Zakat dan pengelolaannya di Aceh, selain merupakan ketentuan
syariat Islam, telah pula menjadi hukum positif. Sebab zakat dan pengelolaannya
diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. Zakat sebagai hukum
positif mengikat muzakki (wajib zakat)
dan mengatur amil sebagai pemegang otoritas manajemen zakat.
UUPA pasal 191 memberi kewenangan pengelolaan zakat kepada
Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota dalam provinsi Aceh, yang
selanjutnya diatur dengan Qanun Aceh. Pasal 192 UUPA menjadi landasan zakat
sebagai pengurang pajak penghasilan dan pasal 180 menetapkan zakat sebagai
salah satu PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena itu, zakat di Aceh dikelola oleh negara
(pemerintah). Tak diberi ruang lagi pihak swasta menjadi amil zakat.
Pasal 21 ayat (1) Qanun 10/2007 menetapkan, “Setiap orang
yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan berdomisili
dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat sebagai muzakki
menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.” Qanun juga telah menetapkan wilayah
kerja masing-masing tingkatan Baitu Mal: Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kab/Kota,
Baitul Mal Kemukiman (pemerintahan setingkat di bawah kecamatan) dan Baitul Mal
Gampong/Desa.
Sementara jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakat, disebutkan
dalam Pasal 18 Qanun 10/2007, yaitu: zakat emas, perak, logam mulia lainnya dan
uang; zakat perdagangan dan perusahaan;
zakat perindustrian; zakat pertanian, zakat perkebunan dan perikanan;
zakat peternakan; zakat pertambangan; zakat pendapatan dan jasa; dan zakat
rikaz.
Ketentuan pidana
Lebih lanjut, terhadap pelanggar zakat di Aceh, dikenakan
pidana seperti diatur dalam pasal 50, bahwa setiap muzakki (orang Islam atau
badan) yang tidak melaksanakan kewajibannya, dihukum karena melakukan jarimah
ta’zir (hukuman denda) dengan ‘uqubat (pidana), berupa denda paling sedikit
satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak dua kali nilai zakat
yang wajib dibayarkan. Bagi perusahaan yang memerlukan audit khusus oleh Baitul
Mal, wajib membayar seluruh biaya yang diperlukan.
Qanun 10/2007 juga menetapkan pidana bagi yang membuat surat
palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat mengakibatkan gugurnya
kewajiban membayar zakat, yaitu dihukum dengan uqubat ta’zir berupa denda
paling banyak Rp 3 juta, paling sedikit Rp 1 juta atau hukuman kurungan paling
lama tiga bulan atau paling sedikit satu bulan.
Kemudian, siapa yang melakukan, turut melakukan atau membantu
melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya, yang seharusnya
diserahkan pengelolaannya kepada Baitul Mal, dihukum berupa cambuk di depan
umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, dan denda paling sedikit
satu kali, paling banyak dua kali dari nilai zakat, waqaf dan harta agama yang
digelapkan.
Amil (petugas Baitul Mal) yang mengelola zakat fitrah
dan zakat mal pada Baitu Mal Gampong dan
nazir waqaf, yang melakuklan penyelewengan pengelolaan zakat dan harta agama
dihukum uqubat ta’zir berupa denda Rp 1 juta, paling banyak Rp 3 juta atau
hukuman kurungan paling singkat dua bulan atau paling lama enam bulan dan
membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta gama yang
diselewengkan.
Sementara jika pelanggaran atau penyelewengan dilakukan oleh
badan (perusahaan, PT, CV dan koperasi dan yayasan sebagai wajib zakat)
‘uqubatnya dijatuhkan kepada pimpinan atau pengurus badan tersebut, sesuai
dengan tanggungjawabnya.
Qanun 10/2007 pasal 45-49 telah pula mengatur tentang
mekanisme penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran zakat dan
pengelolaannya di Aceh, sehingga Baitul Mal dapat melaporkan kepada polisi
muzakki yang ingkar zakat dan amil yang melakukan penyimpangan zakat dan harta
agama. Selanjutnya diadili oleh Mahkamah Syar’iyah.
Demikian ketentuan pidana Islam tentang zakat dan pengelolaannya
di Aceh, yang telah diatur dalam Qanun 10/2007, sebagai implementsai syariat Islam
kaffah. Ketentuan pidana ini lebih
maju dibandingkan pengaturan dalam UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat, yang hanya memberi sanksi kepada amil yang melakukan penyimpangan.
Semoga dengan ketentuan pidana ini kesadaran muzakki akan
terus meningkat dan amil pun lebih amanah dan profesional. Zakat semakin
dirasakan manfaatnya dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan pembebasan sosial di
negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar