Sejak kapan Bang Sayed belajar bisnis? Demikian
pertanyaan seorang teman ketika bertemu baru-baru ini di sebuah warkop di Banda
Aceh. Bisa jadi pertanyaan itu terkait
dengan berita di hidayatullah.com, “BQ Baiturrahman Membukukan Laba Rp
80 Juta”. Dia tahu, saya menjabat Wakil Ketua Pengurus Baitul Qiradh
Baiturrahman (BQB), lembaga keuangan mikro syariah. Menurut
dia, BQB adalah lembaga bisnis.
Pertanyaan teman dia atas menarik
ditelusuri, sejak kapan saya “bersinggungan” dengan dunia bisnis atau entrepreneurship.
Ayah guru pertama
Ayah, Tgk M Husen bin Puteh (1938-2007) seorang swasta murni. Dia bisa bekerja apa saja, yang penting menghasilkan uang dan
halal. Sejak muda ia telah menjadi muge
(agen) buah-buahan, lalu pernah berjualan beras, kue, nasi gurih dan menjadi
tukang pangkas rambut. Pekerjaanya terakhir jualan ikan keliling kampung dengan
mengggunakan sepeda.
Ayah cukup lama bekerja sebagai mandor
pada proyek-proyek pembangunan jalan di Sabang. Hampir seluruh ruas jalan di
Sabang periode 1970-1985 Ayah ikut mengerjakannya. Proyek jalan terakhir dia
kerjakan, peningkatan jalan Simpang Peut Nagan Raya bersama
Firman Dez.
Saya mendapatkan pengalaman bisnis
pertama secara langsung dari Ayah ketika usia remaja di Sabang. Dua pekerjaan
yang benar-benar melibatkan saya: bisnis jualan nasi gurih dan proyek
pembangunan jalan. Namun, Ayah lebih menganjurkan saya untuk belajar, mengaji al Quran, ikut organisasi PII dan Remaja Masjid.
Belakangan saya tahu, dunia kontraktor
yang Ayah geluti tak begitu
bersih, maka dia tak setuju saya meneruskan kariernya sebagai mandor/kontraktor. Ayah
pun meninggalkan pekerjaan itu, melakukan taubat dan pensiun sebagai
petani/penjual ikan di Trienggadeng.
Belajar dari Alfian Husein
Ketika menjadi aktivis PII di Banda Aceh 1986-1992,
senior yang sering kami kunjungi adalah M Alfian Husein Itam, mantan Manajer Puskud Aceh. Setiap kunjungan kami
ke rumahnya di Lampineung Banda Aceh, dia cukup sering membicarakan tema ekonomi kerakyatan
dan kewirausahaan.
Alfian cukup peduli pada pengembangan
ekonomi dan kemandirian
masyarakat. Dia tak apriori
terhadap perjuangan teman-temannya di jalur politik, namun dia lebih suka
mendukung aktivitas entrepreneurship. “Aktivis
juga mesti mandiri secara ekonomi,” katanya.
Ketika itu, saya dan kawan-kawan PII tak
begitu respek terhadap gagasan ekonomi Alfian, namun karena teralalu sering berdiskusi dengan dia, pastilah terpengaruh
juga. Dia pernah mengajak kami bisnis ternak
kambing di Krueng Jreu, Indrapuri, Aceh Besar.
Ketika saya mengikuti Pelatihan Manajemen BMT
(Baitul Mal Wattamwil) di
Jakarta (1995), saya menjadi teringat
kembali petuah-petuah Alfian dalam memajukan ekonomi ummat. Pelatihan BMT telah membuka mata saya akan pentingnya
pengembangan ekonomi ummat. “Kita harus melepaskan diri dari ketergantungan
ekonomi pada konglomerat mata sipit,” kata Hasballah Saad, organizer
pelatihan.
Nyak-nyak sebagai guru
Selama mendirikan dan bekerja di Baitul
Qiradh Baiturrahman (BQB), saya lebih intens berinteraksi dengan pengusaha. Mereka
menjadi mitra sebagai pemodal, penabung dan peminjam dana.
Saya juga berkesempatan belajar dari
nyak-nyak di Pasar Aceh, tentang bagaimana mereka bisa bertahan hidup dan
mengembangkan usaha. Belajar dari tauke ikan,
muge cabe dan bawang, serta pedagang
kali lima yang sering kali digusur pemerintah. Pembelajaran termahal adalah
pengalaman dan semangat mereka dalam berwirausaha. Mereka “tahan banting”.
BQB menjadi “guru” saya tentang bagaimana menggalang dan mengelola
dana. Rupanya begitulah orang mengelola bank. Saya dan teman-teman di BQB, seakan menjadi banker Islam
pada tataran mikro.
BQB telah membuat saya terjun lebih intens
dalam dunia wirausaha. Kesimpulan itu tak seluruhnya benar, sebab gerakan BQ
dan BMT di luar Aceh bukan semata-mata bisnis, tapi lebih merupakan sosial
entrepreneurship. BQ adalah bisnis sosial, yaitu kegiatan sosial yang dikelola
dengan prinsip-prinsip bisnis.
Melangkah lebih sosialis
Setelah tiga tahun saya bekerja di BQB, saya mulai merasakan ada sesuatu yang
kurang dibandingkan apa yang dikerjakan BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan
Sahadqah) dalam memberdayakan ummat. BAZIS bisa memberikan modal usaha tanpa
bunga atau menghibahkannya.
Sementara secara tak langsung BQ
berbisnis dengan pengusaha mikro. Mendapatkan margin dari dana yang dipinjamkan
kepada pedagang kaki lima dan peminjam lainnya.
BQ sebagai pengembangan konsep BMT,
bergerak tak seimbang. Hanya mengandalkan praktek Baituttamwil (rumah
pembiayaan) dan melupakan Baitulmal (rumah harta). Mengedepankan bisnis dan
lemah peran sosial.
Penilaian itu, saya sampaikan dalam
sebuah pelatihan manajemen BQ di Saree, Aceh Besar, 1998. Ada elit Pinbuk Aceh salah
paham terhadap penilian itu, sehingga saya pun tak diberi kesempatan lagi
menjadi fasilitator pada pelatihan-pelatihan BQ.
Saya meninggalkan jabatan Direktur BQB,
setelah rapat LPJ pengurus 2001.
Doa untuk dapat bekerja di lembaga amil zakat
Allah kabulkan. Saya “dilamar” Drs H Nurdin AR untuk bekerja di Baitul Mal Aceh
(BMA) yang beroperasi Januari 2004. Masalahnya, sudah lebih tujuh tahun bekerja
di BMA, saya tak pernah dimutasi dari bidang pengumpulan, maka praktis tak bisa
maksimal “menularkan” pengalaman pemberdayaan ekonomi yang saya peroleh dari
BQ.
Saya mendapatkan pengalaman sosial yang
lebih banyak di BMA dibandingkan di BQ, sehingga saya merasa lebih sosialis (tapi
sosialis bertauhid). Salama di BMA, juga berinteraksi dengan aktivitas
pengembangan wirausaha, pemberdayaan ekonomi dan keislaman.
Jadi, menjawab pertanyaan teman di atas,
lebih tepat dikatakan: “Saya sedang tidak berada pada barisan wirausaha, tapi
lebih tepat sosial entrepreneurship.” Itupun tidak full sosial entrepreneurship,
mengingat BMA juga bagian dari negara. Biaya operasionalnya ditanggung Pemerintah
Aceh. Prinsip-prinsip entrepreneurship tak diterapkan 100%. Hanya saja operasional
BMA dalam mengelola ZISWAF --sesuai ketentuan qanun-- tetap independen.
Mungkin saja saya tak berkesempatan lagi
belajar bisnis, tapi akan lebih berpeluang terus mengikuti perkembangan sosial
entrepreneur. Menjadi sosial entrepreneur. Itu pun masih terus digoda pilihan
lain: menjadi anggota parlemen atau konsultan media.
Allah jua yang akan menentukan langkah
berikutnya. Patuh saja pada skenario-Nya. Ada juga tawaran menjadi PNS, tapi biarlah
terus “mengalir” langkah ini. Semoga semuanya lancar dan berkah.
Alue Deah Teungoh, 4
Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar