Gagasan pelaksanaan keistimewaan Aceh terkait erat dengan konflik
Aceh dengan Jakarta pada tahun 1950-an. Satu solusi damai ketika itu: Aceh
diberikan keistimewaan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia dalam bidang agama,
pendidikan dan adat. Selanjutnya hak istimewa ini tak dapat diimplementasikan,
karena tak memiliki dasar hukum dan political
will pemerintah Jakarta. Akhirnya status Daerah Istimewa Aceh (DIA) hanya
berupa simbol, tanpa dibarengi substansi dan implementasi.
Dalam resolusi konflik berikutnya tahun 1990-an, diyakini
implementasi status istimewa Aceh menjadi bagian dari upaya penyelesaian
konflik Aceh secara menyeluruh dan berkelanjutan. Karena itulah, disahkan UU
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Regulasi ini
menegaskan kembali keistimewaan Aceh bidang agama (syariat Islam), pendidikan
dan adat, ditambah dengan peran ulama. Aceh memperoleh dasar hukum yang kuat
untuk melaksanakan empat keistimewaan Aceh.
Resolusi konflik Aceh tak berhenti sampai legalisasi
keistimewaan Aceh. Selanjutnya berproses hingga pengesahan Aceh sebagai daerah
otonomi khusus melalui UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh
sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, MoU Helsinki tahun 2005 hingga penegasan
kembali kekhususan Aceh melalui UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Sampai disini dapat kita pahami, Aceh telah memiliki keistimewaan sekaligus
kekhususan yang diatur dengan UU.
Pertanyaannya, sejauhmana keistimewaan dan kekhususan itu
aktual dalam masyarakat Aceh? Karena itu, kita memandang perlu mengingatkan
kembali keistimewaan dan kekhususan itu adalah ruh pembangunan Aceh. Dengan
semangat istimewa dan perlakuan khusus itu, Aceh tak akan kehilangan identitas
keacehan dan keislaman. Pengembangan Aceh justru akan lebih bermartabat dan
terarah dalam bingkai keistimewaan dan kekhususan itu. Aceh akan menemukan solusi dan strategi dalam
mewujudkan “wilayah” yang adil, sejahtera dan islami.
Tugas kita berikutnya adalah, memperkuat sumber daya manusia
dan instansi/lembaga yang telah dibentuk untuk mengisi keistimewaaan dan
kekhususan Aceh seperti MPU, MPD, MAA, BMA, Dinas Syariat Islam, Badan
Pembinaan Pendidikan Dayah, dan yang terakhir Lembaga Wali Nanggroe. Maka, seharusnya
kita dapat mengkoordinasikan dengan baik semua instansi/lembaga itu, sehingga
dapat berjalan efektif, efesien dan produktif. Dalam hal inilah pentingnya
peran Wali Nanggroe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar