Sabtu, 07 Maret 2015

Keistimewaan Aceh

Oleh Sayed Muhammad Husen  

Gagasan pelaksanaan keistimewaan Aceh terkait erat dengan konflik Aceh dengan Jakarta pada tahun 1950-an. Satu solusi damai ketika itu: Aceh diberikan keistimewaan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia dalam bidang agama, pendidikan dan adat. Selanjutnya hak istimewa ini tak dapat diimplementasikan, karena tak memiliki dasar hukum dan political will pemerintah Jakarta. Akhirnya status Daerah Istimewa Aceh (DIA) hanya berupa simbol, tanpa dibarengi substansi dan implementasi.

Dalam resolusi konflik berikutnya tahun 1990-an, diyakini implementasi status istimewa Aceh menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik Aceh secara menyeluruh dan berkelanjutan. Karena itulah, disahkan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Regulasi ini menegaskan kembali keistimewaan Aceh bidang agama (syariat Islam), pendidikan dan adat, ditambah dengan peran ulama. Aceh memperoleh dasar hukum yang kuat untuk melaksanakan empat keistimewaan Aceh.

Resolusi konflik Aceh tak berhenti sampai legalisasi keistimewaan Aceh. Selanjutnya berproses hingga pengesahan Aceh sebagai daerah otonomi khusus melalui UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, MoU Helsinki tahun 2005 hingga penegasan kembali kekhususan Aceh melalui UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sampai disini dapat kita pahami, Aceh telah memiliki keistimewaan sekaligus kekhususan yang diatur dengan UU.

Pertanyaannya, sejauhmana keistimewaan dan kekhususan itu aktual dalam masyarakat Aceh? Karena itu, kita memandang perlu mengingatkan kembali keistimewaan dan kekhususan itu adalah ruh pembangunan Aceh. Dengan semangat istimewa dan perlakuan khusus itu, Aceh tak akan kehilangan identitas keacehan dan keislaman. Pengembangan Aceh justru akan lebih bermartabat dan terarah dalam bingkai keistimewaan dan kekhususan itu.  Aceh akan menemukan solusi dan strategi dalam mewujudkan “wilayah” yang adil, sejahtera dan islami.

Tugas kita berikutnya adalah, memperkuat sumber daya manusia dan instansi/lembaga yang telah dibentuk untuk mengisi keistimewaaan dan kekhususan Aceh seperti MPU, MPD, MAA, BMA, Dinas Syariat Islam, Badan Pembinaan Pendidikan Dayah, dan yang terakhir Lembaga Wali Nanggroe. Maka, seharusnya kita dapat mengkoordinasikan dengan baik semua instansi/lembaga itu, sehingga dapat berjalan efektif, efesien dan produktif. Dalam hal inilah pentingnya peran Wali Nanggroe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...