Pertemuan Pengurus Masjid Agung Kabupaten/Kota Seluruh Aceh tahun 2002 di
Banda Aceh menggagas pembentukan Badan Usaha Milik Masjid (BUMM). Badan usaha
ini dimaksudkan untuk menopang biaya oprasional masjid dan kesejahteraan jamaah/masyarakat.
Lahirlah rekomendasi yang mengikat pengurus masjid se Aceh: perlu dibentuk BUMM
setiap masjid kabupaten/kota. Sementara masjid kecamatan/kemukiman akan
dikembangkan secara bertahap
Pada pertemuan itu, saya menginformasikan kegiatan ekonomi Masjid Raya Baiturrahman. Masjid ini dianggap berhasil mengembangkan radio siaran swasta dan baitul qiradh (lembaga keuangan mikro syariah). Pada awalnya, radio (1970-an) belum berorientasi profit, tapi sekarang dapat dikatakan mandiri dan membiayai dirinya sendiri. Demikian juga baitul qiradh yang beroperasi sejak 1995, pada awalnya operasional masih mengutamakan fungsi sosial, kini kegiatan bisnis itu telah menghasilkan laba.
Baitul Qiradh dikembangkan ICMI banyak masjid pada tahun 1995 (hampir 40 masjid se Aceh), walau tak semua dapat bertahan. Saat ini, baitul qiradh berbasis masjid di Banda Aceh masih beroperasi seperti Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Al-Furqan Beurawe. Sementara Masjid Baiturrahim Ulee Lheu hancur akibat tsunami dan Masjid Jami’ Lueng Bata tak diteruskan pengembangannya.
Dari pengalaman yang ada, kegiatan ekonomi masjid lebih mudah dalam mengembangkan usaha, karena didukung oleh citra yang baik di mata masyarakat/jamaah. Mitra bisnis lebih suka bekerja dengan mitra yang amanah dan jujur. Sifat amanah dan jujur ini pasti dimiliki pengurus masjid.
Potensi
Saya pikir, sangat besar peluang untuk mengembangkan bisnis masjid,
terutama di Kota Banda Aceh, yang mengusung visi kota madani. Paling tidak ada tiga potensi ekonomi dapat menjadi modal
dasar dalam pemberdayaan ekonomi masjid ini: pertama, potensi SDM pengurus
masjid. Setiap masjid memiliki pengurus yang terdiri dari berbagai
latar-belakang. Sebagian dari pengurus itu dapat diberikan tugas/amanah untuk
merencanakan dan mengurus kegiatan-kegiatan ekonomi.
Kedua, potensi jamaah dan jaringan. Ini sekaligus menjadi potensi pasar yang menjanjikan. Setiap masjid memiliki jamaah tetap yang dapat menjadi sasaran pemasaran satu produk. Demikian pula jaringan masjid yang ada seperti DKMA (Dewan Kemakmuran Masjid Aceh), DMI (Dewan Masjid Indonesia) dan BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia).
Ketiga, potensi modal atau sumber dana. Dari sekitar 100 masjid di Kota Banda Aceh rata-rata tiap masjid tersisa dana kas yang tidak digunakan mencapai Rp 5-10 juta. Bahkan, data terakhir, kas Masjid Raya Baiturrahman mencapi Rp 5 milyar. Sebagian dana itu dapat saja digunakan untuk modal kegiatan pemberdayaan ekonomi.
Lalu, bisnis apa yang cocok dikembangkan oleh masjid? Untuk ini, pengurus masjid harusl terlebih dahulu melakukan studi kelayakan usaha, walaupan saya tahu, bisnis radio dan baitul qiradh tak diawali dengan studi kelayakan. Hal itu bisa dimaklumi, karena gagasan awalnya memang memadukan konsep sosial dan konsep ekonomi.
Untuk masjid-masjid lainnya, selain dapat “belajar” dari pengalaman Masjid Raya Baiturrahman mengembangkan bisnis radio dan baitul qirtadh, dapat juga mengembangkan kegiatan ekonomi lainnya seperti klinik kesehatan, praktik dokter bersama, apotik/toko obat, toko buku, perkebunan, kontraktor, konsultan, pembelian hasil bumi, indutri kecil, sewa toko/sewa rumah, biro jasa haji dan umrah, katering, dan jenis lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi masjid masing-masing.
Fasilitasi Pemko
Dalam hal inilah, diperlukan fasilitasi dan kemitraan Pengurus Masjid
dengan Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh. Pemko Banda Aceh dapat menambah
muatan kota madani dengan menggerakkan ekonomi rakyat (syariah) berbasis
masjid. Menghapus praktek ekonomi ribawi dan memproteksi ekonomi rakyat dengan
membatasi berkembangnya pasar modern, yang justru mematikan pasar
tradisional.
Pemko dapat membantu pengurus masjid melakukan perencanaan kegiatan ekonomi masjid, mendukung peningkatan SDM, dan sosialisasi yang memadai kepada jamaah/masyarakat. Sehingga masalah yang dihadapi berupa keterasingan masjid dengan aktivitas ekonomi dapat diatasi. Secara bertahap pandangan sempit sebagian terhadap ekonomi dan bisnis berbisnis dapat diminimalisir.
Jadi sudah saatnya pengurus masjid dan Pemko bermitra menyelesaikan problema kemiskinan dan pengangguran. Salah satu upaya itu dengan menggerakkan pemberdayaan ekonomi berbasis masjid. Langkah awal dapat dilakukan dengan mengembangkan pelatihan-pelatihan kewirausahaan dan dan pelatihan keterampilan di lingkungan masjid.
Dengan demikian, posisi masjid bukan hanya tempat ibadah dalam arti sempit, tapi masjid tempat membina dan mensejahterakan umat. Demikian pula, bicara syariat islam di Kota Madani bukan hanya aqidah, aliran sesat, dakwah Jumatan, razia salon, dan cambuk, tapi juga mengaplikasikan ekonomi syariah. Maka, mari kita memulainya dari masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar