab konflik Aceh mulai memuncak. Mereka harus berpencar. Saya tanyai lagi, apakah sekarang bergabung dengan PA? “Saya tak minat lagi. Sudah capek berjuang. Ternyata akhirnya tak sama-masa merasakan hasilnya. Sebagian sudah kaya, sebagian lagi hidup tak dapat apa-apa,” ujarnya.  

Hari Terakhir

Ini adalah hari terakhir kami di Sabang, sebab besok Sabtu siang harus kembali ke Indrapuri, Aceh Besar. Walaupun  belum seluruhnya bisa dikunjungi akibat sakit atau keluarga yang meninggal, kami perlu juga menyempatkan diri untuk “wisata” dan menikmatai indahnya alam Kota sabang. Jadi pilihannya, sore hari hingga malam kami agendakan shalat Maghrib di Masjid Babussalam, menikmati sunset di Paradiso, makan malam di pinggir laut, serta ngopi di The Sagoe. Dalam perjalanan  ke kota kami sempatkan takziah ke rumah almarhum Ridwan di Alue Tho, Balohan, yang berjarak hampir satu kilometer dari rumah Cut Ti.   

Dalam agenda terakhir di The Sagoe ikut bergabung teman sekolah (Imran), host TVRI yang kebetulan sedang di Sabang (Musyu) dan anak Abucut Lidan, Maimun dan istrinya, yang masih bulan madu. Malam itu, kami lebih banyak membahas Sabang masa-masa  freeport (1970-1985) dan membandingkannya dengan kondisi sekarang. Masing-masing era tentu saja ada plus minus, peluang dan tantangannya.    

Sekitar pukul 23.00 kami kembali ke rumah Cut Ti di Balohan. Sepanjang jalan dari Jalan O Surapati ke Jrong Balohan terlihat beberapa tempat lampu penerang jalan tidak menyala. Bahkan dari pendakian Cot Abeuk hingga tanjakan semen Balohan terasa gelap sekali. Sungguh tak mendukung Sabang sebagai kota wisata. Bagi saya yang mengidap phobia gelap, keadaan ini cukup “menakutkan”, tak akan berani saya pulang sendirian malam-malam begini.  Saya katakan pada istri, bukankah pembayaran biaya lampu jalan sudah ditanggung oleh warga setiap bulan.

Sabtu pagi, (20/5/2023) kami masih menyempatkan diri mengunjungi senior Pelajar Islam Indonesia (PII) Kanda Hanafiah di Balohah, yang kondisinya juga kurang sehat. Silaturrahim ini menyegarkan kembali ingatan kami pada masa-masa training PII di Sabang (1981-1984) dan pembentukan pertama kali kepengurusan Remaja Masjid Babussalam Balohan (sekarang Masjid Syuhada), yang diketuai Azhari Usman. Sebagai formaturnya adalah Lurah Ismail Taher, Ketua Komisariat PII Balohan Hanafiah, Pegawai kantor Camat Ridwan, dan saya sendiri. 

Selain takziah dan silaturrahim sempat juga berjumpa dengan senior Abbas Jafar sekalian saya menyerahkan hadiah buku Khatib News, berjumpa kawan PII Ibrahim Daud, dan Istri Bang Yan Kana. Sempat juga silaturrahin dengan teman sekolah Yuswar, Iskandar A Rahman, M Ali (sekarang jualan ikan), dan Wak Yan (Wayan) Alue Tho. Di rumah Wayan, duku kami sering bermain bersama kawan-kawan sekolah dan panen buah kedondong.

Sementara waktu luang di rumah Cut Ti kami mendengarkan kisah hidup masa-masa sulit di Balohan, seperti pernah mengalami banjir bandang tahun 70-an, makan sering tanpa ikan, dan bekerja sebagai tukang panen cengkeh. Ada juga obrolan tentang kekuasaan Allah membuktikan bahwa kehidupan ini tak selama pahit, yang penting rajin berusaha dan yakin Allah Maha Pemberi Rezeki.

Kami kembali ke Ulee Lheu dengan kapal BRR yang berangkat pukul 12.00 WIB. Yang menarik, ketika sampai di pelabuhan Balohan, dihampiri seseorang yang menanyakan apakah kami sudah punya tiket kapal. Saya tanyakan berapa harganya. Dia sebut angka Rp 103 ribu. Sama persis dengan harga tiket ketika dari Ulee Lheu ke Balohan. Saya setuju dan saya serahkan uang Rp 105 ribu. Dia bilang tak ada kembalian Rp 2 ribu. Saya ikhlas, sebab saya pikir akan bantu membeli tiket kapal.

Ketika waktunya dipersilakan memasuki pelabuhan untuk menaiki kapal, dia katakan, bahwa  nanti di pintu pemeriksaaan sebut saja nama dia (bukan nama lengkap). Baru saya sadari,  ternyata dia tak beli tiket. Saya ikhlas dan yakin saja lancar. Begitu melewati petugas, saya menyebut nama tadi, kami diperbolehkan masuk. Saya bilang pada istri, itulah bangsa ini yang belum tertib. Kita tak tahu uang itu mengelir kemana saja, walaupun jumlahnya tak seberapa. Dan memang di dalam kapal pun tak ada pemeriksaan tiket.

Kami tiba di Ulee Lheu pukul 14.00 dengan kondisi laut yang cukup tenang, lalu shalat Dhuhur di Masjid Baiturrahim Ulee Lheu, makan siang di warung nasi Lampaseh Aceh, dan masih sempat beli cendol di halaman BSI (eks BNI 46). Alhamdulillah kami  sampai di rumah Lampanah setelah Ashar. Tak lupa mengabarkan ke Cut Ti, bahwa kami sudah sampai di rumah dengan selamat.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...