Sabtu, 07 Maret 2015

LKMS Baitul Qiradh

Oleh: Sayed Muhammad Husen


Gerakan awal Baitul Mal Wattamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang di Aceh dikenal dengan Baitul Qiradh (BQ) berangkat dari kegelisahan aktivis Islam terhadap kualitas umat Islam di Indonesia. Betapa tidak, umat mayoritas di negeri tidak taat dalam mengamalkan ajaran Islam dan tidak memiliki akses terhadap modal usaha dari perbankan. Umumnya kualitas sumber daya manusia umat Islam rendah dan hidup di bawah garis kemiskinan. Pada sisi lain, umat Islam Indonesia belum dapat mengamalkan ajaran Islam dengan baik akibat praktek perbankan sistem ribawi.

Umat Islam Indonesia mendapatkan momentum dengan diresmikannya Bank Muamalat Indonesia 1992, sebuah bank yang beroperasi dengan sistem syariah. Kekuasaan Soeharto pun (waktu itu) memberi dukungan penuh terhadap hadirnya bank yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini. Momentum ini pula menjadi pendorong tumbuhnya BMT sebagai lembaga keuangan umat yang memfasilitasi pemberdayaan ekonomi umat di lapisan bawah. Sebelumnya, BMT masih bersifat “informal”, yang dirintis sejak 1982 dengan nama Baituttamwil Teknosa di Bandung.

BMT memberdayakan umat dengan dua cara: pertama, meningkatkan pemahaman terhadap ajaran Islam. Umat diorganisir untuk mengikuti pengajian rutin yang dibimbing oleh ustaz/murabbi. Materi yang disajikan mencakup pengetahuan dasar keislaman, aqidah dan  ibadah. Selanjutnya diperluas dengan pengetahuan tentang muamalah (sosial ekonomi dan kemasyarakatan). Kelompok diarahkan untuk mengaktualisasikan semangat solidaritas yang telah mulai tumbuh, maka diaktifkanlah kegiatan simpan pinjam. Tentu, kegiatan ini mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti mudharabah (bagi hasil),  (jual beli) dan qardhul hasan (pinjaman kebajikan).

Pembentukan BQ di Aceh dilakukan oleh 40 alumni Pelatihan dan Magang Pengelola BMT Mei - Juni 1995 di Jakarta. Pelatihan  ini difasilitasi oleh Yayasan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) dan Taman Iskandar Muda. Pinbuk adalah badan otonom di bawah ICMI yang dibentuk khusus untuk mengembangkan BMT di seluruh Indonesia.

Tentang pilihan nama BQ dan bukan BMT, rupanya mengacu kepada saran Tgk H Nasiruddin Daud dalam lokakarya Inshafuddin di Meulaboh. Ketika itu, para ulama menyatakan istilah qiradh sudah dikenal lama dalam kajian fikih di Aceh. Dengan menggunakan nama BQ diyakini akan memudahkan dalam proses sosialisasi di tengah-tengah masyarakat.

Pada 8 Juli 1995 Menristek Prof DR BJ Habibie meresmikan 50 BQ seluruh Aceh di Masjid Raya Baiturrahman. Habbie menyerahkan modal usaha Rp 1 juta tiap BQ. Peresmian itu bertepatan dengan berlangsungnya Muktamar Muhammadiyah Ke 43 di Banda Aceh. Dengan uang cash Rp 2 juta, BQ Baiturrahman, misalnya, memberanikan diri memulai operasi BQB pada 2 Oktober 1995. Bulan pertama operasinal mereka hanya memasarkan produk simpanan, baru pada bulan kedua menyalurkan pembiayaan.

Adupun produk Simpanan BQ yaitu: Simpanan Mudharabah, Simpanan Pendidikan, Simpanan Qurban, Simpanan Idul Fitri, Simpanan Walimah, dan Simpanan Haji. Produk Pembiayaan: Pembiayaan Murabahah, Pembiayan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah dan Pembiayaan Al-Ijarah.

Menurut Nora Faulina, BQB pada April 2008 telah membukukan asset Rp 9,7 milyar dengan tenaga pengelola/karyawan 15 orang, pengurus 3 orang, pengawas 2 orang, simpanan nasabah/anggota Rp 3 milyar (2.719 orang), pembiayaan Rp 4,9 milyar (675 orang) dengan  satu kantor pusat di Masjid Raya Baiturrahman dan tiga kantor cabang masing-masing cabang  Meuraxa (diresmikan 2 Pebruari 2006), cabang Ulee Kareng (diresmikan 2 Juli 2006)  dan  cabang Jeulingke (diresmikan 28 Juli 2006). Laba tahun 2007 Rp 250 juta.

Memasuki usia tahun ke 14 LKM Syariah BQ di Aceh, menghadapi tantangan yang lebih berat. Para pendiri, pengurus, pengawas,  dan pengelola seharusnya tetap kreatif dalam merespon berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul, teruma dalam meningkatkan jumlah modal sendiri, memantapkan kelembagaan, penguatan SDM dan terus berupaya untuk menambah asset. “Kami juga ditantang untuk punya sektor ril dan gedung sendiri,” kata Nora.

Saat ini, sekitar 40 LKM BQ masih beroperasi di Aceh, pada umumnya berbadan hukum koperasi syariah. Tahun 1998 LKM ini telah mencapai 73 unit. Sebagian “mati’ akibat seleksi alam. Pasca tsunami banyak NGO dan lembaga internasional ikut membina LKB BQ ini seperti Pinbuk, AMF BRR, PT Bisma, PNM, ILO, Fakultas Ekonomi Unsyiah, GTZ dan Mercy Corp. Ada kecenderungan, Dinas Koperasi juga mulai “melirik” pola BQ dalam pengenbangan koperasi simpan pinjam. Sebab banyak temuan lapangan, BQ lebih sukses dibandingkan koperasi simpan pinjam.      

Satu hal menjadi catatan penting bagi pengurus dan pengelola BQ supaya tidak melupakan visi awal BQ sebagai lembaga yang terpadu dalam peran sosial, dakwah, pemberdayaan ekonomi. Karena itu, antara kegiatan simpan pinjam, penggalangan ZIS (zakat, infak dan sedekah) dan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya praktek ekonomi syariah haruslah dilakukan dengan seimbang. Celakah jika BQ lainnya di Aceh hanya mencari keuntungan semata-mata.

Saya merekomendasikan pembentukan BQ setiap kecamatan di seluruh Aceh sebagai program alternatif reintegrasi pasca konflik. Hanya saja, pengelolaannya haruslah independen dan profesional. Pemerintah dapat menempatkan dana APBA  dan APBK di BQ dengan pola bagi hasil. Peran BQ akan menjadi “BPD mikro” dalam memberdayakan ekonomi masyarakat Aceh. Mari kita belajar dari BQ yang masih eksis!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...