Oleh: Sayed Muhammad Husen
Pemungutan infak wajib terhadap
pengusaha rekanan Pemerintah Aceh, masih menyisakan masalah regulasi. Bahkan,
Inspektorat Aceh dalam pemeriksaan terhadap Baitul Mal Aceh tahun 2013 mempersoalkan
dasar hukum pemungutan infak tersebut. Sebelumnya, tahun 2011 hal serupa
dipersoalkan oleh BPK RI. Kepala DPKKA ketika itu, Paradis, pernah menyurati
Gubernur Irwandi Yusuf supaya menghentikan infak. Gubernur Irwandi akhirnya
tetap melanjutkan pemungutan infak 0,5% dari rekanan yang mendapat pekerjaan dari
Pemerintah Aceh yang bernilai diatas Rp 20 juta.
Pemungutan infak wajib ini awalnya
dilakukan pada era kepemimpinan Penjabat Gubernur Aceh, H Azwar Abubakar, atas
usulan Baitul Mal Aceh dibawah pimpinan H Amrullah. Dasar hukum yang digunakan
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 22 tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat Pasal
3 ayat (2): “Perusahaan yang mendapat pekerjaan dari pemerintah provinsi
dikenakan infak wajib 0,5% dari pekerjaan bernilai Rp 20 juta keatas.” dan Instruksi
Gubernur (Ingub) Nomor 13 tahun 2005 tentang Pemotongan Infak dari Perusahaan
yang Mendapat Pekerjaan pada Pemerintah Provinsi NAD.
Saya telusuri lebih jauh apa
landasan yang digunakan untuk pemungutan infak itu? Dari penelusuran selama dua
hari terhadap regulasi yang ada, infak dipungut berdasarkan ketentuan Qanun
Provinsi NAD Nomor 7 tahun 2004 tantang Pengelolaan Zakat Pasal 5 ayat (1):
“Setiap warga negara yang beragama Islam dan atau setiap badan yang berdomisili
atau melakukan kegiatan usaha dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak
memenuhi syarat sebagai muzakki ditetapkan untuk membayar infak melalui Badan
Baitul Mal.” Sementara Ayat (2) memberi tanggungjawab pengaturan lebih lanjut
kepada gubernur: “Jenis kegiatan yang dipungut infak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan qanun atau keputusan gubernur.”
Jadi, Pergub Nomor 22 tahun
2005 dan Ingub Nomor 13 tahun 2005 sebagai dasar hukum pemungutan infak adalah
implementasi atau pelaksanaan Qanun 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Selanjutnya
regulasi ini diperkuat dengan UU Nomor 11 tahun 2001 tentang Pemerintahan Aceh
Pasal 192 dan Qanun Nomor 10 tahun 2007, sebagai pengganti Qanun Nomor 7 tahun
2004. Karena itu, dapat kita pahami, bahwa pemungutan infak telah berdasarkan
regulasi yang kuat, hanya saja belum dirinci jenis infak yang dipungut dan
berapa jumlahnya dalam qanun. Untuk ini, perlu diatur lebih lanjut dalam
perubahan Qanun Baitul Mal.
Telusuri regulasi
Saya telusuri regulasi terkait
infak tersebut mulai dari kewenangan Badan Baitul Mal Provinsi NAD (berubah nama
menjadi Baitul Mal Aceh pada 2006) yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur
Provisi NAD Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Badan Baitul Mal di Provinsi NAD. Pengertian infak disini disatukan dalam katagori
harta Agama yang dikelola Baitul Mal, dapat dilihat pada pasal 1 angka 15: “Harta
Agama adalah infak, sedekah, waqaf, meusara, serta harta wasiat, harta amanah,
dan hibah yang disetor ke Badan Baitul Mal.”
Keputusan Gubernur Nomor 18
tahun 2003 Pasal 5 juga menetapkan tugas Badan Baitul Mal: “Badan Baitul Mal
mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat dan pemberdayaan harta Agama
sesuai dengan hukum syariat Islam.” Salah satu harta Agama dimaksud adalah
infak.
Selanjutnya, pelaksanaan
keistimewaan Aceh bidang syariat Islam khususnya pengamalan ibadah zakat dan
harta agama lainnya, Pemerintah Aceh mengesahkan Qanun Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Zakat. Qanun ini menetapkan infak bagian dari harta Agama pada Pasal
1 angka 12: “Harta agama adalah sejumlah kekayaan umat Islam yang bersumber
dari zakat, infak, sedekah, meusara, waqaf, wasiat, warisan, amanah, hibah, dan
lain-lain menurut ketentuan syariat yang dikelola atau menjadi hak Badan Baitul
Mal.”
Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Pasal
5 ayat (1)memberi ruang kepada Badan Baitul Mal untuk memungut infak dari
masyarakat yang belum menjadi muzakki: “Setiap warga negara yang beragama Islam
dan atau setiap badan yang berdomisili atau melakukan kegiatan usaha dalam
Provinsi NAD yang tidak memenuhi syarat sebagai muzakki ditetapkan untuk
membayar infak melalui Badan Baitul Mal.”
Pasal 5 Ayat (2) qanun tersebut
menyebutkan: “Jenis kegiatan yang dipungut infak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan qanun atau keputusan gubernur.” Salah satu wujud dari
pelaksanaan ketentuan ini yaitu, Badan Baitul Mal memungut infak terhadap
pengusaha yang mendapat pekerjaan dari Pemerintah Aceh, dengan mengeluarkan Pergub dan Ingub.
Untuk itu, Pergub Nomor 22
tahun 2005 tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat Pasal 3 ayat (2) menetapkan: “Perusahaan
yang mendapat pekerjaan dari pemerintah provinsi dikenakan infak wajib 0,5%
dari pekerjaan bernilai Rp 20 juta keatas.” Kemudian diatur juga bagaimana cara
pemotongan infak itu pada ayat (3): “Infak tersebut langsung dipotong oleh
Pemegang Kas Daerah pada saat pembayaran tagihan kepada perusahaan tersebut
pada ayat (2) dan disetor ke rekening zakat sebagai penerimaam PAD.” Pasal 3 Ayat
(4) menugaskan pemegang kas: “Pemegang Kas wajib membuat Laporan Triwulan
secara tertulis tentang jumlah pemotongan zakat dan infak yang telah dilakukan kepada
Badan Baitul Mal.”
Justru yang menarik Pergub
Nomor 22/2005 mengintegrasikan infak dengan zakat: Lihat Pasal 15 ayat (5): “Pembayaran
infak wajib tersebut ayat (3) dapat diperhitungkan dan mengurangi kewajiban
pembayaran zakat perusahaan yang bersangkutan.” Hanya saja hingga sekarang
Baitul Mal Aceh belum menindaklanjuti ketentuan ini, dan munfik (pembayar
infak) pun tidak ada yang meminta infak yang telah dibayarnya dikurangi dengan
pembayaran zakat. Mereka memang belum membayar zakat melalui Baitul Mal Aceh.
Tindak lanjut Pergub 22/2005,
pada 1 Nopember 2005/28 Ramadhan 1426, Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, H. Azwar
Abubakar juga mengeluarkan Ingub Nomor 13 tahun 2005 tentang Pemotongan Infak
dari Perusahaan yang Mendapat Pekerjaan pada Pemerintah Provinsi NAD. Pada bagian menimbang Ingub ini ditegaskan,
bahwa pemungutan infak dilakukan dalam rangka penerapan syariat Islam, mengembangkan
budaya sadar zakat pengusaha muslim dan merintis pembayaran zakat perusahaan yang
dimulai dengan infak, yang terintegrasi dengan zakat.
Ingub 13/2005 memerintahkan Kepala
Kas Daerah Aceh melakukan pemotongan infak 0,5% pada setiap pencairan Surat
Perintah Membayar (SPM) kepada pengusaha
yang mendapat pekerjaan dari Pemerintah Provinsi NAD, yang bernilai diatas Rp
20 juta, serta memberi Tanda Bukti Pemotongan Infak kepada rekanan tersebut. Kepala
Kas Daerah Melakukan penyetoran infak tersebut ke rekening zakat sebagai penerimaan
PAD pada bank syariah, serta melampirkan dalam laporan bulanan sesuai dengan
yang ditetapkan Badan Baitul Mal Provinsi NAD. Satu hal pantas dipuji, Ingub tersebut
menetapkan penerimaan infak disimpan pada rekening bank syariah.
Ingub 13/2005 juga menugaskan Kabid
Pengumpulan Zakat Badan Baitul Mal mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut
pemotongan infak dan pelaporan yang dilakukan oleh Kepala Kas Daerah. Melakukan
finalisasi laporan, serta kerjasama dengan Kepala Kas Daerah untuk kelancaran
pemotongan infak dan penyusunan laporan bulanan.
Penguatan regulasi
Jika pada awalnya pemungutan
infak pengusaha dilakukan berdasarkan Qanun Nomor 7 tahun 2004, maka Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberikan dasar hukum
yang lebih kuat. Hal ini dapat dilihat pada UUPA Pasal 191: “Zakat, harta waqaf
dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kab/Kota.” Salah
satu jenis harta agama dimaksud adalah infak.
Selanjutnya, sebagai turunan
UUPA, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal memberi pengertian
tentang Baitul Mal pada pasal 1 angka 11: “Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non
Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat,
waqaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, serta menjadi
wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya, serta pengelolaan
terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syariat Islam.”
Demikian juga Qanun 10/2007 Pasal
1 angka 22 mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan harta agama: “Harta
agama adalah sejumlah kekayaan umat Islam yang bersumber dari zakat, infak,
sedekah, wakaf, hibah, meusara, harta wasiat, harta warisan, dan lain-lain yang
diserahkan kepada Baitul Mal untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
ketentuan syariat.” Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah
disebutkan pada pengaturan sebelumnya, yang pasti infak adalah salah satu jenis
dari harta agama.
Bahkan, Qanun Nomor 10/2007
Tentang Baitul Mal ayat 1 angka 23 lebih memperjelas lagi: “Pengelolaan harta
agama adalah serangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemeliharaan,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan, pengumpulan, pendistrubusian,
dan pendayagunaan oleh Baitul Mal.” Dengan demikian, pengelolaan harta agama
(baca: infak) oleh Baitul Mal Aceh sama halnya dengan pengelolaan zakat, waqaf perwalian,
dan harta tanpa ahli waris/tidak diketahui pemiliknya.
Pengaturan lainnya tentang
infak dapat dilihat pada Qanun 10/2007 Pasal 10 ayat (1) huruf c: “Baitul Mal Aceh berwenang mengumpulkan,
mengelola dan menyalurkan harta agama dan harta waqaf yang berlingkup provinsi.”
Pasal 34: “Baitul Mal dapat menerima harta agama untuk dikelola sesuai dengan
ketentuan syariat.” Pasal 35 ayat (1): “Penggunaan harta agama sebagaimana
dimaksud pasal 34 diutamakan untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat.”
Pasal 35 ayat (2): “Penggunaan harta gama sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan secara transparan dan akuntabel.”
Jadi Qanun 10/2007 tentang
Baitul Mal telah memberi kewenangan Baitul Mal mengumpulkan dan mengelola harta gama dalam bentuk infak, sasaran
pendistribusian infak untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umat, serta
pertanggungjawabannya yang amanah, transparan dan akuntabel. Tinggal lagi dalam
pelaksanannya Baitul Mal Aceh melengkapi dengan petunjuk pelaksanaan dan
standar operasional prosedur (SOP).
Akibat perubahan regulasi
pasaca UUPA, selanjutnya pemungutan infak diatur dengan Pergub Nomor 60 Tahun
2008 tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat sebagaimana diubah dengan Pergub Nomor
6 tahun 20011. Pergub 60/2008 pasal 14
ayat (1) menetapkan kembali: “Setiap pencairan dana dari SP2D yang dikeluarkan
kepada rekanan Pemda yang mendapat pekerjaan dari Pemerintah Nanggroe Aceh
Darussalam dikenakan infak wajib sebesar ½% (setengah perseratus) dari nilai
pekerjaan diatas Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dengan memberikan
Tanda Bukti Pembayaran Infak.” Ayat (2): “Pengenaan infak wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Kas Umum Aceh, yang selanjutnya disetor
ke rekening khusus infak pada Baitul Mal Aceh.”
Pergub 60/2008 mengatur
pengeluaran dan pertanggungjawaban infak sebagaimana diatur pada pasal 16 ayat
(1): “Pengeluaran dana infak dilakukan oleh Kepala Baitul Mal Aceh sesuai
dengan ketentuan syariat, setelah mendapat persetujuan Dewan Pertimbangan.” dan
Pasal 16 ayat (2) menetapkan: “Kepala Baitul Mal Aceh membuat daftar
pertanggungjawaban pengelolaan dana infak, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.”
Pergub Nomor 60/2008
sebagaimana diubah dengan Pergub Nomor 6/20011 telah mencabut Ingub Nomor
13/2005 tentang Pemotongan Infak Pengusaha, maka yang berlaku sebagai dasar
hukum pemungutan infak pengusaha adalah Pergub ini. Hal itu dapat dilihat pada
ketentuan pasal 20 ayat (3): “Dengan berlakukanya ketentuan ini, maka Instruksi
Gubernur Provinsi NAD Nomor 13/INSTR/2005 tentang Pemotongan Infak dari
Perusahaan yang Mendapat Pekerjaan pada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Gubernur ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Akibat pencabutan Ingub 13/2005,
maka infak tidak lagi dibukukan sebagai PAD. Pendapatan dan pengeluaran infak
tidak perlu lagi harus melewati mekanisme APBA. Infak yang dipungut oleh Dinas
Keuangan Aceh langsung masuk ke rekening khusus infak Baitul Mal Aceh dan
penyalurannya melalui mekanisne pengesahan oleh Dewan Pertimbangan Syariah.
Baitul Mal Aceh, dalam
mendistribusikan dan mendayagunakan infak, mengacu kepada kepada Pergub Nomor 4
tahun 2011 tentang Dewan Pertimbangan Syariah pasal (4): “Dewan Pertimbangan
mempunyai tugas memberi pembinaan, pengawasan dan pertimbangan syar’i kepada
Baitul Mal Aceh dalam melakukan pengelolaan zakat, waqaf, infak, dan sedekah
serta harta agama lainnya.” Dalam Pergub ini, infak disebutkan lebih konkret,
tidak lagi secara global dalam kelompok harta Agama.
Dewan Pertimbangan Syariah (DPS)
menurut Pergub 4/2011 Pasal 5 huruf c berfungsi: “Pelaksanaan penetapan
pendayagunaan zakat, waqaf, infak, dan sedekah serta harta agama lainnya.” dan
Pasal 5 huruf d: “Pelaksanaan pengawasan dalam pengelolaan zakat, waqaf, infak,
dan sedekah serta harta agama lainnya.” Fungsi ini telah dilakasanakan oleh DPS
Baitul Mal Aceh dengan membahas usulan pengesahan infak dan mengesahkannnya
untuk dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh.
Akhirnya saya berkesimpulan:
infak sebagai salah satu jenis dari harta agama telah dipungut dengan
mempertimbangan keistimewaan Aceh dalam pelaksanan syariat Islam dan didasari
pada regulasi yang kuat, yaitu Qanun Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan
Zakat, yang kemudian diganti dengan Qanun 10/2007 tentang Baitul Mal. Bahkan,
pemungutan infak oleh Baitul Mal Aceh diperkuat dengan UU Nomor 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh Pasal 192. Selanjutnya memang pemungutan dan pendayagunaan
infak perlu diatur dalam perubahan Qanun Aceh tentang Baitul Mal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar