Selasa, 16 Mei 2023

Dari Protes Walikota Hingga Ditangkap Laksus

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Setelah training LBT di Balohan (1981) dan Mental Training di Aneuk Laot (1982) dibentuklah secara resmi Pengurus Daerah  Pelajar Islam Indonesia (PD PII)  Sabang yang diketuai T Zakaria Al-Bahri. Saya sendiri diamanahi jabatan Wakil Ketua Departemen Humas. Sebelumnya, tak diketahui apakah pernah ada PD PII  atau tidak, yang pasti terdapat beberapa senior alumni atau Keluarga Besar (KB)  PII di sana seperti T Darwin, Soni Ishak, Ramli Yus, Sanusi Harun, Burhan Husin, Baihaqi Juned, dan lain-lain. 

Ketika awal aktif dan mengikuti rapat-rapat PD PII Sabang yang berkantor di Bakaran Batu, saya masih kelas I SMA yang datang jauh-jauh dari Balohan (sekitar 10 kilometer dengan transportasi yang kurang lancar). Jadi tak selalu bisa hadir rapat, kecuali ada agenda penting seperti menjadi panitia aneka lomba dalam rangka peringatan Hari Bangkit (HARBA), peringatan hari-hari besar Islam, dan pelaksanaan training PII pada setiap bulan Ramadhan. 

Selain T Zakaria Al-Bahri, beberapa personalia PD PII yang masih saya ingat cukup aktif misalnya Johan S, Tarmizi, Bahagia, dan Zainuddin. Banyak nama tak saya ingat lagi. Saya akan melengkapi data tulisan ini dengan mewawancarai beberapa sahabat PII di Sabang, sebelum tulisan ini menjadi buku. Tentu saja sebagian sahabat telah lebih awal mendapat panggilan dari Allah Swt, termasuk Johan S yang ketika itu bekerja di Kejaksaan Sabang.   

Kegiatan PD PII Sabang yang cukup menonjol adalah pelaksanaan training PII tingkat dasar dan mental. Berturut-turut training berlangsung (1981-1984), yaitu di Balohan, Aneuk Laot, Paya Seunara, dan Bakaran Baru. Tidak kurang 500 kader telah dibai’at melalui training ini, walaupun yang sampai menjadi PW PII Aceh hanya saya sendiri. Banyak kader PII terampil bekerja di sektor pemerintahan, politik, dan wiraswasta, namun ada juga yang menjadi mustadh’afin (fakir dan miskin). 

PD PII Sabang sukses menyelenggarakan peringatan HARBA setiap tahun melalui aneka lomba, seperti lomba pidato, puitisasi Al-Quran, tilawatil Quran, deklamasi, drama, dan lain-lain. Saya sendiri tak pernah absen mengikuti lomba pidato dan memperoleh juara satu tingkat Kota Sabang, semetara juara dua dan tiga adalah Abdul Latif (sekarang panitia banding pada Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Bustamam (meninggal dalam tsunami tahun 20004).  Salah satu faktor bisa juara pidato karena banyak bacaan dan referensi. Ketika itu, saya berlangganan Majalah Panji Masyarakat (Panjimas), juga mendapat dukungan pelatih seperti Ustaz Saleh Syamaun dan Ramli Yus. 

Satu hal cukup berkesan dan menegangkan PD PII Sabang adalah adanya rencana pembangunan gereja baru di sekitaran Tektok, dengan cara membeli rumah dan menjadikannya sebagai tempat ibadah. Sementara dari lokasi yang tidak berjauhan telah ada dua gereja besar yang dibangun sejak masa kolonial Belanda. Kami segera melakukan rapat dan sepakat menyampaikan protes kepada Walikota Husein Main, disertai ancaman jika tak digubris akan ada pengerahan massa. Ternyata, walikota merespon positif saran PII.  

PD PII Sabang mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Hal ini dilihat dari dukungan terhadap pelaksanaan training, mendaftarkan anak sebagai peserta, menyediakan konsumsi training, serta menampung peserta di rumah-rumah mereka. Masyarakat Sabang yang dapat dikatakan makmur, seringkali menyumbang (infak) untuk seksesnya berbagai kegiatan PII di dalam dan luar kota, misalnya biaya transportasi menghadiri undangan PII pada tingkat provinsi dan nasional. Masyarakat Sabang merasakan manfaat PII, sebab berhasil mendidik anak-anak mereka dekat dengan agama, taat beribadah, dan terampil dalam bermasyarakat.   

Dukungan Walikota Yusuf Walad dan pengusaha sekaligus politisi Golkar T Darwin cukup optimal. Hampir setiap kegiatan,  panitia pelaksana pasti tersisa utang, karena itu, tempat yang paling tepat mengadu dan memohon untuk melunasi utang-utang panitia adalah Walikota dan KB PII, T Darwin.  Begitulah PII sebagai anak umat, sukanya bikin kegiatan, sementara biayanya dari kantong umat. 

Komisariat FKIP 

Saya tak sempat menyelesaikan kepengurusan di PD PII Sabang, sebab harus melanjutkan studi pada Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling (BK) FKIP USK (1985). Saya diterima sebagai mahasiswa FKIP melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), tanpa melalui test masuk. Semangat untuk kuliah dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi tentu saja salah satu motivasi yang kami peroleh dari instruktur dan pengurus PII. 

Mahasiswa FKIP yang terdiri dari belasan prodi banyak juga yang pernah mengikuti training PII seperti Amrul Syah, Muhammad Yamin (korban konflik Aceh di Kandang Lhokseumawe), Siti Aminah, Malawati, dan lain-lain. Melalui rapat di Musallah FKIP Jalan Inong Balee (1986), kami sepakat membentuk Pengurus Komisariat PII FKIP dengan ketua sahabat Amrul Syah (mahasiswa Prodi Bahasa Inggris). Banyak sahabat PII memanggilnya Dek Am, asal Samadua, Aceh Selatan. Saya mendapat jabatan sebagai Ketua Bidang Ekstern.

Langkah awal yang kami lakukan adalah mendata kawan-kawan PII di FKIP dan legalitas dari PD PII Perguruan Tinggi.  Selain itu, membangun komunikasi dan silaturahmi dengan KB PII yang ada di kampus, USK (Unsyiah) dan UIN (IAIN) Ar-Raniry. Beberapa dosen berasal dari kader PII, misalnya T Syarif Alamuddin, Hasballah Saad, Zulkifli Amin, M Munir Azis, Azhari Murtadha, Husaini Ismail, dan Rusjdi Ali Muhammad.

Berikutnya, kami menyelenggarakan Seminar Sehari Tentang Pendidikan di Aula Balatkop Jalan P Nayak Makam, yang dibuka langsung oleh Rektor USK Prof dr Abdullah Ali. Saya dipercayakan sebagai ketua panitia pelaksana. Yang membuat agak “sedih”, hari itu saya meninggalkan ayah di rumah kost di Jeulingke, yang datang jauh-jauh dari Sabang. Begitulah aktivis, yang harus mengutamakan tanggungjawab bersama dibandingkan kepentingan pribadi dan keluarga.

PK PII FKIP juga menyelenggarakan LBT sebagai sarana rekrutmen kader. Ketika itu, saya belum banyak kenal KB PII, kantor pemerintah, dan perusahaan swasta untuk menyampaikan proposal permohonan dana untuk membiayai training. Beruntung sekali, Dek  Am, memang sudah duluan “merantau” dan banyak relasi di Banda Aceh. Atas jasa Dek Am pula saya sering diajak menjumpai donatur (munfik) dan memperkenalkan tokoh dan pengurus PII di Banda Aceh. Hampir dua tahun saya “didampingi” Dek Am keliling kota.

Dalam rentang waktu dua tahun, PK PII FKIP berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mahasiswa yang mengikuti training, perhatian dosen, dan popularitas PII dikalangan organisasi lainnya seperti HMI, Senat Mahasiswa, dan LDK FOSMA. Kader PII FKIP sering terlibat dalam berbagai kegiatan PD PII Perguruan Tinggi dan PW PII Aceh. Bahkan, lebih dominan PII FKIP ketika menghadiri peringatan HARBA dan pelantikan pengurus PII di Anjong Mon Mata, misalnya.   

PD PII Perguruan Tinggi 

Setelah menyelesaikan amanah kepemimpinan di PK PII FKIP, saya berkesempatan menjadi PD PII Perguruan Tinggi (PD PT) periode 1987-1988, dengan jabatan Ketua Bidang Ekstern. Kemudian setelah reshuffle kepengurusan, saya menjadi Ketua Bidang Pembinaan Masyarakat Pelajar (PMP).  Ketuanya Edwar M Dahlan (mahasiswa FT USK, hilang dalam tsunami tahun 2004) dan Sekretaris Zaki Fuad Chalil (mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry).  Wilayah kerja PD PT mencakup seluruh perguruan tinggi di Banda Aceh. 

PD PT adalah satu-satunya PD PII di Indonesia yang anggotanya mahasiswa dan berbasis kampus, sementara PD PII lain seluruhnya berbasiswa pelajar.  Ini adalah ijtihad Aceh, yang menurut M Munir Azis (almarhum mantan anggota DPRA dan Ketua DPW Syarikat Islam Aceh), memiliki pertimbangan tersendiri. Menurut dia, PD PT tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melatih dan membina mahasiswa, hanya perlu waktu empat tahun. Setelah itu mereka akan bekerja, lalu menjadi donatur atau “pembela” Islam di tempat kerja masing-masing. 

Sementara pembinaan pelajar dilakukan dari masa calon anggota (Maprata) tingkat SD hingga selesai kuliah S1 memerlukan waktu lebih 10 tahun baru memasuki dunia kerja. Demikian pula, menjadikan mahasiswa sebagai peserta training PII akan lebih efektif dalam penyerapan materi-materi pengkaderan. Dari hasil evaluasi training, diakui fanatisme dan militansi kader yang masuk PII sejak tingkat pelajar akan lebih baik dibandingkan mahasiswa. 

Prioritas program PD PT adalah menyelenggarakan training tingkat dasar dan mental. Bahkan, untuk meningkatkan kuantitas peserta training, PD PT membuat kebijakan training hanya berlangsung malam hari saja sampai waktu Subuh. Siang hari bisa digunakan waktu untuk kuliah. Kebijakan ini sempat menjadi perdebatan di kalangan instruktur dan PW PII Aceh, sebab dianggap tidak efektif dalam membentuk sikap dan prilaku peserta training. Kader dengan pola ini diyakini hanya cerdas intelektualitas, semantara kecerdasan emosional kurang terbentuk. 

PD PT juga menggerakkan pengajian Sabtuan di Musalla KIP di bawah “payung” Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA). FOSMA dibentuk oleh beberapa senior PII tahun 1985 seperti Saleh Miftahussalam, Farid Wajdi Ibrahim, dan Saifuddin A Rasyid dan lain-lain. Tahun 1987 FOSMA dihentikan kegiatannya oleh Rektor USK Ali Basyah Amin, karena ada peserta pengajian yang mengkritik rektor telah membuat mahasiswa USK syirik, akibat kurikulumnya yang tidak sesuai aqidah Islam. Akhirnya melalui rapat pleno PD PT saya dan sahabat M Adli Abdullah ditunjuk untuk meneruskan pengelolaan FOSMA.

Pada umumnya personalia PD PII PT dan KB PII menjadi instruktur, narasumber, dan pemakalah pada seminar-seminar yang diselenggarakan oleh PII dan organisasi lain. Banyak juga yang menjadi khatib, penceramah, dan bahkan menjadi dosen di USK dan UIN. Biasanya lepasan PD PT lebih siap menjadi calon ketua PW PII Aceh. Begitulah dampak dari PII yang intensif meningkatkan kapasitas SDM dan mendorong para kader menempuh pendidikan lebih tinggi. 

Sebagai aktivis PT PT yang sering datang ke Sekretariat PW PII Aceh, saya berkesempatan belajar informal dengan Kanda Mawardi Jamaluddin Tami (Sekum PW PII Aceh, hilang dalam tsunami Aceh tahun 2004) tentang administrasi PII  dan dengan beberapa senior lainnya. Sempat juga membantu beberapa kegiatan PW PII misalnya kegiatan seminar dengan narasumber Dr Muslim Ibrahim dan Drs Tgk H A Rahman Kaoy (1988). Sungguh berkesan saya mendapat “perintah” dari Kanda Saifuddin A Rasyid malam itu, “Sayed silakan tidur cepat, tak perlu kerja lagi, harus siap jadi moderator seminar besok.” Tentu saja kader harus siap menerima perintah ini.     

Menggawangi Kaderisasi PII

Saya mengikuti Musyawarah Wilayah (Muswil)  PII Aceh tahun 1988 dengan cara sembunyi-sembunyi di rumah kanda Abdullah Amin di kawasan Keutapang Dua, Aceh Besar, sebagai peserta utusan PD PT. Ketika itu,  terpilih Farid Wajdi Ibrahim sebagai ketua dan saya terpilih sebagai anggota formatur. Sebagai formatur tentu saja boleh memilih jabatan ketua bidang (pengurus harian) yang diharapkan. Namun sahabat formatur lebih melihat saya tepat pada posisi Ketua Bidang Kaderisasi. 

Sejak Muswil itu PII di Aceh sudah merasakan kegiatannya dilarang, namun organisasinya tidak dibubarkan oleh pemerintah, sehingga strategi yang dipilih semua kegiatan “dakwah” PII tidak lagi menggunakan label PII. Salah satu “cover” yang digunakan adalah Yayasan Kesejahteraan Pelajar Daerah Aceh (Yakpida), yang dipimpin Zulkarnaen Gamal. 

Sebenarnya tahun 1987 adalah batas akhir PII menyesuaikan diri dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan, sampai akhirnya PII dan Ikatan Pemuda Marhaen (IPM) tidak mendaftar di Kementerian Dalam Negeri sebagai ormas kepemudaan yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. 

Karena itu, periode PW PII Aceh yang dipimpin Farid Wajdi Ibrahim praktis tak ada lagi pelantikan, seremonial, dan publikasi. Semua peran dan kiprah PII berlangsung di “bawah tanah”. Artinya, bisa saja kontennya PII, namun penyelengara program dan kegiatan bukan lagi PII, bisa saja Yakpida, Rohis (Studia Islamica, TPCA, Remaja Dakwah, Forum Komunikasi Remaja Muslim dan lain-lain), organisasi mahasiswa, paguyuban daerah, dan yang lebih dominan adalah Remaja Masjid. 

Ketika menjabat sebagai Kabider PW PII Aceh, saya sudah bertempat tinggal di Sekretariat PW PII Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 1 Banda Aceh. Hal ini pula yang memudahkan saya berinteraksi dan konsultasi dengan lebih banyak KB, yang dipandu oleh sahabat Amrul Syah dan anggota PW PII Aceh lainnya seperti Lukman, Zainal Ariffin, Murtadha Hadi, dan lain-lain. 

Pada periode ini, secara informal saya belajar banyak dari tokoh-tokoh PII seperti Kanda Miswar Sulaiman, Muhammad Yus, Alfian Husein Hitam, Zaini Zakaria Alwy, M Munir Azis, Mawardi Jamaluddin Tami, Zulkarnaen Gamal, Bismi Syamaun, Hasanuddin Yusuf Adan, A Malik Raden, AR Rasyidi, Ali Sabi, Ismaiel Syah, A Wahab Musa, Darwis SH, Iskandar Usman, Ameer Hamzah, Zulkifli Amin,  Saifuddin A Rasyid, M Nur Rasyid, dan lain-lain.  

Juga dengan deretan KB PII yang tinggal di Lambaro Skep seperti M Jakfar Puter, Jafaruddin Husin, Nazaruddin A Wahid, dan M Hasbi Amiruddin. Bahkan, ketika kekurangan beras di Sekretariat PII kami sering mendatangi mereka untuk meminta bantuan beras. Pada masa tertentu, rata-rata delapan hingga 13 orang juga sahabat PII makan siang di Sekretariat.    

Walaupun dalam tekanan penguasa, PII tetap menyelenggarakan training dan pembinaan pelajar, remaja, dan mahasiswa dengan berbagai cara. PW PII yang didukung PD PII Kota Banda Aceh dan PD PT masih dapat menyelenggarakan LBT, Mental Training, dan LAT tentu saja dengan jumlah peserta yang terbatas. PB PII masih bisa datang dari Jakarta dan memandu LAT, misalnya saya masih sempat mendampingi PB PII Abdul Baqir Zein dan Azwar Hasan. 

Setiap bulan Ramadhan dan liburan sekolah, saya harus “cuti kuliah” sebab lebih memilih tanggung jawab mengelola training dan pembinaan pelajar. Semangatnya ketika itu adalah, seperti kata Kanda M Munir Azis, PII boleh tidak ada tapi dakwah tak boleh berhenti. Saya menafsirkan dakwah yang dimaksud adalah kaderisasi harus tetap berlangsung walaupun dengan menggunakan nama lembaga lain. 

Dengan jabatan yang penting dan strategis di PW PII itu, saya berupaya maksimal menggawangi dan mengawal kaderisasi PII supaya tetap berlangsung dalam sistem yang telah disepakati secara nasional. Sehingga, saya sering berbeda pendapat dengan beberapa sahabat instruktur yang berupaya menambahkan muatan lokal secara berlebihan. 

Demikian juga saya sempat mengingatkan peserta SDPN Nasional (1990) di Jakarta, hendaknya kembali pada rumusan kaderisasi nasional. Tidak memaksakan konten militansi kader  yang dicontohkan gerakan lain di luar PII. Saya menghadiri SDPN berdua sahabat Zainal Arifin (mantan Wakil Walokota Banda Aceh), dengan fasilitas transportasi dan konsumsi gratis dari Kanda Darwis SH (PMTOH).  

Sungguh periode ini adalah puncak aktualisasi kekaderan di PII. Peran itu saya jalani dalam bentuk merancang, merencanakan, dan mengelola banyak training kader dan pembinaan masyarakat pelajar. Sesekali terpikir juga ingin tampil dan dikenal seperti aktivis organisasi lain, tapi itulah pilihan hidup, risiko menjadi aktivis bawah tanah seperti PII.                    

Ditangkap Laksus Lampineung

Bagian ini tak mudah menulis sejarahnya, sebab keterbatasan informasi dan “kepentingan eksternal” yang tak terbaca. Apalagi ketika itu (1992) kondisi sosial politik Aceh yang menakutkan akibat pemberlakuan DOM dan keberadaan PII yang secara formal dihentikan kegiatannya oleh pemerintah. Sementara pada sisi lain, PW PII Aceh dan PD PII masih menyelenggarakan training pengkaderan dan pembinaan masyarakat pelajar. 

Setelah menyelesaikan amanah periode PW PII Aceh di bawah kepemimpinan Farid Wajdi Ibrahim 1988-1990, saya menghadiri Muswil PII Aceh di Aula Iskandar Abdul Jalil, Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 1 Banda Aceh. Saya satu-satunya calon ketua yang bersaing dengan Saiful Bahri dalam Muswil yang dihadiri hanya belasan peserta itu. Akhirnya Saiful terpilih sebagai Ketua PW PII Aceh, sebab mendapat dukungan suara dari sahabat PII dengan latar belakang kuliah di UIN Ar-Raniry. Saiful sendiri mahasiswa PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN. 

Dalam kabinet Saiful, saya dipercayakan sebagai Ketua Bidang Ekstern dan Hubungan Masyarakat (Humas). Humas adalah nomenklatur baru pada jenjang kepengurusan PW PII, yang sebelumnya hanya dikenal Bidang Ekstern saja. Mungkin maksudnya supaya PII lebih banyak berinteraksi dengan berbagai komponen masyarakat dan bangsa, sementara dari segi publikasi media memang tak mungkin dilakukan lagi. Tak boleh ada berita tentang PII. Satu-satu media yang masih memuat berita PII: Majalah Suara Hidayatullah.   

Seperti periode sebelumnya, PW PII menyelenggarakan training dengan skala terbatas. Yang lebih sering, training formal berlangsung di Sekretariat PW PII. Selain itu, sahabat PW PII dan instruktur mengisi berbagai training informal dan kajian mingguan melalui berbagai kelompok pelajar yang dibentuk di sekolah-sekolah menengah atas di Banda Aceh. PII juga terus mengadakan Pesantren Kilat melalui organisasi Remaja Masjid.

Pada periode ini, mulai intensif pelaksanaan shalat berjamaah di Sekretariat PW PII Aceh disertai kuliah tujuh menit (Kultum), shalat sunat rawatib, dan kajian Islam. Saya merasakan adanya peningkatan spiritualitas yang lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini bisa terjadi sebab, Saiful dan Ilyas A Gani (Sekretaris Umum PW PII, hilang dalam tsunami di penjara militer Lhonga) adalah khatib dan guru pengajian yang dapat diandalkan oleh PII. Demikian juga dari segi interaksi PII Wati dengan PII Wan mulai lebih dibatasi, walaupun belum menggunakan konsep hijab (pembatas laki-laki dan perempuan).

PW PII Aceh memiliki hubungan yang baik dengan DDII Aceh dibawah pimpinan  H Ali Sabi SH, sehingga beberapa sahabat PII mendapat fasilitas mengikuti training dakwah DDII di Brastagi, Sumatera Utara. Demikian juga PW PII dan DDII banyak merekomendir sahabat PII yang melanjutkan studi S2 ke UIA Malaysia melalui fasilitas beasiswa. Yang menarik, PII tak diakui keberadaannya di dalam negeri, justru rekomendasi PII masih berlaku di luar negeri (Malaysia).

Di tengah kesibukan PII Aceh menyelenggarakan berbagai kegiatan, saya mendapat “undangan” yang diantar langusng oleh orang yang tak kami kenal. Ketika itu, 11 Agutus 1992 waktu Ashar,  saya baru pulang dari kampus dan sedang membuka sepatu untuk shalat ashar berjamaah di mushalla PW PII. Lalu undangan disodorkan, namun tak boleh dibuka dan katanya nanti nanti saja dibaca. Saya digiring ke dalam mobil jip yang telah parkir di halaman PW PII Aceh. 

Saya berpikir, ini penangkapan, sebab surat undangan tadi tak dibolehkan saya baca. Mereka tiga orang dengan sopir mengkonfirmasi dimana Saiful dan Ilyas. Tak bertanya lebih lanjut, mereka mendatangi tempat tinggal Saiful di Komplek Masjid Kopelma Darussalam yang sedang dibangun. Kebetulan Ilyas juga sedang ada di sana. Kami pun kemudian diangkut ke Laksus Lampineung, sekitar 5 kilometer dari Kopelma Darussalam.

Setiba di komplek Laksus, saya minta izin untuk shalat Ashar. Selatah itu, kami dimasukkan ke dalam sel seukuran 3 kali 4 meter. Sel itu berdebu, pertanda lama tak digunakan. Di lantai ada alas seperti papan tulis yang tak digunakan lagi. Tak begitu terlihat sebab gelap, tanpa lampu. Kami shalat Maghrib, Isya dan Shubuh berjamaah dengan tanpa air untuk wudhu. Kami harus tayamum. Inilah pengalaman pertama tayamum dan khusuknya shalat di “penjara”.  

Empat hari empat malam kami berada di Laksus Lampineung. Tak ada yang berani menanyakan dan mengunjungi kami di sana. Dengan satu baju di badan, kami menjalani pemeriksaan dan sebagian waktu untuk bersih-bersih lingkungan, mencabut rumput, dan membuang sampah. Kami dipindahkan ke ruang yang tak terkunci, seperti ruang sekolah. Kami istirahat di sana, disertai gigitan nyamuk. Banyak sekali nyamuknya. 

Kami “diperiksa” secara terpisah. Saya ditanyakan oleh intel Laksus Surya tentang aktivitas sehari-hari, jabatan, tanggungjawab di PII, kepengurusan PW PII, struktur organisasi, mekanisme pengambilan keputusan, pergaulan (pertemanan),  serta pandangan tentang Pancasila. Semuanya saya jawab dengan sopan dan rasional. Beberapa bagian Surya meminta saya menulisnya.

Setelah empat hari di Laksus, tepatnya 15 Agustus 1992, kami dibenarkan pulang dan “diperintahkan” mengikuti upacaya peringatan HUT Kemerdekaan RI di Blang Padang. Kami pikir yang paling penting bukan mengikuti upacaya, tapi mencari dan menemui Surya, Anton atau Komandannya (Justus Saleh) untuk membuktikan bahwa kami telah melaksanakan perintah mereka. Syukur kami bisa berjumpa. 

Setelah itu, seluruh anggota PW PII Aceh dan pengurus Yakpida dipanggil ke Laksus Lampineung, namun tidak sampai malam hari. Beberapa hari berlangung seperti itu, kami datang diwawancarai lalu pulang lagi. Dilanjutkan dengan wajib lapor setiap hari ke Korem T Umar di Jalan Ratu Safiatuddin (ketika itu belum terbentuk Kodam Iskandar Muda). Pembicaraan kasus ini dikalangan aktivis PII dan KB PII semakin menegangkan, mengingat kepemimpinan Orba Soeharto yang otoriter. 

Dalam pemanggilan lanjutan ke Laksus, saya sempat “diwawancarai” ulang oleh Komandan Justus Saleh. Dia menggali pandangan saya tentang Pancasila, satu hal yang agak mudah saya menjelaskannya, sebab tahun 1984 kami group SMAN 1 Sabang juara II Cerdas Cermat P4 tingkat pelajar se Aceh, tahun 1985 saya mengikuti Penataran P4 Pola 100 Jam di USK, dan tahun berikutnya mengikuti mata kuliah Pancasila dengan nilai lulus A. Saya merasa cukup memahami Pancasila.

Justus Saleh sempat marah-marah dan pukul meja ketika saya katakan, “Bahwa penyelewengan pemahaman Pancasila yang dilakukan oleh Soekarno menjadi Nasakom, justru yang meluruskannya adalah PII dan Angkatan Darat.” “Apa kamu bilang?”  hentak Justus. Saya katakan, “Itu sejarah yang mencatat.” Hari itu saya tak dibolehkan pulang sampai malam. Saya sempat khawatir dan takut juga. Akhirnya saya pulang berdua Justus. Dia menanyakan saya pulang ke mana. Saya bilang,  “Di Masjid Raya Baiturrahman.” Saya tak sebut lagi di Sekretariat PW PII. 

Suatu hari dalam “pembinaan” di Korem T Umar, saya, Saiful, Ilyas dan Imrana A Samad (Korwil PII Wati) dipanggil ke ruang Kasi Intel Ampi Rantanujiwa. Dia meminta kami menghentikan segala kegiatan PII. Bahkan, ketika itu dia mengatakan, “Kalian lebih baik saya tangkap selama saya dalam jabatan ini.  Saya pernah HMI. Saya tidak tahu bagaimana jika orang lain pada posisi saya.” 

Selama dalam pembinaan dan wajib lapor setiap hari di Korem selama dua bulan, kami diharuskan beraudiensi dengan KNPI, AMPI, dan FKPPI. Kami masih belum tahu, apa yang terjadi, mengapa kami harus berurusan dengan Laksus, mengapa pula ditanyai mendalam tentang Pancasila, dan mengapa harus mendengar ceramah kawan-kawan di OKP lain. Semantara kami adalah juga OKP yang punya hak konstitusional di Indonesia. 

Dalam situasi tertekan seperti tempo hari, tentu saja tak ada diskusi. Tak ada informasi dan analisis. Kami menyadari sedang berada pada era tanpa demokrasi dan kebebasan, apalagi Aceh yang sedang menyandang status DOM. Beberapa kawan dan kenalan malah ditangkap dan tak diketahui keberadaannya. Saya katakan pada Saiful ketika itu, “Kita sedang hadapi masalah dengan lawan, kita harus solid. Jangan bahas dulu hal-hal yang tidak penting.”

Dalam perjalanan ke kantor KNPI di Jambo Tape, Saiful sempat menanyakan kepada saya, siapa penyelusup dan pengkhianat di PII. Siapa yang membocorkan dokumen dan foto-foto aktivitas PII.  Untuk ini, saya minta Saiful tak membahasnya, fokus saja saja pada masalah yang sedang kita hadapi. Pada waktu yang tepat kita bisa pelajari dan meminta kawan-kawan bersumpah. Hal yang sama saya sampaikan pada Kanda Zulkarnaen Gamal dengan lebih tegas, “Cek Jol jangan ikut sebarkan fitnah. Tak ada pengkhianat di PII. Sebagai senior dan instruktur yang saya kagumi Cek Jol jangan termakan fitnah.” Kami berbicara empat mata di teras Masjid Raya Baiturrahman. 

Selanjutnya, PW PII Aceh benar-benar vakum, tak ada lagi kegiatan.  Saya masih tinggal di Sekretariat PW PII Aceh bersama sahabat Zulkarnaen Zamzami.  Ada juga Ridwan Amiruddin. Sampai sekarang, saya belum pernah konfirmasi ke Saiful dan Ilyas apakah mereka pernah menyerahkan stempel PW PII ke Kasi Intel Korem atau dia simpan dimana. 

Setelah dua bulan  berurusan dengan Laksus dan wajib lapor di Korem, kami pun belum dapat menganalisis mengapa kami semua ditangkap? Kami pun hanya menduga-duga saja. Tak ada lagi rapat PW PII dan KB PII untuk membahas kasus ini. Saya hanya sempat mendengar komentar Pak Ampi yang didengar Kanda M Jakfar Puteh (ketika audiensi PB Inshafuddin), bahwa “anak-anak itu, pinter-pinter, tapi entah kenapa mereka ikut PII.” Begitupun kata kandar Miswar Sulaiman mengatakan, “Menurut analisa intelijen, PII harus dihentikan, jika tidak, kader-kader PII akan turut mempercepat besarnya GAM.”

Bisa jadi informasi yang Kanda Miswar dengar ada benarnya, sebab penangkapan aktivis PII tidak terjadi pada PW PII lain di seluruh Indonesia, termasuk di Yogyakarta sebagai tempat berdirinya PII, 4 Mei 1947. Fakta memaang menunjukkan, bahwa  banyak kader PII di seluruh Aceh, sesuatu yang tak bisa dihindari, sebab dari segi jumlah anggota PII di Aceh lebih banyak dibandingkan daerah lain. Beberapa tokoh GAM pun PII seperti Hasan Muhammad di Tiro, Zaini Abdullah, Abdullah Syafi’i, dan Muzakir Manaf.             

Sebagai aktivis PII sejak PD PII di Sabang, saya berpikir PW PII dan PII sudah berakhir, karena itu sejak akhir tahun 1992 saya memutuskan bergabung dengan OKP lain, Pemuda Muhammadiyah, yang kantornya hanya berjarak 100 meter dari PW PII Aceh. Dengan demikian jenjang kepengurusan saya di PII pun harus berakhir, tak sempat lagi melanjutkan ke jenjang yang paling tinggi: PB PII di Jakarta.

Sumber: mediaaceh.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...