Sedikit penulis mengulas
peran politik muslimah. Justru yang banyak penulis mengkaji peran pendidikan
muslimah dalam keluarga. Muslimah diyakini sebagai “madrasah” yang efektif
dalam menyiapkan generasi baru, mulai dari kandungan hingga seorang anak
dewasa. Seorang muslimah memang disiapkan sebagai ibu generasi: melahirkan
generasi baru muslim yang kuat dan taqwa.
Hanya saja, peran
politik muslimah tetap saja dalam perdebatan. Sebagian ulama dan intelektual
muslim memberi ruang yang luas bagi seorang muslimah berperan di sektor
politik, sebagian lagi menolaknya. Akibatnya, peran politik muslimah tak
berlaku sama pada setiap negara Islam atau negara mayoritas berpenduduk muslim.
Sangat tergantung pada pemahaman Islam dan politik negara tersebut.
Sementara sejarah kepempimpinan
Aceh pernah dipimpin raja seorang muslimah, juga tak luput dari prokontra
muslimah sebagai seorang pemimpin, sebab pemimpin adalah peran politik
tertinggi. Ini sangat dipengaruhi dominasi ulama dan cendikiawan muslim sebagai
pemegang otoritas keislaman dan sejauhmana politik mengintervensi agama untuk
kepentingan politik.
Dalam konteks
kekinian, pemahaman keislaman yang moderat dalam pelaksanaan syariat Islam,
cukup membantu upaya peningkatan peran muslimah pada sektor politik. Agenda
demokrasi politik yang sedang berlangsung di negeri ini, ikut mempengaruhi
pemahaman politik Islam: tidak membedakan antara laki-laki dan muslimah
(perempuan). Disini ada titik temu antara syariah dan demokrasi.
Karena itu, dengan iklim
yang kondusif bagi kaderisasi muslimah politik, Aceh dapat terus melahirkan
banyak kader politik muslimah. Kaderisasi politik yang selama berlangsung
melalui Ormas Islam, LSM Islam, Parpol Islam dan perguruan tinggi dapat terus
terus berlangsung, yang pada akhirnya melahirkan banyak politisi muslimah. Politisi
ini diharapkan mampu mengimplementasikan politik Islam dalam pembangunan Aceh.
Dalam hal ini, kita
merasa perlu memberi dukungan dan penciptaan iklim yang kondusif bagi politisi
muslimah yang sedang dan akan berperan dalam sektor politik. Muslimah kita yang
sedang bekerja sebagai walikota, anggota parlemen, kepala dinas, lembaga daerah,
bahkan keuchik, seharusnya mendapat apresiasi yang sama dengan laki-laki. Jadi,
Islam Aceh memang tak membedakan laki-laki dan muslimah dalam dunia politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar