Jumat, 20 Februari 2015

Menjadi Lebih Sosialis

Oleh: Sayed Muhammad Husen 

Sejak kapan Bang Sayed belajar bisnis? Demikian pertanyaan seorang teman ketika bertemu baru-baru ini di sebuah warkop di Banda Aceh. Bisa jadi pertanyaan itu terkait  dengan berita di hidayatullah.com, “BQ Baiturrahman Membukukan Laba Rp 80 Juta”. Dia tahu, saya menjabat Wakil Ketua Pengurus Baitul Qiradh Baiturrahman (BQB), lembaga keuangan mikro syariah. Menurut dia, BQB adalah lembaga bisnis.

Pertanyaan teman dia atas menarik ditelusuri, sejak kapan saya “bersinggungan” dengan dunia bisnis atau entrepreneurship.

Ayah guru pertama

Ayah, Tgk M Husen bin Puteh (1938-2007) seorang swasta murni. Dia bisa bekerja apa saja, yang penting menghasilkan uang dan halal. Sejak muda ia telah menjadi muge (agen) buah-buahan, lalu pernah berjualan beras, kue, nasi gurih dan menjadi tukang pangkas rambut. Pekerjaanya terakhir jualan ikan keliling kampung dengan mengggunakan sepeda.

Ayah cukup lama bekerja sebagai mandor pada proyek-proyek pembangunan jalan di Sabang. Hampir seluruh ruas jalan di Sabang periode 1970-1985 Ayah ikut mengerjakannya. Proyek jalan terakhir dia kerjakan, peningkatan jalan Simpang Peut Nagan Raya bersama Firman Dez.

Saya mendapatkan pengalaman bisnis pertama secara langsung dari Ayah ketika usia remaja di Sabang. Dua pekerjaan yang benar-benar melibatkan saya: bisnis jualan nasi gurih dan proyek pembangunan jalan. Namun, Ayah lebih menganjurkan saya untuk belajar, mengaji al Quran, ikut organisasi PII dan Remaja Masjid.

Belakangan saya tahu, dunia kontraktor yang Ayah geluti tak begitu bersih, maka dia tak setuju saya meneruskan kariernya sebagai mandor/kontraktor. Ayah pun meninggalkan pekerjaan itu, melakukan taubat dan pensiun sebagai petani/penjual ikan di Trienggadeng.

Belajar dari Alfian Husein

Ketika menjadi aktivis PII di Banda Aceh 1986-1992, senior yang sering kami kunjungi adalah M Alfian Husein Itam, mantan Manajer Puskud Aceh. Setiap kunjungan kami ke rumahnya di Lampineung Banda Aceh, dia cukup sering membicarakan tema ekonomi kerakyatan dan  kewirausahaan.

Alfian cukup peduli pada pengembangan ekonomi dan kemandirian masyarakat. Dia tak apriori terhadap perjuangan teman-temannya di jalur politik, namun dia lebih suka mendukung aktivitas entrepreneurship. “Aktivis juga mesti mandiri secara ekonomi,” katanya.

Ketika itu, saya dan kawan-kawan PII tak begitu respek terhadap gagasan ekonomi Alfian, namun karena teralalu sering berdiskusi dengan dia, pastilah terpengaruh juga. Dia pernah mengajak kami bisnis ternak kambing di Krueng Jreu, Indrapuri, Aceh Besar.

Ketika saya mengikuti Pelatihan Manajemen BMT (Baitul Mal Wattamwil) di Jakarta (1995), saya menjadi teringat kembali petuah-petuah Alfian dalam memajukan ekonomi ummat. Pelatihan BMT telah membuka mata saya akan pentingnya pengembangan ekonomi ummat. “Kita harus melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada konglomerat mata sipit,” kata Hasballah Saad, organizer pelatihan.  

Nyak-nyak sebagai guru   

Selama mendirikan dan bekerja di Baitul Qiradh Baiturrahman (BQB), saya lebih intens berinteraksi dengan pengusaha. Mereka menjadi mitra sebagai pemodal, penabung dan peminjam dana.

Saya juga berkesempatan belajar dari nyak-nyak di Pasar Aceh, tentang bagaimana mereka bisa bertahan hidup dan mengembangkan usaha. Belajar dari tauke ikan, muge cabe dan bawang, serta pedagang kali lima yang sering kali digusur pemerintah. Pembelajaran termahal adalah pengalaman dan semangat mereka dalam berwirausaha. Mereka “tahan banting”.

BQB menjadi guru saya tentang bagaimana menggalang dan mengelola dana. Rupanya begitulah orang mengelola bank. Saya dan teman-teman di BQB, seakan menjadi banker Islam pada tataran mikro.

BQB telah membuat saya terjun lebih intens dalam dunia wirausaha. Kesimpulan itu tak seluruhnya benar, sebab gerakan BQ dan BMT di luar Aceh bukan semata-mata bisnis, tapi lebih merupakan sosial entrepreneurship. BQ adalah bisnis sosial, yaitu kegiatan sosial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis.

Melangkah lebih sosialis

Setelah tiga tahun saya bekerja di  BQB, saya mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dibandingkan apa yang dikerjakan BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Sahadqah) dalam memberdayakan ummat. BAZIS bisa memberikan modal usaha tanpa bunga atau menghibahkannya.

Sementara secara tak langsung BQ berbisnis dengan pengusaha mikro. Mendapatkan margin dari dana yang dipinjamkan kepada pedagang kaki lima dan peminjam lainnya.   

BQ sebagai pengembangan konsep BMT, bergerak tak seimbang. Hanya mengandalkan praktek Baituttamwil (rumah pembiayaan) dan melupakan Baitulmal (rumah harta). Mengedepankan bisnis dan lemah peran sosial.

Penilaian itu, saya sampaikan dalam sebuah pelatihan manajemen BQ di Saree, Aceh Besar, 1998. Ada elit Pinbuk Aceh salah paham terhadap penilian itu, sehingga saya pun tak diberi kesempatan lagi menjadi fasilitator pada pelatihan-pelatihan BQ.

Saya meninggalkan jabatan Direktur BQB, setelah rapat LPJ pengurus 2001.

Doa untuk dapat bekerja di lembaga amil zakat Allah kabulkan. Saya “dilamar” Drs H Nurdin AR untuk bekerja di Baitul Mal Aceh (BMA) yang beroperasi Januari 2004. Masalahnya, sudah lebih tujuh tahun bekerja di BMA, saya tak pernah dimutasi dari bidang pengumpulan, maka praktis tak bisa maksimal “menularkan” pengalaman pemberdayaan ekonomi yang saya peroleh dari BQ.  

Saya mendapatkan pengalaman sosial yang lebih banyak di BMA dibandingkan di BQ, sehingga saya merasa lebih sosialis (tapi sosialis bertauhid). Salama di BMA, juga berinteraksi dengan aktivitas pengembangan wirausaha, pemberdayaan ekonomi dan keislaman.

Jadi, menjawab pertanyaan teman di atas, lebih tepat dikatakan: “Saya sedang tidak berada pada barisan wirausaha, tapi lebih tepat sosial entrepreneurship.” Itupun tidak full sosial entrepreneurship, mengingat BMA juga bagian dari negara. Biaya operasionalnya ditanggung Pemerintah Aceh. Prinsip-prinsip entrepreneurship tak diterapkan 100%. Hanya saja operasional BMA dalam mengelola ZISWAF --sesuai ketentuan qanun-- tetap independen.

Mungkin saja saya tak berkesempatan lagi belajar bisnis, tapi akan lebih berpeluang terus mengikuti perkembangan sosial entrepreneur. Menjadi sosial entrepreneur. Itu pun masih terus digoda pilihan lain: menjadi anggota parlemen atau konsultan media.

Allah jua yang akan menentukan langkah berikutnya. Patuh saja pada skenario-Nya. Ada juga tawaran menjadi PNS, tapi biarlah terus “mengalir” langkah ini. Semoga semuanya lancar dan berkah.   

Alue Deah Teungoh, 4 Mei 2011           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...